Al Imam Ahmad bin Isa Al Muhajir - Pendiri Tarekat Alawiyyah

Mereka (para Saadatunal Alawiyyin) tidak membuat dirinya tercela di hadapan umum. Mereka tidak suka ditanya tentang amal perbuatan yang mereka lakukan dan mereka juga tidak suka menanyakan amal perbuatan orang lain.

Jika sampai kepada mereka suatu berita bahwa seseorang dari pejabat pemerintahan berkeinginan berkunjung ke majelisnya, mereka akan menutup majelisnya itu. Jika orang-orang tersebut tiba-tiba sudah terlanjur datang, mereka tidak menyukainya dan akan mempersingkat majelisnya.

Mereka adalah orang-orang yang berzuhud dari dunia dan kepemimpinan, bersikap qona'ah, dengan merasa cukup di dalam hal pakaian, makanan dan tempat tinggal. Mereka tidak membangun tempat tinggal kecuali yang diperlukan saja. Mereka tidak suka menerima pemberian apapun dari penguasa dan staf-stafnya, meskipun mereka sendiri memerlukannya. Bahkan mereka merasa berkecukupan dengan sepotong roti yang halal atau sebuah kurma. Jika mereka tidak mempunyainya, mereka lebih memilih berpuasa, sampai mereka mendapatkannya yang halal. Mereka tidak bergembira jika mendapatkan harta dan tidak bersedih jika kehilangan harta. Seringkali terjadi jiwa mereka merasa lega jika harta itu pergi dari mereka. Sebagian dari mereka terkadang satu dua bulan tidak makan apa-apa kecuali kurma. Terkadang mereka hidup tanpa dapat berganti-ganti pakaian dalam waktu yang panjang.

Mereka tidak suka memaksa keluarganya untuk memasakkan makanan baginya. Mereka tidak pernah mengendarai kuda, tidak memakai pakaian mewah, tidak memakan makanan yang lezat, tidak duduk di atas kursi dan tidak tinggal pada bangunan yang mewah, kecuali (ya Allah, semoga saja demikian) mereka memastikannya halal. Adakalanya mereka mengenakannya jarang-jarang, atau mengenakan apa-apa yang tidak akan menjadi hisab di hadapan Allah, bahkan ada kalanya juga baju yang mereka kenakan lebih mahal dari pada bajunya raja-raja.

Mereka tidak suka menimbun makanan, karena semata-mata ingin mengosongkan tangannya dari dunia. Terkadang sebagian dari mereka menyimpan makanan untuk kepentingan keluarganya, demi semata-mata ingin mengikuti perbuatan Nabi S.a.w atau juga sebagai penenang jiwanya karena rasa gelisah atau tuduhan yang adakalanya terjadi atau juga karena kuatir disangka rejekinya didapatkannya dari jalan kasyaf. Setiap dari mereka mengutamakan mencari rejeki yang halal untuk memenuhi keperluan-keperluannya. Mereka juga menafkahkan hartanya untuk memberi makan orang yang lapar, memberi pakaian orang yang tak berpakaian dan melunasi hutang orang yang tak sanggup membayar hutangnya.

~ Kalam Al-Imam Al-Qutub Al-Habib Abdullah bin Alawy Al-Atthas dalam kitab Al-'Alam An-Nibroos, karya Al-Habib Abdullah bin Alawy Al-Atthas ~

Tarekat Alawiyyah

Tarekat Alawiyyah berbeda dengan tarekat sufi lain pada umumnya. Perbedaan itu, misalnya, terletak dari praktiknya yang tidak banyak menekankan segi-segi riyadlah (olah ruhani) dan kezuhudan, melainkan lebih menekankan pada amal, akhlak, dan beberapa wirid serta dzikir ringan.

Sehingga wirid dan dzikir ini dapat dengan mudah dipraktikkan oleh siapa saja meski tanpa dibimbing oleh seorang mursyid. Ada dua wirid yang diajarkannya, yakni Wirid Al-Lathif dan Ratib Al-Haddad. Juga dapat dikatakan, bahwa tarekat ini merupakan jalan tengah antara Tarekat Syadziliyah (yang menekankan riyadlah qulub (olah hati) dan batiniah) dan Tarekat Al-Ghazaliyah (yang menekankan riyadlah al-‘abdan (olah fisik)).

Tarekat Alawiyyah merupakan salah satu tarekat mu’tabarah dari 41 tarekat yang ada di dunia. Tarekat ini berasal dari Hadhramaut, Yaman Selatan dan tersebar hingga ke berbagai negara, seperti Afrika, India, dan Asia Tenggara (termasuk Indonesia). Tarekat ini didirikan oleh Imam Alawi bin Ubaidillah bin Ahmad al-Muhajir, seorang tokoh sufi terkemuka asal Hadhramat pada abad ke-17 M. Namun dalam perkembangannya kemudian, Tarekat Alawiyyah dikenal juga dengan Tarekat Haddadiyah, yang dinisbatkan kepada Sayyid Abdullah al-Haddad, selaku generasi penerusnya. Sementara nama “Alawiyyah” berasal dari Imam Alawi bin Ubaidillah bin Ahmad al-Muhajir.

Tarekat Alawiyyah, secara umum, adalah tarekat yang dikaitkan dengan kaum Alawiyyin atau lebih dikenal sebagai Saadah atau kaum Sayyid – keturunan Nabi Muhammad S.a.w – yang merupakan lapisan paling atas dalam strata masyarakat Hadhrami. Karena itu, pada masa-masa awal tarekat ini didirikan, pengikut Tarekat Alawiyyah kebanyakan dari kaum Sayyid (kaum Hadhrami atau kaum Ba Alawi), dan setelah itu diikuti oleh berbagai lapisan masyarakat muslim lain.

Tarekat Alawiyyah juga boleh dikatakan memiliki kekhasan tersendiri dalam pengamalan wirid dan dzikir bagi para pengikutnya. Yakni tidak adanya keharusan bagi para murid untuk terlebih dahulu diba’iat atau ditalqin atau mendapatkan khirqah jika ingin mengamalkan tarekat ini. Dengan kata lain ajaran Tarekat Alawiyyah boleh diikuti oleh siapa saja tanpa harus berguru sekalipun kepada mursyidnya. Demikian pula, dalam pengamalan ajaran dzikir dan wiridnya, Tarekat Alawiyyah termasuk cukup ringan, karena tarekat ini hanya menekankan segi-segi amaliah dan akhlak (tasawuf ‘amali, akhlaqi). Sementara dalam tarekat lain, biasanya cenderung melibatkankan riyadlah-riyadlah secara fisik dan kezuhudan ketat.

Oleh karena itu dalam perkembangan lebih lanjut, terutama semasa Syekh Abdullah al-Haddad – Tarekat Alawiyyah yang diperbaharui – tarekat ini memiliki jumlah pengikut yang cukup banyak seperti di Indonesia. Bahkan dari waktu ke waktu jumlah pengikutnya terus bertambah seiring dengan perkembangan zaman. Tarekat Alawiyyah memiliki dua cabang besar dengan jumlah pengikut yang juga sama banyak, yakni Tarekat ‘Aidarusiyyah dan Tarekat ‘Aththahisiyyah.

Awal Perkembangan Tarekat Alawiyyah

Tonggak perkembangan Tarekat Alawiyyah dimulai pada masa Muhammad bin Ali, atau yang akrab dikenal dengan panggilan Al-Faqih al-Muqaddam (seorang ahli agama yang terpandang) pada abad ke-6 dan ke-7 H. Pada masanya, kota Hadhramaut kemudian lebih dikenal dan mengalami puncak kemasyhurannya. Muhammad bin Ali adalah seorang ulama besar yang memiliki kelebihan pengetahuan bidang agama secara mumpuni, di antaranya soal fiqih dan tasawuf. Di samping itu, konon ia pun memiliki pengalaman spiritual tinggi hingga ke Maqam al-Quthbiyyah (puncak maqam kaum sufi) maupun khirqah shufiyyah (legalitas kesufian).

Mengenai keadaan spiritual Muhammad bin Ali ini, al-Khatib pernah menggambarkan sebagai berikut: (“Pada suatu hari, Al-Faqih al-Muqaddam tenggelam dalam lautan Asma, Sifat dan Dzat Yang Suci”). Pada hikayat ke-24, para Syekh meriwayatkan bahwa Syekh Syuyukh kita, Al-Faqih al-Muqaddam, pada akhirnya hidupnya tidak makan dan tidak minum. Semua yang ada di hadapannya sirna dan yang ada hanya Allah. Dalam keadaan fana’ seperti ini datang Khidir dan lainnya mengatakan kepadanya: “Segala sesuatu yang mempunyai nafs akan merasakan mati”. Beliau mengatakan: “Aku tidak mempunyai nafs”. Dikatakan lagi: “Semua yang berada di atasnya (dunia) akan musnah”. Dia menjawab: “Aku tidak berada di atasnya”. Dikatakan lagi: “Segala sesuatu akan hancur kecuali wajah-Nya (Dia)”. Beliau menjawab: “Aku bagian dari cahaya wajah-Nya”. Setelah keadaan fana’nya berlangsung lama, lalu para putranya memintanya untuk makan walaupun sesuap. Menjelang akhir hayatnya, mereka memaksakan untuk memasukkan makanan ke dalam perutnya. Dan setelah makanan tersebut masuk mereka mendengar suara (hatif). “Kalian telah bosan kepadanya, sedang kami menerimanya. Seandainya kalian biarkan dia tidak makan, maka dia akan tetap bersama kalian.”.

Setelah wafatnya Muhammad bin Ali, perjalanan Tarekat Alawiyyah lalu dikembangkan oleh para Syekh. Di antaranya ada empat Syekh yang cukup terkenal, yaitu Syekh Abd al-Rahman al-Saqqaf (739), Syekh Umar al-Muhdhar bin Abd al-Rahman al-Saqqaf (833 H), Syekh Abdullah al-‘Aidarus bin Abu Bakar bin Abd al-Rahman al-Saqqaf (880 H), dan Syekh Abu Bakar al-Sakran (821 H).

Selama masa para Syekh ini, dalam sejarah Ba Alawi, di kemudian hari ternyata telah banyak mewarnai terhadap perkembangan tarekat itu sendiri. Dan secara umum, hal ini bisa dilihat dari ciri-ciri melalui para tokoh maupun berbagai ajarannya dari masa para Imam hingga masa Syekh di Hadhramaut.

Pertama, adanya suatu tradisi pemikiran yang berlangsung dengan tetap mempertahankan beberapa ajaran para salaf mereka dari kalangan tokoh Alawi, seperti Al-Quthbaniyyah, dan sebutan Imam Ali sebagai Al-Washiy, atau keterikatan daur sejarah Alawi dan Ba Alawi. Termasuk masalah wasiat dari Rasulullah untuk Imam Ali sebagai pengganti Nabi Muhammad S.a.w.

Kedua, adanya sikap elastis terhadap pemikiran yang berkembang yang mempermudah kelompok ini untuk membaur dengan masyarakatnya, serta mendapatkan status sosial yang terhormat hingga mudah mempengaruhi warna pemikiran masyarakat.

Ketiga, berkembangnya tradisi para sufi kalangan khawwash (elite), seperti al-jam’u, al-farq, al-fana’ bahkan al-wahdah, sebagaimana yang dialami oleh Muhammad bin Ali (Al-Faqih al-Muqaddam) dan Syekh Abd al-Rahman al-Saqqaf.

Keempat, dalam Tarekat Alawiyyah, berkembang suatu usaha pembaharuan dalam mengembalikan tradisi tarekat sebagai Thariqah (suatu madzhab kesufian yang dilakukan oleh seorang tokoh sufi) hingga mampu menghilangkan formalitas yang kaku dalam tradisi tokoh para sufi.

Kelima, bila pada para tokoh sufi, seperti Hasan al-Bashri dengan zuhd-nya, Rabi’ah al-Adawiyah dengan mahabbah dan al-isyq al-Ilahi-nya, Abu Yazid al-Busthami dengan fana’-nya, al-Hallaj dengan wahdah al-wujud-nya, maka para tokoh Tarekat Alawiyyah, selain memiliki kelebihan-kelebihan itu, juga dikenal dengan al-khumul dan al-faqru-nya. Al-khumul berarti membebaskan seseorang dari sikap riya’ dan ‘ujub, yang juga merupakan bagian dari zuhud. Adapun al-faqru adalah suatu sikap yang secara vertikal penempatan diri seseorang sebagai hamba di hadapan Khaliq (Allah) sebagai zat yang Ghani (Maha Kaya) dan makhluk sebagai hamba-hamba yang fuqara, yang selalu membutuhkan nikmat-Nya. Secara horizontal, sikap tersebut dipahami dalam pengertian komunal bahwa rahmat Tuhan akan diberikan bila seseorang mempunyai kepedulian terhadap kaum fakir miskin.

Penghayatan ajaran tauhid seperti ini menjadukan kehidupan mereka tidak bisa dilepaskan dari kaum kelas bawah maupun kaum tertindas (mustadl’afin). Syekh Abd al-Rahman al-Saqqaf misalnya, selama itu dikenal dengan kaum fuqara-nya, sedangkan istri Muhammad bin Ali terkenal dengan dengan ummul fuqara-nya.

Syekh Abdullah Al Haddad dan Tarekat Alawiyyah

Nama lengkapnya Syekh Abdullah bin Alwi al-Haddad atau Syekh Abdullah al-Haddad. Dalam sejarah Tarekat Alawiyyah, nama al-Haddad ini tidak bisa dipisahkan, karena dialah yang banyak memberikan pemikiran baru tentang pengembangan ajaran tarekat ini di masa-masa mendatang. Ia lahir di Tarim, Hadhramaut pada 5 Safar 1044 H. Ayahnya, Sayyid Alwi bin Muhammad al-Haddad, dikenal sebagai seorang yang saleh. Al-Haddad sendiri lahir dan besar di kota Tarim dan lebih banyak diasuh oleh ibunya, Syarifah Salma, seorang ahli ma’rifah dan wilayah (kewalian).

Peranan al-Haddad dalam mempopulerkan Tarekat Alawiyyah ke seluruh penjuru dunia memang tidak kecil, sehingga kelak tarekat ini dikenal juga dengan nama Tarekat Haddadiyyah. Peran al-Haddad itu misalnya, ia di antaranya telah memberikan dasar-dasar pengertian Tarekat Alawiyyah. Ia mengatakan, bahwa Tarekat Alawiyyah adalah Thariqah Ashhab al-Yamin, atau tarekatnya orang-orang yang menghabiskan waktunya untuk ingat dan selalu taat pada Allah dan menjaganya dengan hal-hal baik yang bersifat ukhrawi. Dalam hal suluk, al-Haddad membaginya ke dalam dua bagian.

Pertama, kelompok khashshah (khusus), yaitu bagi mereka yang sudah sampai pada tingkat muhajadah, mengosongkan diri baik lahir maupun batin dari selain Allah di samping membersihkan diri dari segala perangai tak terpuji hingga sekecil-kecilnya dan menghiasi diri dengan perbuatan-perbuatan terpuji. Kedua, kelompok ‘ammah (umum), yakni mereka yang baru memulai perjalanannya dengan mengamalkan serangkaian perintah-perintah as-Sunnah. Dengan kata lain dapat disimpulkan bahwa Tarekat Alawiyyah adalah tarekat ‘ammah, atau sebagai jembatan awal menuju tarekat khashshah.

Karena itu, semua ajaran salaf Ba Alawi menekankan adanya hubungan seorang Syekh (musryid), perhatian seksama dengan ajarannya, dan membina batin dengan ibadah. Amal shaleh dalam ajaran tarekat ini juga sangat ditekankan, dan untuk itu diperlukan suatu tarekat yang ajarannya mudah dipahami oleh masyarakat awam.

Al-Haddad juga mengajarkan bahwa hidup itu adalah safar (sebuah perjalanan menuju Tuhan). Safar adalah siyahah ruhaniyyah (perjalanan rekreatif yang bersifat ruhani), perjalanan yang dilakukan untuk melawan hawa nafsu dan sebagai media pendidikan moral. Oleh karena itu, di dalam safar ini, para musafir setidaknya membutuhkan empat hal. Pertama, ilmu yang akan membantu untuk membuat strategi, kedua, sikap wara’ yang dapat mencegahnya dari perbuatan haram. Ketiga, semangat yang menopangnya. Keempat, moralitas yang baik yang menjaganya.

Biografi Ringkas Al Imam Ahmad bin Isa Al Muhajir

Beliau adalah Sayyid Ahmad Al Muhajir bin Isa Al Naqieb bin Muhammad bin Ali Al Uraidli bin Ja’far As Shadiq bin Muhammad Al Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Al Imam Al Husain Al Sibth bin Al Imam Ali bin Abi Thalib dan Fatimah Az Zahra Putri Nabi Muhammad S.a.w. Dengan perjuangannya yang tak kenal lelah dan penuh kesabaran, beliau berhasil menanamkan metode Da’wah ila Allah dengan cara khusus beliau, dan berhasil menanamkan paham Ahlu Sunnah Wal Jama'ah di Hadhramaut, Yaman.

Al Imam Al Muhajir Ahmad bin Isa lahir di kota Bashra Iraq tempat tinggal keluarga dan sanak saudaranya, para ahli sejarah berselisih tentang tanggal kelahiran Al Imam Al Muhajir, namun Sayyid Muhahammad Dhiya’ Shihab dalam kitab beliau yang berjudul Al Imam Al Muhajir, mengatakan: sejauh pengetahuan kami tak seorang pun yang mengetahui umur Al Imam Al Muhajir secara pas, boleh jadi karena literature yang mengungkapkan hal tersebut telah sirna, akan tetapi dari sedikit data yang kami miliki kami dapat mengambil satu kesimpulan, dan boleh jadi kesimpulan yang kami ambil ini sesuai dengan  fakta, lalu dia menguatkan setelah dipelajari dan diperbandingkan dari sejarah pekerjaan anak-anak beliau dan sebagian guru-guru beliau, bisa disimpulkan bahwa Al Imam Al Muhajir dilahirkan pada tahun 273 H. Sayyid Salim bin Ahmad bin Jindan mengatakan di kitab Muqaddimah Musnadnya bahwa Al Muhajir belajar kepada Al Nablisi Al basri ketika beliau berumur 4 tahun, dari sini disimpulkan bahwa beliau dilahirkan pada 279 H.

Al Muhajir tumbuh dan berkembang dibawah asuhan kedua orangtuanya dengan nuansa keilmuan religi yang sangat kental, demikian diungkapkan oleh Sayyid Muhammad bin Ahmad Al Shatiri, dalam kitabnya Adwaar Al Tarikh Al Hadhramy.

Masa yang dilalui Imam Ahmad bin Isa al-Muhajir adalah masa yang dipenuhi dengan ragam peradaban dan warna-warni ilmu pengetahuan, seperti ilmu shariah, filsafat, falak, satra, tasawuf, matematika dan lain-lain, dikatakan bahwasanya beliau banyak mengambil riwayat dari ulama’ pada zamannya, di antara mereka, Ibnu Mundah Al Asbahani, Abdul Karim Al Nisai, Al Nablisi Al bashri, banyak pula para ulama’ yang mengambil riwayat dari nya seperti Al Hafidh Al Daulabi (di bashrah 306 H), Ibnu Shaid, Al Hafidh Al Ajury, Abdullah bin Muhammad bin Zakariya Al Aufi Al Muammar Al Bashri, Hilal Haffar Al Iraqi, Ahmad bin Said Al Ashbahani, Ismail bi Qasim Al Hisasi, Abu Al Qasim Al Nasib Al Baghdadi, Abu Sahl bin Ziyad, dan lain-lain.

Sebagaimana disebutkan bahwa masa ini makmur dengan ilmu dan budaya namun di sisi lain masa ini pun marak dengan fitnah, pertikaian, bentrok pemikiran dan senjata, Al Imam Ahmad bin Isa Al Muhajir memandang masa itu sebagai masa kritis yang penuh dengan cobaan dan penderitaan. Negara-negara Islam mulai meleleh persatuan pandangan dan politiknya, dan berkembang menjadi ketidakstabilan sosial bahkan pertumpahan darah.

Revolusi Negro dan Fitnah Karamitah

Kehidupan Al Imam Ahmad bin Isa Al Muhajir semenjak muda hingga dewasa diwarnai dengan guncangan-guncangan social di bashrah dan Iraq secara umum, mulai dari revolusi negro yang berawal pada tahun 225, pada masa pemerintahan Negri Abbasiyah, sampai fitnah yang disebarkan oleh Karamitah, sebuah sekte yang dipimpin oleh Yahya bin Mahdi di Bahrain, dia dengan para pengikutnya bekerja keras untuk membiuskan paham-pahamnya disemua lapisan masyarakat dan menggunakan situasi guncang akibat revolusi negro dan fitnah Khawarij untuk memepercepat pertumbuhan dan perkembangan mereka.

Terpencarnya Bani Abi Thalib

Seorang ahli sejarah, Abdullah bin Nuh menuliskan dalam tambahannya untuk kitab Al Muhajir halaman 37 tentang kesaksian Al Muhajir tentang terpencarnya Bani Alawi ke penjuru dunia, seperti India, Sumatra, kepulauan Ujung Timur dan perbatasan China, yang mana hal ini merupakan sebab tersebarnya agama Islam di seluruh dunia.

Kepribadian Al Imam Ahmad bin Isa Al Muhajir di Bashrah

Kepribadian beliau dibentuk oleh suasana yang penuh dengan pertentangan, ilmu, sastra, falsafat, pertumpahan darah, rasa takut, pertikaian, disamping giatnya gerakan roda perdagangan dan pertanian, bahkan beliau menyaksikan kapal-kapal besar bersandar di Bashrah dengan membawa barang dagangan hasil bumi, dan orang-orang dari berbagai bangsa. Keluarga Al Muahajir termasuk keluarga terhormat yang bersih hatinya, penuh keberanian, kedudukan dan kekayaan dibarengi dengan taqwa dan istiqamah. Saudara beliau, Muhammad bin Isa adalah panglima perang dan pemimpin expansi wilayah Islam.

Hijrah Al Imam Ahmad bin Isa Al Muhajir dari Bashrah

Hijrah beliau didorong oleh keinginan untuk menjaga dan melindungi keluarga dan sanak familinya dari bahaya fitnah yang melanda Iraq waktu itu. Dengan berbagai pertimbangan akhirnya beliau memutuskan untuk hijrah ke Hijaz, maka disodorkanlah berbagai alasan untuk meyakinkan keluarga dan sanak familinya untuk meninggalkan Bashrah, dan mereka pun menyetujui usulannya.

Hijrah Al Imam Ahmad bin Isa Al Muhajir terjadi pada 317 H dari Bashrah ke Madinah Al Munawwarah. Di antara keluarga dan sanak famili beliau yang ikut berhijrah bersamanya adalah:

1. Al Imam Al Muhajir Ilaa Allah Ahmad bin Isa.
2. Zainab binti Abdullah bin Hasan Al Uraidli Isteri Al Muhajir
3. Abdullah bin Ahmad putra Al Muhajir
4. Ummul Banin binti Muhammad bin Isa bin Muhammad  Isteri Abdullah bin Ahmad.
5. Ismail bin Abdullah bin Ahmad yang dijuluki dengan Al Bashry
6. Al Syarif Muhammad bin Sulaiman bin Abdillah kakek Keluarga Al Ahdal
7. Al Syarif Ahmad Al Qudaimi kakek keluarga Al Qudaim
8. 70 orang dari oarng-orang dekat Al Muhajir, di antara mereka: hamba sahaya Al Muhajir, Jakfar bin Abdullah Al Azdiy, Mukhtar bin Abdullah bin Sa’ad, dan Syuwaiyah bin Faraj Al Asbahani.

Rombongan Al Muhajir berhijrah ke Madinah melalui jalan Syam, karena jalan yang biasa dilalui kurang aman dan sampai di Madinah pada tahun 317, konon di tahun ini terjadi fitnah besar di Al Haramain, gerakan Karamithah masuk ke Makkah Al Mukarramah di musim haji dan membuat keributan di sana serta mengambil Hajar Aswad dari tempatnya.

Pada tahun berikutnya 318 H, beliau beserta keluarga berangkat ke Makkah untuk melaksanakan ibadah haji, konon para jamaah haji pada tahun itu hanya meletakkan tangan mereka di tempat Hajar Aswad, disaat melaksanakan ibadah haji. Al Imam Ahmad bin Isa Al Muhajir bertemu dengan rombongan dari Tihamah dan Hadhramaut, sehingga belajarlah mereka (rombongan itu) kepada sang Imam perihal ilmu dan akhlak, dan mereka menceritakan kepada beliau tentang fitnah Al Khawarij di Hadhramaut dan mengajaknya untuk membantu mereka menyelesaikan fitnah itu, lantas Al Imam Al Muhajir menjanjikan untuk datang ke negeri mereka.

Perjalanan ke Tihamah dan Hadhramaut

Hadhramaut pada waktu itu berada di bawah pengaruh Abadhiyah, suatu gerakan yang dipelopori oleh Abdullah bin Ibadh Al Maady, gerakan ini pertama kali muncul pada abad ke-dua Hijriyah di bawah pimpinan Adullah bin Yahya Al Amawi yang menjuluki dirinya sebagai pencari kebenaran.

Al Mas’udi dalam kitab sejarahnya menuliskan: khawarij masuk Hadhramaut dan pada saat itu kebanyakan penduduknya adalah pengikut aliran Ibadhiyah dan sampai saat ini (332 tahun penulisan buku tersebut) dan tidak ada perbedaan antara khawarij yang ada di Hadhramaut dengan yang ada di Oman. Akan tetapi aliran Ibadhiyah dan Ahlu Sunnah tetap hidup di Hadhramaut, meskipun pengaruh khawarij lebih menyeluruh di wilayah Hadhramaut sampai datangnya Al Imam Ahmad bin Isa Al Muhajir.

Mengapa Al Muhajir Memilih Untuk Berhijrah ke Hadhramaut?

Dhiya Syihab dalam kitabnya ”Al Imam Al Muhajir” mengatakan: apakah motivasi Al Muhajir untuk berhijrah ke Hadhramaut adalah harta? Hadhramaut bukanlah negeri yang berlimpah harta dan beliau pun seorang yang kaya raya, ataukah hijrahnya adalah untuk membantu rakyat Hadhramaut, dan mencegah merembetnya fitnah Karamitah yang terus meluas? Sebenarnya kondisi dan peristiwa-peristiwa di atas adalah alasan utama kenapa Al Muhajir berhijrah ke Hadhramaut, sesuai ayat: “Alam takun ardlu Allahi waasi’atan fatuhaajiruu fiihaa” artinya tidakkah bumi Allah itu luas sehingga kamu berhijrah dan hadist: ”yuu syiku an yakuuna khairu maali al muslim ghanamun yatba’u biha sya’afa al jibal wa mawaqi’a alqatar ya firru bidiinihi min al fitan” artinya dikhawatirkan akan datang suatu masa dimana harta yang paling berharga bagi seseorang adalah kambing, dia membawanya ke arah pegunungan dan kota-kota untuk melarikan diri menyelamatkan agamanya dari fitnah. Maka Allah menjadikan hijrah Al Muahajir ke Hadramaut sebagai donator dan petunjuk sebab dengan hartanya Al Muhajir membangun banyak infrastruktur yang lapuk termakan zaman dan dengan kehadiran beliau, Allah menyadarkan banyak dari orang-orang yang fanatik buta kepada khawarij.

Rombongan Al Muhajir di antara Tihamah dan Hadhramaut

Sayyid Muhammad bin Sulaiman Al Ahdal salah satu dari anggota rombongan memutuskan untuk menetap di Murawa’ah di Tihamah, sedangkan Sayyid Ahmad Al Qudaimy memutuskan untuk menetap di lembah Surdud di Tihamah, dan dengan izin Allah S.w.t mereka menjadi tonggak berkembangnya keturunan Nabi Muhammad S.a.w di negri-negeri tersebut, adapun Al Imam Ahmad bin Isa Al Muhajir, beliau tetap meneruskan perjalanan hingga sampai  di desa Al Jubail di lembah Doan, konon penduduknya merupakan pecinta keluarga Nabi Muhammad S.a.w dan mereka dapat banyak belajar dari Imam Al Muhajir, kemudian pindah ke Hajren di sana terdapat Al Ja’athim termasuk kabilah Al Shaddaf yang merupakan pengikut aliran Sunny, di sana Al Muhajir mangajak semua golongan untuk bersatu di bawah panji Islam dan mempererat tali persaudaraan di antara mereka, maka banyaklah di antara orang-orang khawarij yang sadar dan taubat kembali kejalan yang benar, ketika di Hajren, Al Muhajir ditemani dan dibela oleh para petua dari kabilah ‘afif. Beliau membeli rumah dan kebun korma di Hajren yang kemudian dihibahkan ke hamba sahayanya Syuwaiyah sebelum pindah dari Hajren.

Setelah keluar dari Hajren, Imam Al Muhajir singgah dan bertempat tinggal di kampung Bani Jusyair di dekat desa Bur yang mana penduduknya pada saat itu adalah Sunny, di situ beliau berdakwah dengan sabar dan sopan, yang kemudian pindah lagi ke desa Al Husaiyisah, di sana beliau membeli tanah perkebunan yang dinamakan Shuh, wilayah atas desa Bur. Pada periode inilah beliau banyak menarik perhatian orang di daerah itu sehingga banyak dari mereka mengikuti langkah sang Imam, kecuali beberapa golongan dari khawarij, hal ini yang menyebabkan beliau mendatangi dan memahamkan mereka.

Al Imam Al Muhajir dan Khawarij

Hadirnya Al Imam Ahmad bin Isa Al Muhajir di Hadhramaut merupakan peristiwa besar dalam sejarah, sebab kehadiran beliau di sana membawa perubahan besar di daerah itu, Yaman ketika itu diperintah oleh Al Ziyad di Yaman utara, namun penduduk Hadhramaut memiliki hak untuk menentukan perkara mereka, tidak semua penduduk Hadhramaut pada saat itu bermadzhab Ibadhi, terbukti keluarga Al Khatib dan Ba Fadhal dari Tarim pada saat itu masih berpegang teguh dengan aliran yang benar.

Imam Al Muhajir selalu berdiskusi dengan para pengikut Abadhiyah dengan bijaksana dan teladan yang mulia, yang mana hal ini menjadi daya tarik tersendiri bagi para lawan diskusinya dan menimbulkan simpati mereka, khawarij adalah mazhab yang menerima diskusi tentang madzhab mereka, dan mereka pun banyak berdiskusi dengan para ulama dalam banyak hal, sedangkan Al Imam Al Muhajir merupakan sosok yang ahli dalam hal meyakinkan lawan bicara. Hal ini juga diungkapkan oleh Al Sayyid Al Syatiri dalam kitabnya “Al Adwar” halaman 123, sehingga aliran Abadhi perlahan-lahan terkikis dan habis di Hadhramaut dan digantikan dengan mazhab Al Imam Syafi'i dalam hal pekerjaan (tata cara) dan Imam Al Asy’ary dalam hal Aqidah.

Adakah Bentrok Senjata antara Al Muhajir dan Khawarij?

Para ahli sejarah berselisih pendapat tentang terjadinya kontak senjata antara Imam Al Muhajir dengan khawarij, sebagian menyatakan terjadinya hal itu dan meriwayatkan kemenangan sang Imam atas kaum khawarij, sebagian lagi menafikan hal tersebut.

Sayyid Al Syathiri dalam kitabnya “Al Adwar” menafikan terjadinya kontak senjata di antara kedua belah pihak, dkatakan juga bahwa pendapat ini diambil karena dari sekian referensi sejarah yang ada padanya tidak satu pun yang memaparkan tentang terjadinya kontak senjata, demikian juga para penulis sejarah Hadhramaut dari kurun terakhir, adapun Sayyid Dhiya Syihab dan Abdullah bin Nuh dalam kitab ”Al Muhajir” menyatakan terjadinya perang Bahran, namun keduanya tidak mencantumkan referensi yang memperkuat pendapat tersebut.

Sayyid Abdul Rahman bin Ubaidillah mengatakan bahwa Imam Al Muhajir dan putra-putranya terus-menerus melancarkan argumen-argumen kepada Ibadhiyah sampai mereka kehabisan dalil dan pegangan, dikatakan juga bahwa beliau melumpuhkan kekuasaan Abadhiyah dengan cara melancarkan argument-argumen yang membuktikan kesalahan mazhab mereka, Syekh Salim bin Basri mengatakan, Al Muhajir membuka kedok bid’ah khawarij dan membuktikan kesalahannya, pendapat keduanya didukung pula oleh Al Faqih Al Muqaddam.

Al Imam Al Muhajir dan Nasab Mulianya

Sebagian penulis mengangkat tajuk pada tulisan mereka mengenai nasab Ahlu Bait Nabi Muhammad S.a.w, banyak di antara mereka yang menanamkan keraguan tentang Ahlu bait, motivasi mereka untuk mengangkat tema itu bermacam-macam, di antara mereka ada yang hanya ingin mendapatkan pencerahan sehingga lebih meyakinkan mereka, ada pula di antara mereka yang ingin menjatuhkan Ahlu bait karena iri dan dengki terhadap mereka.

Berangkat dari kenyataan ini Al Imam Al Muhajir sebelum menuju ke Hadhramaut telah menyusun nasabnya dan anak-anaknya sampai kepada Rasulullah S.a.w, dan sebelumnya nasab keluarga Al Muhajir dan silsilahnya memanglah sudah terkenal di kota Bashrah, seandainya bukan begitu, ini merupakan titik lemah yang bisa digunakan oleh khawarij untuk menumbangkan dalill-dalil Al Muhajir.

Sepeninggal Al Imam Al Muhajir, beberapa orang ulama Hadhramaut berinisiatif untuk mencari bukti yang membenarkan nasab beliau, Syeh Ba Makhramah dalam kitab tarikh nya mengatakan: Ahmad bin Isa ketika datang di Hadhramaut, penduduk kota itu mengakui kemuliaan dan keagungannya, lantas mereka ingin membuktikan pengakuan mereka lantas 300 orang mufti di Tarim pada saat itu mengutus seorang ahli hadist Al Imam Ali bin Muhammad bin Jadid ke Iraq untuk membuktikan hal tersebut, lantas ia pulang dengan membawa nasab mulia Al Muhajir.

Alwi bin Thohir membeberkan masalah ini dalam artikelnya yang dimuat oleh majalah Rabithah Alawiyah (2/3/95 M) dan mengatakan, kemuliaan Al Muhajir, keberadaan family dan handai taulannya di Bashrah, tinggalnya Muhammad putra Al Muhajir di Bashrah untuk menjaga harta bendanya, dan putra putri Ali, Hasan, dan Husain, kedatangan Sayyid Jadid bin Abdullah untuk melihat harta benda itu, kesaksian penduduk Iraq akan kebenaran nasab Al Muhajir dan pengembangan harta Al Muhajir dari Iraq oleh anak cucunya di Hadhramaut, adanya saudara dan ipar Al Muhajir di Iraq, adanya hubungan yang kontinyu di antara mereka, adanya kabilah Bani Ahdal dan Bani Qudaim di Yaman, ini semua merupakan bukti akan kebenaran nasab Al Muhajir, tidaklah mudah bagi Sayyid Ali Bin Muhammad bin Jadid untuk mendapatkan bukti ini sepeninggal kakek-kakeknya selama bertahun-tahun bila nasab tersebut tidak terkenal di Bashrah, karena Ali dilahirkan di Hadhramaut, bergitu juga Ayahnya Muhammad bin Jadid, akan tetapi hubungan antara mereka dengan keluarga yang di Iraq setelah kepergian mereka tidak putus.

Di antara para penulis yang mengulas luas tentang nasab Al Muhajir dan putra-putranya adalah:

1. Al Majdi, Al Mabsuth, Al Masyjar, yang ditulis oleh Ahli nasab, Abu Hasan Najm Al Diin Ali bin Abi Al Ghanim Muhammad     bin Ali Al Umri Al Bashri, meninggal tahun 443.
2. Tahdhib Al Ansaab, Tulisan tangan Al Allamah Muhammad bin Ja’far Al Ubaidli, meninggal tahun 435.
3. Umdatu Al Thalib Al Kubra, ditulis oleh ahli nasab Al Allamah Ibn Anbah Jamal Al Diin Ahmad bin Ali bin Husain bin Ali bin mihna Al Dawudi.
4. Al Nafhah Al Anbariyah Fi Ansab Khairil Briyah, ditulis oleh Al Allamah Ibn Abi Al Fatuh  Abi Fudhail Muhammad Al Kadhimi, meninggal tahun 859.
5. Tuhfatu Al Thalib Bi Ma’rifati Man Yantasib Ilaa Abdillah Wa Abii Thalib, ditulis oleh Al Allamah Al Muarrikh Abi Abdillah Muhammad bin Al Husain Al Samarqandi Al Makky, meninggal tahun 996.
6. Zahru Al Riyadh  Wa Zalalu Al Hiyaadl, ditulis oleh Al Allamah Dlamin bin Syadqam, meninggal tahun 1085.

Ibn Anbah dan AL Imam Al Murtadla memiliki dua kitab berbeda tentang nasab ini dan belum dicetak, adapun kitab yang ditulis secara modern tentang nasab Ahlu bait antara lain Dirasaat Haula Ansaab Alu bait oleh Saggaf bin Al Alkaff., Tazwiid Al Rawi oleh Sayyid Muhammad bin Ahmad Al Syathiri. Jadi permasalahannya sekarang bukan karena kurangnya literature atau referensi, tapi karena hilangnya prinsip amanah dan hantaman dari para pengkhianat, juga karena kurangnya tingkat pengetahuan syariah sebagian Ahlu bait dan terpengaruhnya mereka oleh budaya orientalis yang terus merongrong zona Islam.

Wafatnya Al Imam Al Muhajir

Setelah perjuangan yang tanpa mengenal lelah dan penuh kesabaran Al Imam Al Muhajir berhasil menanamkan metode Da’wah ila Allah dengan cara khusus beliau, dan berhasil pula menanamkan paham Ahlu Sunnah Wal Jama'ah di Hadhramaut, akhirnya Al Muhajir berpulang kehadirat Allah S.w.t pada tahun 435 H, beliau dimakamkan di Al Husyaisyiah tepatnya di Syi’b Makhdam, dan dapat diziarahi sampai hari ini.

Dimakamkan pula di sekitar Kuba Al Muhajir, Sayyid Al Allamah Ahmad Al Habsyi, dahulu diadakan setiap tahunnya peringatan masuknya Al Imam Al Muhajir ke Hadhramaut kemudian peringatan ini sempat terputus, lalu diadakan lagi, namun dalam bentuk lebih terbatas, dan pada tahun 1422 H ditambahkan beberapa peringatan yang sesuai dengan zaman, seperti seminar tentang sampainya Al Imam Al Muhajir di Hadhramaut, yang diisi di dalamnya dengan studi tentang sosok Al Muhajir, sejarah, ilmu, dan pengaruh perpindahannya ke Hadhramaut dalam kuliah-kuliah yang diadakan di Tarim dan Seiyun, dan harapan kami hal ini akan menjadi adat setiap tahun yang akan membiaskan gambaran ilmu dan sejarah yang telah ditorehkan oleh sekolah Al Muhajir dan orang-orang setelahnya demi membela Islam, umat, dan negeri.

الفاتحة إلى روح سيدنا وحبيبنا وشفيعنا رسول الله محمد بن عبدالله وآله وأصحابه وأزواجه وذريته وأهل بيته وإلى روح سيدنا المهاجر إلى الله أحمد بن عسى وأصوله وفروعهم ، أن الله يعلى درجاتهم في الجنة ويكثر من مثوباتهم ويضاعف حسناتهم و يحفظنا بجاههم وينفعنا بهم ويعيد علينا من بركاتهم وأسرارهم وأنوارهم وعلومهم ونفحاتهم في الدين والدنيا والآخرة – الفاتحة
_______________________________________________________________

Sumber: http://indo.hadhramaut.info/

Previous
Next Post »