Sekilas Tentang Tasawuf dan Sufi

"Setiap Muslim yang berusaha untuk memurnikan hatinya dan menyempurnakan hubungan dengan Tuhannya dapat dikatakan sebagai pengikut tasawuf"


Imam Abu al-Qasim al-Qusyairi (W 465 H) atau lebih dikenal dengan Imam al-Qusyairi adalah seorang Muhaddist yang mengajarkan hadist kepada ribuan murid di Naisabur, tempat ia memerangi kaum Muktazilah hingga ia berhijrah ke Mekkah.

Al-Qusyairi adalah murid seorang sufi besar, yaitu Syekh Abu Ali al-Daqqaq, seorang mufasir yang menulis sebuah kitab tafsir lengkap. Meski demikian, karyanya yang paling terkenal adalah Risalah iltJal-Shafiyyah (Pesan Kepada Kaum Sufi).

Risalahnya ini merupakan salah satu dari buku pedoman yang lengkap mengenai tasawuf, bersama-sama dengan Kitab al-Luma' (Kitab Cahaya-cahaya) karya Abu Nashr al-Sarraj (W 378 H), Qat aI-Qulub fi Mu'amalah al-Mahbub wa Washf Thariq al-Murid ila Maqam al-Tawhid (Santapan Hati: berinteraksi dengan Sang Kekasih dan Jalan Sang Murid menuju Maqam Tauhid) karya Abu Thalib al-Makki (W 386 H), al-Ta'arruj Ii mazhab ah1al-Tashawwuf (Mengenal Mazhab Ahli Tasawuf) karya Abu Bakr al-Kalabadzi (W 391 H) dan Thabaqat al-Shufiyyah (Riwayat Hidup Sufi) karya Abdurrahman al-Sulami (W 411 H).

Al-Qusyairi dalam karya besarnya, Risalah al-Qusyairiyah, menghimpun berbagai definisi tasawuf dari sejumlah guru sufi. Berikut ini bab tentang tasawuf dari kitab tersebut.

Banyak orang yang ditanya, "Apa makna tasawuf?" dan "Siapakah sufi itu?" masing-masing menjawab sesuai dengan apa yang paling dirasakannya. Akan butuh penjelasan yang teramat panjang jika kita mempertimbangkan persoalan ini secara saksama. Di sini kami hanya akan menyebutkan beberapa pernyataan mengenai masalah ini dengan maksud untuk mengembangkan pemahaman, Insya Allah.

Aku mendengar Muhammad ibn Ahmad ibn Yahya al-Shufi berkata.. bahwa Abu Muhammad al-Iurairi ditanya tentang tasawuf dan berkata, "Tasawuf berarti meneladani akhlak Nabi S.a.w dan menyingkirkan segala sifat hina.".

Aku mendengar Abdurrahman ibn Yusuf al-Isfahani berkata.. bahwa ketika ditanya rentang arti tasawuf, al-Junaid berkata, "Menjadi sufi berarti menjadikan kebenaran sebagai jalanmu dan mematikan dirimu sendiri, untuk kemudian hidup melalui-Nya.".

Aku mendengar Abu Abdurrahman al-Sulami berkata.. bahwa tatkala ditanya tentang sufi, Husain ibn Manshur al-Hallaj berkata, "Sufi adalah orang yang esensinya satu. Tidak seorang pun mengakuinya, dan ia tidak mengakui siapa pun.". Dan aku mendengar ia mengatakan.. bahwa Abu Hamzah ai-Baghdadi berkata:

"Tanda seorang sufi sejati adalah miskin padahal sebelumnya kaya, terhina padahal sebelumnya dihormati, dan tersembunyi padahal sebelumnya terkenal. Tanda seorang sufi palsu adalah kaya dengan dunia padahal sebelumnya miskin, dihormati padahal sebelumnya direndahkan, dan terkenal padahal sebelumnya tak dikenal.".

Ketika ditanya tentang sufi, Amr ibn Utsman al-Makki berkata, "Seorang sufi adalah hamba yang menyibukkan diri dengan apa yang terbaik untuknya pada saat itu,". Muhammad ibn Ali al-Qassab berkata, "Tasawuf adalah sifat-sifat mulia yang tampil pada waktu yang mulia pada seseorang yang mulia di tengah orang-orang yang mulia,".

Tatkala ditanya tentang tasawuf, Samnun berkata, "Tasawuf berarti kau tidak memiliki apa pun dan kau tidak dimiliki oleh apa pun.". Sedangkan Ruwaim berkata, "Tasawuf artinya pasrah kepada Allah S.w.t. menghadapi apa pun yang Dia inginkan.". Dan al-Junaid menjawab: "Tasawuf berarti kau selalu bersama Allah S.w.t dan terbebas dari ikatan-ikatan lainnya.".

Aku mendengar Abdullah ibn Yusuf al-Isfahani berkata ... bahwa Ruwaim ibn Ahmad al-Baghdadi berkata: "Ada tiga ciri tasawuf, lekat dengan kemiskinan rohani dan kebutuhan kepada Allah; kokoh dalam kedermawanan dan perhatian kepada orang lain; tidak menentang kehendak Allah dan tidak mengikuti pilihan pribadi".

Ma'ruf al-Karkhi berkata: "Tasawuf adalah upaya untuk meraih hakikat dan tidak pernah mengharapkan apa yang ada di tangan makhluk,". Hamdun al-Qassar berkata, "Temanilah kaum sufi, bersama mereka seorang yang buruk memiliki segala alasan!"

Ketika ditanya tentang kaum sufi, al-Kharraz berkata, "Mereka adalah orang yang dibuat untuk memberi sehingga mereka gembira, yang dihalangi dan dikecewakan hingga mereka tenggelam, yang dijauhkan dari rahasia-rahasia yang sangat dalam, mengapa, menangislah untuk kami!".


Tasawwuf Ilmu yang Mulia, Luhur, dan Tinggi Derajatnya

Al-Imam Al-Allamah Al-Hafidz Jalaluddin As-Suyuthi berkata :

اعلم وفقني الله وإياك أن علم التصوف في نفسه علم شريف رفيع قدره سني أمره ، لم تزل أئمة الإسلام وهداة الأنام قديماً وحديثاً يرفعون مناره وَيُجِلُّون مقداره ويعظمون أصحابه ويعتقدون أربابه ، فإنهم أولياء الله وخاصته من خلقه بعد أنبيائه ورسله ، غير أنه دخل فيهم قديماً وحديثاً دخيل تشبهوا بهم وليسوا منهم وتكلموا بغير علم وتحقيق فزلوا وصلوا وأضلوا ، فمنهم من اقتصر على الاسم وتوسل بذلك إلى حطام الدنيا ، ومنهم من لم يتحقق فقال بالحلول وما شابهه فأدى ذلك إلى إساءة الظن بالجميع ، وقد نبه المعتبرون منهم على هذا الخطب الجليل ونصوا على أن هذه الأمور السيئة من ذلك الدخيل.

Ketahuilah, semoga Allah memberikan taufiq-Nya padaku dan kamu, sesungguhnya ilmu tasawuf itu sendiri adalah ilmu yang mulia, tinggi derajatnya dan luhur urusannya. Para imam Islam dan para ulama penunjuk manusia sejak dulu hingga sekarang selalu mengangkat lambangnya, meninggikan martabatnya dan mengangungkan para pemeluknya dan meyakini kemulian ahlinya. Karena mereka adalah para wali Allah S.w.t dan orang-orang khusus-Nya dari makhluk-Nya setelah para Nabi dan Rasul-Nya, akan tetapi masuklah sesuatu yang asing sejak dulu hingga sekarang yang menyerupai penganut tasawwuf padahal sama sekali mereka bukanlah dari ahli tasawwuf. Mereka berbicara tanpa ilmu dan (tanpa) mengerti hakikat, sehingga mereka tergelincir, sesat dan menyesatkan. Di antara mereka ada yang mencukupkan saja dengan nama dan menjadikan perantara untuk mengambil keuntungan dunia. Di antara mereka ada yang belum mencapai hakikat sehingga mereka berucap dengan hulul dan semisalnya, sehingga itu semua membuat munculnya buruk sangka terhadap semua ajaran tasawwuf. Sungguh para pengambil pelajaran dari mereka telah member peringatan atas nasehat mulia ini dan menetapkan bahwa semua perkara buruk ini muncul dari sesuatu yang asing (di luar tasawwuf) tersebut.

(Ta’yidul Haqiqah al-‘Aliyyah Wa Tasyiduth Thariqoth asy-Syadziliyyah halaman 7 ~ karya Imam as-Suyuthi).

Inti Tasawuf

Syekh Ibnu Athaillah As-Sakandari berkata,

زينوا أعمالكم بالمعاصي  و لا تزينوا نفسك بالطاعة

Hiasilah dirimu dengan maksiat dan janganlah dihiasi dengan ketaatan”.

Pada pengajian 20 Ramadhan 1433 H, Maulana Habib Luthfi bin Yahya menjelaskan.. maqalah ini merupakan maqalah untuk maqam tasawuf, sehingga tidak bisa dimaknai secara langsung atau lateral. Apabila hanya dimaknai secara makna zhahirnya saja, maka langsung bisa mengklaim bahwa Syekh Ibnu Athaillah itu sesat atau salah, padahal yang dimaksud dalam maqalah tersebut adalah jangan merasa banyak amal dalam hidup ini, tetapi merasalah banyak dosa dalam hidup ini. Mengapa? Karena kalau kita selalu menghisai diri kita dengan perasaan bodoh dan meyakini kebodohan, maka kita tidak akan memandang rendah orang lain dan tidak akan menakar sekolah atau pesantren. Selain itu, kita harus selalu berada di maqam kekurangan agar selalu termotivasi untuk terus belajar dan tidak meremehkan orang lain.

Oleh karena itu, orang ahli thariqah itu harus selalu merasa banyak dosa, ahli maksiat, bodoh, menghilangkan perasaan berhasil, menghilangkan perasaan bisa atau mampu, dan yang ada dalam diri dan jiwanya hanya perasaan ana ‘abdun faqiirun jaahilun (saya adalah hamba yang faqir dan bodoh), sehingga sebagai hamba benar-benar sadar bahwa diri ini adalah hamba, dan terus semakin meningkatkan kehambaannya, karena itu adalah salah satu fungsi dari thariqah, sehingga bisa mencapai inti tasawuf yaitu tashfiyatu al-quluub wa tazkiyatu an-nafs (membersihkan hati dan menyucikan jiwa).

Selain itu, tasawuf itu tidak menyangkut pakaian, tidak berhubungan dengan pakaian. Akan tetapi, tasawuf itu menyangkut ilmu hati, sehingga orang dulu memaknai tasawuf sebagai ilmu rasa.

Apakah Tasawuf Memiliki Landas­an Dalam Agama?

Ketahuilah, pada abad pertama, tasawuf tidak dikenal dengan sebutan ini. Akan tetapi, landasan tasawuf me­rujuk pada tingkat keutamaan ihsan. Yang dimaksud dengan keutamaan ihsan di sini adalah hendaknya engkau menyembah Allah seakan-akan engkau melihat-Nya; dan jika engkau tidak me­lihat-Nya, sesungguhnya Dia melihatmu. Landasan tasawuf juga merujuk pada ketekunan dalam beribadah dan pengabdian total kepada Allah serta ber­paling dari kemewahan dan perhiasan dunia.

Apa Hakikat Tasawuf?

Tasawuf adalah ilmu untuk menge­tahui tata cara dalam meniti jalan peng­abdian kepada Raja dari sekalian raja, Allah S.w.t. Tasawuf adalah penjer­nihan bathin dari berbagai kenistaan dan menghiasinya dengan berbagai macam keutamaan.

Apa yang Menjadi Dasar dalam Tasawuf?

Dasarnya adalah Al-Qur’an dan as-Sunnah. Imam Junaid bin Muhammad Al-Bagh­dadi R.a mengatakan, “Ilmu kita ini (ilmu tasawuf) terikat dengan Al-Qur’an dan Sunnah Nabi S.a.w (Bersumber ke­pada keduanya secara keseluruhan), (se­hingga) siapa yang tidak hafal Al-Qur’an namun dia mencari hadits, dia tidak men­dapatkan bagian dari ilmu ini.”.

Secara umum dapat dikatakan bah­wa, awal tasawuf adalah ilmu, pertengah­annya adalah amal, dan akhirnya adalah anugerah.

Apakah Buah yang dapat Dipetik dari Tasawuf?

Buah dari bertasawuf adalah penca­paian ilmu ladunni yang dilimpahkan Allah S.w.t ke dalam hati siapa pun yang dikehendaki-Nya, yaitu di antara para kekasih-Nya. Ini berdasarkan firman Allah S.w.t:

Dan bertaqwalah kepada Allah, dan Allah pun mengajarimu.”. (QS Al-Baqarah [2]: 282).

Demikian pula Rasulullah S.a.w bersabda, “Siapa yang mengamalkan apa yang diketahuinya, Allah mewariskan kepada­nya ilmu tentang apa yang tidak diketa­hui­nya.” – disampaikan oleh Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah (10: 15).

Sedikit kami tambahkan di sini, perlu kita ingat bahwa apabila seorang hamba telah bisa Istiqamah (dalam kebaikan dan ketaatan), itu sudah merupakan anugrah yang sangat besar disamping anugrah-anugrah besar lainnya yang Allah S.w.t limpahkan bagi hamba-Nya yang senantiasa membenahi hatinya dan terus-menerus mendekatkan diri kepada-Nya.

Pembersihan Hati Menuju Kepada Akhlak Mulia

Satu-satunya arti kata tasawuf yang kita kenal adalah keinginan untuk memurnikan hati dan keinginan untuk mengikuti Sunnah baginda Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi wa Aalihi wa Shahbihi Wasallam secara sempurna. Jika itu yang dimaksud dengan kata tasawuf, maka jelas penggunaannya hanya pada hal yang positif. Ini adalah apa yang kita pahami dari para Imam generasi awal yang dikenal sebagai Sufi.

Imam al-Kalabadi menulis karya lebih dari seribu tahun yang lalu berjudul 'Memperkenalkan Metodologi Sufi' dan kita tidak menemukan di dalamnya apa pun selain apa yang kita temukan dalam buku-buku para ulama yang telah berafiliasi dengan tasawuf dan ulama besar sudah selesai membahas tasawuf selama berabad-abad. Mereka semua sepakat, bahwa tasawuf adalah panggilan untuk menuju kepada akhlak mulia dan pelaksanaan Sunnah Nabi Shalallahu Alaihi wa Aalihi wa Shahbihi Wasallam sesuai dengan kemampuan seseorang dan keinginan untuk membersihkan hati dari kotoran.

Sayyidi Al Habib Umar bin Hafidz berkata: “Setiap Muslim yang berusaha untuk memurnikan hatinya dan menyempurnakan hubungan dengan Tuhannya dapat dikatakan sebagai pengikut tasawuf“.

Namun belakangan terdapat segelintir orang yang memiliki kesan yang jauh dari kebenaran tentang tasawuf, mereka mungkin memiliki kesan bias tentang tasawuf atau Islam secara umum dan hukum syariat secara khusus. Mereka berpikir bahwa tasawuf adalah bertapa seorang diri. Beberapa lainnya mengasosiasikannya dengan suling dan tambur, cerita-cerita takhayul atau bid'ah dalam urusan agama. Semua ini tidak berdasar dan tidak benar dan tidak dapat dianggap berasal dari para imam yang dikenal sebagai Ahlu Tasawuf, mereka para imam tersebut adalah para Pakar ilmu Islam, Hadits, Fikih dan Tafsir. Dan kalau seseorang tetap ngotot mengatakan Ahlu Tasawuf itu 'sesat', itu berarti ia mengingkari hampir semua Hadits Nabi, sebab sebagian besar Hadits Nabi pasti menempatkan satu atau lebih perawi dari kalangan Sufi.

Kita seharusnya tidak membiarkan kata menjadi penghalang mencegah orang mengetahui arti sebenarnya dari konsep tersebut. Apa yang kami minta adalah bahwa orang tidak bereaksi berlebihan pada hanya mendengar kata tertentu, sebaliknya kita meminta mereka melihat konsep yang ada di balik kata. Sebut saja dengan nama lain jika anda tidak menyukai kata 'tasawuf', boleh menyebutnya 'ihsan' atau 'pengetahuan tentang bathin' atau sebut dengan nama apa saja yang anda sukai, tapi konsepnya akan tetap sama. Dan adalah terlihat ganjil dan lucu kalau kita membahas tentang 'pemurnian jiwa' tapi kita malah ribut soal nama atau penyebutannya.

Demikianlah yang dapat kami sarikan dari kalam para guru. Wallahu a’lam. Wassalam

اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَاَلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلِّمْ
Previous
Next Post »