"Mencintai Rasulullah S.a.w bukan sebatas kata-kata. Cinta butuh bukti, dan bukti cinta kepada beliau adalah menjadikan perikehidupan Beliau sebagai teladan"
Berikut sejumlah Hadits yang menjelaskan hal tersebut. Namun sebelumnya perhatikanlah Ayat ini:
Berikut sejumlah Hadits yang menjelaskan hal tersebut. Namun sebelumnya perhatikanlah Ayat ini:
“Katakanlah, jika kamu benar-benar mencintai Allah, ikutilah aku. Niscaya Allah akan mengasihi dan mengampunimu atas dosa-dosamu.”. (QS Ali Imran: 31).
Ayat ini berkenaan dengan pernyataan orang-orang kafir yang mengatakan bahwa perbuatan mereka dengan menyembah berhala semata-mata adalah bentuk kecintaan kepada Allah dan agar memperoleh kedekatan dengan-Nya. Hal demikian dibantah Nabi S.a.w dengan menegaskan bahwa, jika mereka benar-benar mencintai Allah, hendaklah mendengarkan perkataaan Beliau yang diutus oleh Allah Ta‘ala. Allah S.w.t menurunkan ayat di atas kepada Nabi Muhammad S.a.w untuk disampaikan kepada mereka.
Ayat ini memiliki relevansi sebagai ayat untuk mencambuk semangat umat guna mengikuti jalan Rasulullah S.a.w. Karena, sebaik-baiknya teladan ialah jalan yang dicontohkan Beliau, jalan yang dipenuhi cahaya wahyu. Sebagaimana firman Allah yang artinya, “Tiadalah Ia (Nabi Muhammad S.a.w) mengatakan sesuatu berdasarkan hawa nafsunya, akan tetapi ia benar-benar wahyu yang disampaikan kepadanya.” (QS An-Najm: 3-4).
Dari Abu Hurairah R.a, dari Nabi S.a.w, Beliau bersabda, “Biarkanlah apa yang tidak aku terangkan kepada kalian. Sesungguhnya telah binasa orang-orang sebelum kalian dengan sebab terlalu banyak bertanya dan perselisihan mereka dengan nabi-nabi mereka. Jadi, jika aku melarang kalian akan sesuatu, tinggalkanlah; dan jika aku perintahkan kalian dengan sesuatu, kerjakanlah semampu kalian.”. (Muttafaq `Alaih).
Al Bukhari meriwayatkan hadits ini dalam kitab Berpegang Teguh dengan Agama bab Mengikuti Sunnah Rasulullah S.a.w. Sedangkan Muslim meriwayatkannya dalam kitab Keutamaan-keutamaan bab Penghormatan Nabi S.a.w dan Meninggalkan Banyak Bertanya yang tidak Begitu Penting.
Sebab disabdakannya hadits ini ialah ketika Rasulullah S.a.w menyampaikan khutbahnya mengenai kewajiban berhaji. Salah seorang sahabat bertanya tentang pelaksanakan haji, apakah setiap tahun ataukah tidak. Pertanyaan ini diulang berkali-kali sehingga Nabi bersabda sebagaimana teks di atas.
Hadits ini mengajarkan kita untuk tidak banyak bertanya yang justru menimbulkan kesulitan, bahkan mengakibatkan adanya perselisihan. Cukuplah sesuatu yang disampaikan Rasululullah dipahami dengan tidak secara berlebihan dan kekurangan. Allah Ta‘ala berfirman yang artinya, “Janganlah kalian bertanya sesuatu (kepada Nabi) hal-hal yang jika diterangkan kepada kalian niscaya menyulitkan kalian....”. (QS Al-Maidah 101).
Perselisihan atau perdebatan yang tidak perlu dapat melemahkan kekukuhan persaudaraan dan mengakibatkan kehancuran. Hal yang demikian terjadi pada Bani Israil, yang berani berbantahan dengan para nabi yang diutus kepada mereka, bahkan membunuh mereka. Setiap perbuatan yang dilakukan seorang mukallaf dalam menaati perintah Rasulullah S.a.w tentu akan menghadapi berbagai kesulitan. Sehingga perintah atau sunnah itu sesuai konteks hadits tersebut, dimaksudkan sekadar tingkat kesanggupan.
Dari Abu Najih Al-‘Irbadh bin Sariyah R.a, ia berkata, “Rasulullah S.a.w memberi kami sebuah nasihat yang menggetarkan hati dan mencucurkan air mata. Kemudian kami berkata, ‘Ya Rasulullah, nasihat engkau seakan-akan nasihat perpisahan. Wasiatkanlah (nasihatilah) kami’.”. Beliau S.a.w berkata:
‘Aku berwasiat kepada kalian untuk bertaqwa kepada Allah, tetap mendengar perintah dan taatilah, sekalipun yang memerintah itu seorang budak Habasyi. Sesungguhnya orang-orang yang hidup di antara kalian akan melihat perselisihan yang banyak. Maka hendaklah kalian memegang teguh sunnahku dan sunnah para penggantiku yang diberi petunjuk Allah. Berpegangteguhlah pada sunnah-sunnah itu dan jauhilah urusan yang dibuat-buat. Sesungguhnya setiap bid`ah itu sesat'.”. (HR Abu Dawud dan At-Tirmidzi).
‘Aku berwasiat kepada kalian untuk bertaqwa kepada Allah, tetap mendengar perintah dan taatilah, sekalipun yang memerintah itu seorang budak Habasyi. Sesungguhnya orang-orang yang hidup di antara kalian akan melihat perselisihan yang banyak. Maka hendaklah kalian memegang teguh sunnahku dan sunnah para penggantiku yang diberi petunjuk Allah. Berpegangteguhlah pada sunnah-sunnah itu dan jauhilah urusan yang dibuat-buat. Sesungguhnya setiap bid`ah itu sesat'.”. (HR Abu Dawud dan At-Tirmidzi).
Hadits ini dirangkum Abu Dawud dalam kitab Sunnah bab Melazimkan Perbuatan Sunnah. Sedangkan At-Tirmidzi dalam kitab Ilmu bab Mengambil Jalan Sunnah dan Menjauhi Perbuatan Bid’ah.
Dalam pandangan Ibnu ‘Allan, penulis Dalil al-Falihin, bid‘ah adalah sesuatu yang diada-adakan atau sesuatu yang baru yang bertentangan dengan tuntunan Allah Ta‘ala dan dalil yang dijadikan hujjah. Ini ada yang bersifat khash (khusus/spesifik) dan ‘am (umum/global).
Pada intinya, menurut keterangan pensyarah, bid‘ah yang dianggap dhalalah (sesat) adalah perbuatan yang diada-adakan dan menyalahi ruh syari’at Islam.
Hadits di atas menjelaskan ihwal kewajiban beriman dan bertaqwa hanya kepada Allah S.w.t dengan cara mengikuti perintah syari’at dan menjauhi larangan-Nya. Selanjutnya hadits ini menerangkan kewajiban taat kepada pemimpin yang mengajak berbuat ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Hadits di atas juga mengkhabarkan salah satu bentuk mukjizat Nabi S.a.w tentang ramalan Rasulullah mengenai sesuatu yang bakal terjadi di masa mendatang yang menimpa umat, yakni perselisihan dan perpecahan umat serta terbentuknya kelompok-kelompok umat Islam.
Dari Abu Hurairah R.a, dari Nabi S.a.w, bahwasanya Rasulullah S.a.w bersabda, “Seluruh umatku akan masuk surga kecuali mereka yang berpaling.”. Lalu dikatakan, “Siapakah gerangan orang yang berpaling itu, wahai Rasulullah?”, Beliau menjawab, “Siapa yang menaatiku akan masuk surga, dan siapa yang bermaksiat kepadaku berarti ia telah berpaling.”. (HR Al-Bukhari).
Al-Bukhari meriwayatkan hadits ini dalam kitab Berpegang Teguh dengan Agama bab Mengikuti Sunnah Rasulullah S.a.w.
Untuk masuk surga, disyaratkan ketaatan kepada Allah Ta‘ala dan Rasul-Nya. Setiap orang yang mengikuti syari’at dari Allah Ta‘ala dan Rasulullah S.a.w, sesungguhnya ia orang yang mencintai keduanya. Begitu pun sebaliknya, bila mengingkari syari’at Beliau berarti ia orang yang tidak mencintai keduanya. Na‘udzu billah.
Mencintai Nabi S.a.w bukan dengan sekadar berkata-kata dan mengaku-ngaku. Mencintai Nabi diperlukan ketulusan mengikuti syari’atnya, mencintai sunnahnya, mencontoh adabnya, dan mencintai apa yang Nabi cintai seraya membenci apa yang Nabi benci.
"Mengikuti jalan Rasulullah S.a.w dalam segala hal, baik perkataan, perbuatan maupun budi pekerti, merupakan bentuk pengakuan sejati sebagai pecinta Beliau S.a.w".
zawiyah alKisah
Baca juga: Jadikanlah Rasulullah S.A.W Kekasih Sejati Anda
اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ
zawiyah alKisah
Baca juga: Jadikanlah Rasulullah S.A.W Kekasih Sejati Anda
EmoticonEmoticon