Hidup Bermasyarakat Dalam Tuntunan Rasulullah S.A.W

"Interaksi sosial kita dalam hidup bermasyarakat hendaklah sesuai dengan syari'ah yang diajarkan Rasulullah S.a.w, Insya Allah akan tercipta jalinan sosial yang indah dan berkah, yang akan membawa kebahagiaan dan keberuntungan di dunia dan akhirat"


Islam adalah agama rahmah, yang penuh kasih sayang, ajaran yang menjaga nilai-nilai kemanusiaan, individu dan masyarakat pada setiap sisi fenomena kehidupan dan setiap gerak serta waktu di alam jagat raya ini. Hidup rukun dalam bermasyarakat adalah moral yang sangat ditekankan dalam Islam. Jika umat Islam memberikan perhatian dan sungguh-sungguh menjalankan konsep yang telah diajarkan Rasulullah S.a.w, niscaya akan tercipta kehidupan masyarakat yang tentram, aman dan nyaman, di lingkungan tempat tinggal kita, di lingkungan pendidikan atau di tengah masyarakat umum, baik bersama orang-orang yang sebaya ataupun yang sama keinginan dan kebutuhannya dengan kita, atau siapa saja.

Sayyidina Umar bin al-Khatthab Radhiallahu Anhu berkata: “Kami adalah suatu kaum yang telah dimuliakan oleh Allah Azza wa Jalla dengan Islam, maka bila kami mencari kemuliaan dengan selain cara-cara Islam maka Allah akan menghinakan kami.”.

Setiap manusia adalah makhluk sosial, seseorang tidak bisa lepas dari interaksi dengan sesamanya. Bahkan seringkali dia harus dibantu oleh orang lain dalam memenuhi kebutuhannya dan demikian pula sebaliknya. Atas dasar inilah, kaum muslimin diperintahkan untuk saling menghormati, saling memahami kondisi dan perasaan dan saling mengasihi terhadap yang memerlukan, saling berterima kasih dan saling memberi kebaikan, sikap demikianlah yang akan mengantarkan kita kepada nikmat-nikmat-Nya berlipat ganda.

Firman Allah S.w.t:

١٣. يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُم مِّن ذَكَرٍ وَأُنثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوباً وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ 

Wahai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”. (QS Al Hujurat: 13).

Hubungan sosial antar sesama ini merupakan kehendak Allah S.w.t yang kesemuanya dalam bentuk, cara, dan peraturan yang diatur sesuai dengan fitrah manusia itu sendiri. Masyarakat yang harmonis, dipenuhi rasa kebersamaan dan kekeluargaan pastilah menjadi harapan kita, dan sudahlah pasti bahwa hanyalah dengan aturan Allah dan Rasul-Nya akan terwujud ikatan hubungan masyarakat yang kuat dalam jalinan kasih sayang di antara kaum muslim, sebagaimana yang telah ditunjukkan oleh masyarakat kaum Anshar dan Muhajirin.

Sayyidina Rasulullah Nabi Muhammad S.a.w bersabda: “Hendaklah kalian bertaqwa kepada Allah dan memperbaiki hubungan di antara sesama kalian, karena sesungguhnya Allah memperbaiki hubungan di antara orang-orang yang beriman pada hari kiamat.”. (HR Hakim dari Anas bin Malik R.a).

Di dalam Al Qur'an, Allah S.w.t berfirman:

وَتَعَاوَنُواْ عَلَى الْبرِّ وَالتَّقْوَى وَلاَ تَعَاوَنُواْ عَلَى الإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ

..Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran..”. (QS Al-Ma'idah [5]: 2).

Ketahuilah saudaraku, bahwa dalam hidup bermasyarakat (berinteraksi sosial) sehari-hari, tidaklah mudah bagi seseorang untuk mendapatkan kerelaan orang lain sehingga dapat hidup bersama-sama mereka dengan penuh kasih sayang, sementara kerukunan dan keharmonisan dalam masyarakat merupakan kondisi ideal yang semestinya harus terus diusahakan. Maka perlulah upaya kita untuk menggapai keridha'an Allah S.w.t dalam bergaul dengan sesama, yang tiada jalan lain selain apa yang telah disyariatkan dan dituntun oleh Rasul-Nya S.a.w. Allah Ta’ala berfirman:

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِى رَسُـوْلِ اللَّهِ أسْـوَةٌ حَسَـنَةٌلِمَنْ كَانَ يَرْجُوْااللَّهَ وَاليَوْمَ الآخِرَ وَذَكَرَاللَّهَ كَثِيْرًا

Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu uswah hasanah (suri tauladan yang baik) bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (Rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.”. (QS Al-Ahzab: 21).

Untuk membahas apa yang menjadi judul dari tulisan ini tentunya tak akan cukup dengan bahasan yang singkat, namun apa yang hendak kami sampaikan ini adalah hanyalah 'sedikit' dari samudra tuntunan Rasulullah S.a.w, terkhusus dalam hidup bermasyarakat. Semoga kita semua dapat menjadi lebih baik dari waktu-waktu sebelumnya, dengan terus membenahi diri, mengikuti dan mencontoh budi pekerti Nabi kita tercinta (S.a.w). Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam bersabda:

من كان يومه خيرا من امسه فهو رابح. ومن كان يومه مثل امسه فهو مغبون. ومن كان يومه شرا من امسه فهو ملعون. ( رواه الحاكم

Barang siapa hari ini lebih baik dari hari kemarin, dialah tergolong orang yang beruntung, barang siapa yang hari ini sama dengan hari kemarin, dialah tergolong orang yang merugi dan barang siapa yang hari ini lebih buruk dari hari kemarin, dialah tergolong orang yang celaka”. (HR Hakim).

Mudah-mudahan kita semua termasuk orang-orang yang beruntung seperti termaktub dalam hadits tersebut, Aamiin.

اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ، اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَيْهِ وَسَلِّمْ


Jangan Marah! Tinggalkan Dendam dan Hasud

Dari Abu Hurairah R.a bahwasanya ada seorang lelaki yang berkata kepada Nabi S.a.w, "Ya Rasulullah, Berikanlah wasiat padaku!", Nabi S.a.w menjawab: "Janganlah engkau marah", Orang itu mengulang-ulangi lagi permintaan wasiatnya sampai beberapa kali, tetapi Beliau S.a.w tetap menjawab: "Janganlah engkau marah.". (HR Muslim).

Hadist riwayat Abu Hurairah R.a, bahwa Rasulullah S.a.w bersabda: "Bukanlah orang kuat itu dengan menang bergulat, tetapi orang yang kuat ialah orang yang dapat menguasai dirinya ketika marah". (Shahih Muslim 4723).

Cabang iman 43-44 disebutkan dalam bait:

اُتْرُكْ وَاَمْسِكْ كُلَّ غِلٍّ وَالْحَسَدَ * حَرِّمْ لِعِرْضِ الْمُسْلِمِيْنَ فَتَسْلَمُ

"Tinggalkan dan cegahlah olehmu setiap dendam dan hasud, haramkan bagi kehormatan orang-orang muslim, maka engkau akan selamat".

Dendam adalah buah dari kemarahan, sedangkan letak dari kekuatan marah adalah hati. Marah adalah mendidihnya darah hati untuk menuntut hukuman. Arti dendam ialah apabila hati selalu merasa berat dan benci, sedangkan perasaan tersebut langgeng dan tetap.

Rasulullah S.a.w bersabda:

اَلْمُؤْمِنُ لَيْسَ بِحَقُوْدٍ

"Orang mukmin itu bukanlah pendendam".

Definisi dari dendam adalah benci terhadap kenikmatan yang ada pada orang lain dan senang apabila kenikmatan lenyap dari orang tersebut.

Sayyidina Hasan bin Ali R.a meriwayatkan, dari Rasulullah S.a.w bersabda:

اَلْغِلُّ وَالْحَسَدُ يَأْكُلاَنِ الْحَسَنَاتِ كَمَا تَأْكُلُ النَّارُ الْحَطَبَ

"Dendam dan hasud memakan amal kebajikan, sebagaimana api memakan kayu bakar".

Hasud adalah buah dari dendam, sedangkan dendam adalah buah dari marah. Jadi hasud adalah cabang dari cabang, sedangkan marah adalah asal dari asal. Rasulullah S.a.w bersabda:

لاَ تَحَاسَدُوْا وَلاَ تَنَاجَشُوْا وَلاَ تَبَاغَضُوْا وَلاَ تَدَابَرُوْا وَلاَ يَبِعْ بَعْضُكُمْ عَلَى بَيْعِ بَعْضٍ. وَكُوْنُوا عِبَادَ اللهِ اِخْوَانًا . اَلْمُسْلِمُ اَخُو الْمُسْلِمِ

"Janganlah kamu sekalian saling berbuat hasud. Janganlah saling menambah penawaran. Janganlah saling membenci. Janganlah bercerai-berai. Janganlah salah seorang dari kamu sekalian saling berebut pembeli. Dan jadilah kamu sekalian para hamba Allah yang bersaudara. Orang muslim adalah saudara orang muslim".

Di antara hikmah dari hadits di atas ialah agar kita sekalian jangan saling mengangan-angankan nikmat yang ada pada orang lain hilang, jangan saling menambah harga dari barang yang dijual oleh orang lain bukan karena senang membelinya, akan tetapi untuk mengecoh orang lain, jangan saling membenci dan saling memalingkan muka karena benci, jangan saling mengurangi harga barang dagangan bagi seseorang pembeli pada saat khiyar (saat tawar-menawar masih berlangsung) dengan mengatakan: ”Batalkan membeli barang itu dari si A, aku akan menjual kepadamu barang seperti itu dengan harga yang lebih murah, atau dengan harga seperti itu dengan barang yang lebih bagus!”. Kita hendaknya menyibukkan diri untuk melaksanakan ajaran agama Islam seolah-olah kita sekalian adalah anak-anak dari satu orang, sebagaimana sesungguhnya kita adalah para hamba Tuhan Yang Esa. Hal tersebut didasarkan bahwa sesungguhnya orang muslim adalah saudara dari orang muslim lainnya dalam agama.

Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Yusuf telah mengabarkan kepada kami Malik dari Ibnu Syihab dari Anas bin Malik bahwa:

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا تَبَاغَضُوا وَلَا تَحَاسَدُوا وَلَا تَدَابَرُوا وَكُونُوا عِبَادَ اللَّهِ إِخْوَانًا وَلَا يَحِلُّ لِمُسْلِمٍ أَنْ يَهْجُرَ أَخَاهُ فَوْقَ ثَلَاثِ لَيَالٍ

Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda: ”Janganlah kalian saling membenci, janganlah saling mendengki dan janganlah kalian saling membelakangi dan jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara, dan tidak halal bagi seorang muslim mendiamkan saudaranya melebihi tiga malam.”. (Shahih Bukhari 5612).


Larangan Mencela dan Mengadu Domba Orang Muslim

Jangan meremehkan orang lain, karena masing-masing manusia sudah diberikan kelebihan dan kekurangan. Tidak mutlak seseorang yang berpenampilan menarik berhati baik dan jangan mengira yang berpakaian compang-camping atau terlihat sederhana, di sisi Allah lantas mereka hina. Manusia menjadi mulia karena takwanya bukan karena faktor dunia, pangkat jabatan atau lainnya. Allah S.w.t berfirman:

"Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu.". (QS Al Hujurat: 13).

Dalam hidup bermasyarakat, wajar jika terjadi 'gesekan-gesekan', akan tetapi permasalahan yang muncul itu tidak boleh jadi pemicu munculnya keretakan dan permusuhan. Jika terjadi gesekan dalam kehidupan bermasyarakat maka diantara satu dengan yang lain haruslah menghindari terjadinya caci maki karena hal itu akan memperburuk hubungan masing-masing. Itulah mengapa dosa yang akibat dari cacian itu dipikul oleh orang yang lebih dahulu memulai. Sebagaimana pada hadist yang diriwayatkan dari Sayyidina Abu Hurairah R.a, bahwa Rasul S.a.w bersabda:

Apabila dua orang terlibat saling mencaci, dosa cacian itu dipikul oleh yang memulai, selama yang dicaci tidak membalas melampaui batas.”. (HR Muslim).

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda:

وَإِنِ امْرُؤٌ شَتَمَكَ وَعَيَّرَكَ بِمَا يَعْلَمُ فِيكَ فَلاَ تُعَيِّرْهُ بِمَا تَعْلَمُ فِيهِ فَإِنَّمَا وَبَالُ ذَلِكَ عَلَيْهِ

Jika ada seseorang yang menghinamu dan mempermalukanmu dengan sesuatu yang ia ketahui ada padamu, maka janganlah engkau membalasnya dengan sesuatu yang engkau ketahui ada padanya. Akibat buruk, biarlah ia yang menanggungnya.“. (HR Tirmidzi 2722).

Ketahuilah, bahwa seseorang itu dianggap cukup melakukan kejahatan apabila dia menghina saudaranya sesama muslim, semisal sebab kemelaratannya atau lainnya. Seorang muslim seharusnya memuliakan dan menghormati sesama muslim lainnya, semua perbuatan yang menyakitkan orang muslim lain adalah haram, seperti menumpahkan darahnya, mengambil hartanya dan mencelanya, baik di hadapannya (menghina) maupun pada saat dia tidak hadir (menggunjiing). Sabda Rasulullah S.a.w:

بِحَسْبِ امْرِئٍ مِنَ الشَّرِّ اَنْ يَحْقِرَ اَخَاهُ الْمُسْلِمَ . كُلُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ حَرَامٌ دَمُهُ وُمَالُهُ وَعِرْضُهُ .

“Seseorang dianggap berbuat jahat bila ia menghina saudaranya sesama muslim. Setiap orang muslim atas orang muslim yang lain haram darahnya, hartanya, dan kehormatannya“.

Dalam sebuah hadits disebutkan:

مَنْ مَاتَ تَآئِبًا مِنَ الْغِيْبَةِ فَهُوَ آخِرُ مَنْ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ وَمَنْ مَاتَ مُصِرًّا عَلَيْهَا فَهُوَ أَوَّلُ مَنْ يَدْخُلُ النَّارَ وَهُوَ يَبْكِى

“Barangsiapa yang mati dalam keadaan bertaubat dari ghibah (menggunjing orang lain), maka dia adalah orang yang terakhir masuk surga. Dan Barangsiapa yang mati dalam keadaan terus menerus (membandel) berbuat ghibah, maka ia adalah orang pertama yang masuk neraka dalam keadaan menangis“. Tahukah kamu apa ghibah itu?, para Sahabat menjawab: “Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui.“, Beliau S.a.w bersabda: “Menyebut-nyebut sesuatu tentang saudaramu hal-hal yang dia tidak sukai.“. (HR Muslim).

Imam Qurtubi memberikan penjelasan tentang firman Allah S.w.t: “Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati” (QS [49]: 12); Allah memberikan perumpamaan mengenai kejelekan ghibah dengan memakan daging orang mati karena orang mati tidak mungkin mengetahui kalau dagingnya sedang dimakan, seperti saat ia hidup tidak mengetahui bahwa dirinya sedang digunjingkan.

Baginda Rasulullah S.a.w bersabda:

سباب المؤمن فسوق وقتاله كفر

Artinya: “Mengejek seorang mukmin adalah perbuatan fasik sedangkan membunuhnya termasuk kekafiran.“.

Di antara wasiat-wasiat Rasulullah S.a.w adalah janganlah menghina orang lain. Suatu ketika Abu Jurayy berkata kepada Rasulullah S.a.w, “Berilah wasiat kepadaku, Ya Rasulullah”, Nabi S.a.w pun memberi wasiat:

لاَ تَسُبَّنَّ أَحَدًا

Janganlah engkau menghina seorang pun.”.

Setelah Rasul S.a.w menyampaikan wasiat ini, sahabat ini tidak pernah lagi menghina seorang pun, walau pada seorang budak bahkan hewan, Abu Jurayy berkata: “Aku tidak pernah lagi menghina seorangpun setelah itu, baik kepada orang yang merdeka, seorang budak, seekor unta maupun domba.”.

Dalam surat Al Hujurat, Allah Ta’ala memberikan kita petunjuk dalam berakhlak yang baik:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِنْ قَوْمٍ عَسَى أَنْ يَكُونُوا خَيْرًا مِنْهُمْ وَلَا نِسَاءٌ مِنْ نِسَاءٍ عَسَى أَنْ يَكُنَّ خَيْرًا مِنْهُنَّ

Wahai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik.”. (QS Al Hujurat: 11).

Berhati-hatilah menjaga lisan dan hati ini daripada menghina atau melecehkan orang lain, terkadang apa yang kita benci malah itu baik untuk kita dan begitu juga sebaliknya sesuatu yang kita suka padahal itu tidak ada kebaikannya untuk kita. Belajarlah hidup sehat dan islami dengan tidak menyakiti pada sesama, saling menghormati, rukun dan damai.

Rasulullah S.a.w bersabda:

مَنْ حَمَى عِرْضَ أَخِيْهِ الْمُسْلِمِ فِى الدُّنْيَا بَعَثَ اللهُ تَعَالَى لَهُ مَلَكًا يَحْمِيْهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنَ النَّارِ

"Barangsiapa yang menjaga kehormatan saudaranya muslim di dunia, niscaya Allah Ta'ala akan mengutus malaikat pada hari kiamat untuk menjaganya dari api neraka".

Seorang sahabat bertanya pada Rasulullah S.a.w:

يا رسول الله! إن فلانة تصلي الليل وتصوم النهار، وفي لسانها شيء تؤذي جيرانها. قال: لا خير فيها، هي في النار

Wahai Rasulullah, si fulanah sering shalat malam dan puasa, namun lisannya pernah (atau sering) menyakiti tetangganya“. Rasulullah S.a.w bersabda: ‘Tidak ada kebaikan padanya, ia di neraka.”. (HR Al Hakim).

Imam al-Ghazali R.a menasehatkan: ”Jika engkau melihat orang jahat, jangan anggap kita lebih mulia karena mungkin satu hari nanti dia akan insyaf dan bertaubat atas kesalahannya.”. Sesungguhnya, jika kita benar-benar takut kepada Allah, maka hati dan lisan ini akan selalu terjaga dari mengotori dengan cacian makian kepada orang lain, bahkan kepada orang yang belum insyaf sekalipun.

Rasulullah S.a.w bersabda:

لَيْسَ الْمُؤْمِنُ بِالطَّعَّانِ وَلاَ اللَّعَّانِ وَلاَ الْفَاحِشِ وَلاَ الْبَذِىءِ

Seorang mukmin bukanlah seorang pengumpat, pengutuk, yang suka berkata keji dan berkata kotor”. (HR Turmudzi).

Janganlah merusak hubungan di antara sesama dengan mengadu domba, membicarakan keburukannya dan hal-hal lain yang menyebabkan perpecahan, karena hal itu termasuk dosa yang amat besar di sisi Allah S.w.t. Baginda Nabi Shalallahu Alaihi wa Aalihi wa Shahbihi wa Salam bersabda:

 أبغضكم إلى الله تعالى المشاؤون بين الأحبة بالنميمة المفرقون بين الإخوان

Artinya: ”Orang yang paling dibenci oleh Allah di antara kalian adalah yang selalu mengadu domba di antara orang-orang yang saling kasih sayang, yang membuat perpecahan di antara saudara-saudara.”.

Di dalam Islam, telah dijelaskan mengenai haramnya mengadu domba, yaitu memindahkan kata-kata antara para manusia dengan tujuan hendak membuat perpecahan di antara mereka, membuat mereka saling bermusuhan, merusak (hubungan kedekatan atau persaudaraan) dan dengan memfitnah mereka. Sabda Rasulullah S.a.w:

لا يدخل الجنة نمام

Artinya: ”Tidak akan masuk surga seorang pengadu domba.”.

Dari Hudzaifah R.a berkata bahwa Rasulullah S.a.w bersabda: ”Tidak dapat masuk syurga seorang yang gemar mengadu domba.”. (Muttafaq 'alaih).

Hadis riwayat Abdullah bin Masud R.a: Sesungguhnya Nabi Muhammad S.a.w pernah bersabda: "Maukah kamu sekalian aku beritahukan tentang apa itu adhhu? Adhhu adalah perkataan adu-domba yang selalu diucapkan di antara orang banyak". Dan sesungguhnya Nabi Muhammad S.a.w juga pernah bersabda: "Sesungguhnya seseorang selalu berkata jujur sehingga dia tercatat sebagai orang jujur dan seseorang selalu berdusta sehingga dia dicatat sebagai seorang pendusta". (Shahih Muslim 4718).

Dari Ibnu Mas'ud R.a, bahwasanya Nabi S.a.w bersabda: "Tahukah engkau semua, apakah kedustaan besar itu? Yaitu Namimah atau banyak bicara adu domba antara para manusia.". (Riwayat Muslim).

Catatan: Al'adhha dengan fathahnya 'ain muhmalah dan sukunnya dhad mu'jamah dan dengan ha' menurut wazan Alwajhu. Ada yang mengatakan Al'idhatu dengan kasrahnya 'ain dan fathahnya dhad mu'jamah menurut wazan Al'idatu, artinya ialah kedustaan serta kebohongan besar. Menurut riwayat pertama, maka al'adhhu adalah mashdar, dikatakan: 'adhahahu 'adhhan artinya melemparnya dengan kedustaan atau pengadudombaan.


Bertindak Lembut dan Saling Bersangka Baik

Dari Aisyah Radhiallahu 'Anha istri Nabi S.a.w, bahwa Rasulullah S.a.w bersabda: “Wahai Aisyah! Sesungguhnya Allah itu Maha Lembut yang menyukai kelembutan. Allah akan memberikan kepada orang yang bersikap lembut sesuatu yang tidak diberikan kepada orang yang bersikap keras dan kepada yang lainnya“. (Shahih Muslim 4697).

Dari Jarir bin Abdullah R.a, berkata: Saya mendengar Rasulullah S.a.w bersabda: "Barangsiapa yang tidak dikaruniai sifat lemah lembut, maka ia tidak dikaruniai segala macam kebaikan.". (HR Muslim).

Dari Aisyah Radhiallahu 'Anha, beliau berkata: Rasulullah S.a.w bersabda: "Sesungguhnya Allah itu Maha Lemah Lembut dan mencintai sikap yang lemah lembut dalam segala perkara.". (Muttafaq 'alaih).

Hendaknya kita berprasangka baik kepada orang muslim dan jangan sampai berprasangka buruk terhadap seorang pun dari mereka. Baginda Nabi Muhammad S.a.w bersabda:

خصلتان ليس فوقهما شيء من الخير : حسن الظن بالله وحسن الظن بعباد الله , وخصلتان ليس فوقهما شيء من الشر , سوء الظن بالله , وسوء الظن بعباد الله

Artinya: “Dua perkara yang tiada tertandingi kebaikannya, yaitu berprasangka baik kepada Allah dan berprasangka baik kepada para hamba Allah, dan dua perkara yang tiada tertandingi keburukannya, yaitu berprasangka buruk kepada Allah dan berprasangka buruk kepada para hamba Allah “.

Dalam hadis lain Beliau S.a.w besabda: “Berbaik sangka itu terpuji meskipun sangkaannya itu salah dan berburuk sangka itu buruk dan berdosa, meskipun sangkaannya itu benar“.

Al-Allamah Al Habib Abdullah bin Alwi Al Haddad berkata: "Puncak berprasangka baik kepada kaum muslimin adalah engkau tidak meyakini keburukan dalam perbuatan maupun ucapan mereka sedikit pun.".

Prasangka baik terhadap makhluk bukti kemuliaan jiwa dan buahnya adalah khusnul khotimah dalam keadaan bangga. ~ Qaul Rijalus Sholih.

Prasangka buruk merupakan kunci perpecahan di antara dua orang atau pihak, dengan menghindari prasangka buruk terhadap muslim lainnya maka pergaulan akan tetap utuh. Hendaklah kita menafsirkan perkataan teman kita dengan penafsiran yang paling baik, jika kita menemukan perkataan atau sikap teman kita yang tidak sesuai dengan hati kita. Kecuali jika kita yakin bahwa teman kita melakukan hal kejelekan, maka hendaklah kita menasehati mereka dengan cara yang baik.

Perlu kita sadari bahwa kita ini makhluk yang lemah dan terbatas dalam pengetahuan kita akan apa yang tersembunyi di balik setiap perbuatan orang lain, maka tak pantaslah kita banyak menduga-duga kecuali dengan perkiraan yang positif (sangkaan baik). Dalam Al Qur'an, Allah S.w.t berfirman:

١٢. يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيراً مِّنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَب بَّعْضُكُم بَعْضاً أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَن يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتاً فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَّحِيمٌ 

Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka (kecurigaan), karena sebagian dari prasangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.”. (QS al-Hujurat [49]: 12).

Bagi yang mendamba kesejahteraan, kedamaian dan kerukunan, baik di lingkungan masyarakat luas maupun lingkup yang lebih kecil dalam rumah tangga, maka tak ada pilihan, ia harus membuang dan menjauhi prasangka buruk.

Hadist riwayat Abu Hurairah R.a, bahwa Rasulullah S.a.w bersabda: "Hindarilah oleh kamu sekalian berburuk sangka, karena buruk sangka adalah ucapan yang paling dusta. Janganlah kamu sekalian saling memata-matai yang lain, janganlah saling mencari-cari aib yang lain, janganlah kamu saling bersaing (dalam hal duniawi), janganlah kamu saling mendengki dan janganlah kamu saling membenci dan janganlah kamu saling bermusuhan, tetapi jadilah hamba-hamba Allah yang bersaudara". (Shahih Muslim 4646).


Saling Tolong-menolong dan Menyelamatkan

Jalinan keakraban dan lingkungan yang aman merupakan pilar-pilar yang diperlukan bagi terbentuknya masyarakat muslim yang damai dan sejahtera, yang kesemuanya dapat terwujud manakala mereka saling tolong-menolong dan menjaga keselamatan. Dengan tolong-menolong antara satu dengan lainnya maka akan terlahir sikap saling menutupi kekurangan sehingga antara satu dengan lainnya akan saling menguatkan.

Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Aalihi wa Shahbihi wa Salam bersabda:

المسلم للمسلم كالبنيان يشد بعضه بعضا, وكالجسد الواحد إذا اشتكى منه عضو تداعى له سائر الجسد بالسهر والحمى

Artinya: “Seorang muslim bagi muslim yang lainnya bagaikan sebuah bangunan yang saling menguatkan satu sama lain dan seperti satu badan jika ada satu anggota tubuh yang mengeluh, maka seluruh badan ikut merasakan panasnya.“.

Salafunasshalihin (R.a) berkata: “Manusia ada yang diuji dan ada yang diselamatkan, oleh karena itu kasihanilah orang-orang yang teruji, dan bersyukurlah kepada Allah S.w.t atas keselamatan itu“. (Risalah Muawanah Imamul Haddad).

Keutamaan orang yang memberi kebahagiaan pada orang lain dan menolong mengangkat kesulitan orang lain, disebutkan dalam hadits; Rasulullah S.a.w bersabda:

وَاللهُ فِيْ عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِيْ عَوْنِ أَخِيْهِ

Dan Allah senantiasa menolong hamba-Nya, selama hamba itu menolong saudaranya“. (HR Muslim).

Dalam hadits lain, Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda:

أَحَبُّ النَّاسِ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى أَنْفَعُهُمْ لِلنَّاسِ , وَأَحَبُّ الأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى سُرُورٌ تُدْخِلُهُ عَلَى مُسْلِمٍ , أَوْ تَكَشِفُ عَنْهُ كُرْبَةً , أَوْ تَقْضِي عَنْهُ دَيْنًا , أَوْ تَطْرُدُ عَنْهُ جُوعًا , وَلأَنْ أَمْشِيَ مَعَ أَخِ فِي حَاجَةٍ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ أَنْ أَعْتَكِفَ فِي هَذَا الْمَسْجِدِ يَعْنِي مَسْجِدَ الْمَدِينَةِ شَهْرًا

Manusia yang paling dicintai oleh Allah adalah yang paling memberikan manfaat bagi manusia. Adapun amalan yang paling dicintai oleh Allah adalah membuat muslim yang lain bahagia, mengangkat kesusahan dari orang lain, membayarkan utangnya atau menghilangkan rasa laparnya. Sungguh aku berjalan bersama saudaraku yang muslim untuk sebuah keperluan lebih aku cintai daripada beri’tikaf di masjid ini (masjid Nabawi) selama sebulan penuh.”. (HR Thabrani).

Saudaraku, segala karunia yang diberikan Allah S.w.t kepada kita merupakan sarana untuk menggapai ridha-Nya. Sayangnya, sering kali kita menyia-nyiakan kesempatan itu. Menolong seseorang sesuai kemampuan kita sebenarnya tidak sulit untuk dilakukan, akan tetapi akhir zaman ini semakin sedikit manusia yang peduli kepada orang lain. Padahal, dengan menolong dan mewujudkan hajat orang lain, Allah akan menolong dan mewujudkan hajatnya. Diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar R.a; bahwa Rasulullah Sa.w bersabda:

وَمَنْ كَانَ فِى حَاجَةِ أَخِيهِ كَانَ اللَّهُ فِى حَاجَتِهِ

Siapa yang biasa membantu hajat saudaranya, maka Allah akan senantiasa menolongnya dalam hajatnya.”. (HR Bukhari dan Muslim).

Tanamkanlah dalam hatimu dan berusahalah untuk menginginkan kebaikan bagi mereka seperti apa yang engkau inginkan bagi dirimu dan tidak menginginkan keburukan menimpa mereka seperti juga engkau tidak menginginkannya menimpa dirimu. Baginda Rasulullah S.a.w bersabda:

لايؤمن أحدكم حتى يحب لأخيه ما يحب لنفسه

Artinya: “Tidaklah sempurna keimanan dari kalian hingga ia menginginkan untuk saudaranya apa yang ia inginkan untuk dirinya”.

Di antara tanda dari keimanan adalah jika seorang telah melihat orang beriman lainnya seakan-akan sebagai dirinya sendiri, sehingga ia pun mencintai mereka, dimana ketika perasaan ini telah ada di antara kaum muslimin maka pastilah mereka akan saling mengharapkan ketenangan, ketentraman, kesejahteraan, kebahagiaan dan segala kebaikan untuk saudara muslim lainnya sebagaimana ia mencintai segala kebaikan itu tercurah bagi dirinya, dan sebaliknya tak ingin keburukan menimpa saudaranya sebagaimana ia juga tak ingin itu terjadi pada dirinya. (Baca juga: Persaudaraan Yang Tulus).

Dalam sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Asy-syaikhan dari Anas R.a, Nabi S.a.w bersabda:

لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ

Artinya: “Tidak akan beriman di antara kamu sehingga dia mencintai saudaranya sebagaimana dia mencintai dirinya sendiri“. (HR Bukhari dan Muslim).

Jangan sampai merugikan orang lain, sebisa mungkin kita berusaha menjadi orang yang dapat memberi manfaat kepada orang lain, memberi bantuan kepada orang lain, menghormati hak-hak sesama, Insya Allah kita akan selamat, tentram dan dijauhkan dari hal-hal yang tak disukai.

عَنِ جابر، رَضِيَ الله عَنْهُمَا، قَالَ : قال رَسُولُ اللهِ صَلَّى الله عَلَيه وسَلَّم: خَيْرُ النَّاسِ أَنْفَعُهُمْ لِلنَّاسِ

Dari Jabir R.a bercerita, bahwa Rasulullah S.a.w bersabda: “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya.“. (HR Ahmad dan ath-Thabrani).

Lebih baik lagi jika kita mampu menghadirkan kebahagiaan bagi orang lain, menjadi orang yang melegakan hati semua pihak serta saling menjaga keselamatan sesama muslim.

عَنْ اِبْنِ عَبَّاسٍ رَضِىَ اللهُ تَعَالَى عَنْهُمَا  قَالَ : إِنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ إِنَّ اَحَبَّ الْاَعْمَالِ اِلَى اللهِ بَعْدَ الْفَرَائِضِ إِدْخَالُ السُّرُوْرِ عَلَى الْمُسْلِمِ.

Hadist riwayat Ibnu Abbas R.a, mengatakan bahwa Rasulullah S.a.w bersabda: “Sesungguhnya amal yang paling disukai Allah S.w.t setelah melaksanakan berbagai hal yang wajib, adalah menggembirakan muslim yang lain“.

Sayyidina Rasulullah Nabi Muhammad S.a.w bersabda:

المسْلِمُ مَنْ سَلِمَ المسْلِمُوْنَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ

Yang disebut dengan muslim sejati adalah orang yang selamat orang muslim lainnya dari lisan dan tangannya“. (HR Bukhari 10 dan Muslim 40).

Beliau Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda:

وَاللهِ لَا يُؤْمِنُ ، وَاللهِ لَا يُؤْمِنُ ، وَاللهِ لَا يُؤْمِنُ . قِيْلَ: وَ مَنْ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ: الَّذِيْ لَا يَأْمَنُ جَارُهُ بَوَائِقَهُ

Demi Allah, tidak beriman.. tidak beriman.. tidak beriman..“. Ada yang bertanya “Siapa itu wahai Rasulullah?“. Beliau S.a.w menjawab “Orang yang tetangganya (orang-orang di sekitarnya) tidak aman dari kejahatannya.“. (HR Bukhari 6016 dan Muslim 46).

Al Imam Yahya bin Mu’adz R.a berpesan: “Jikalau engkau tidak bisa memberi manfaat bagi umat Islam, maka janganlah engkau mencelakai mereka, jika engkau tidak bisa menghibur mereka, maka janganlah menyakiti mereka, jika engkau tidak bisa menggembirakan mereka, maka janganlah menyusahkan mereka, jika engkau tidak bisa memuji mereka, maka janganlah engkau menghina mereka“.

Dari Abu Hurairah R.a, Rasulullah S.a.w bersabda: “Jadilah orang wara’ maka kamu akan jadi orang yang paling giat beribadah, jadilah orang qana’ah maka kamu akan menjadi orang yang paling bersyukur, cintailah orang lain sperti kami mencintari dirimu niscaya kamu akan jadi orang mukmin sejati, berbuat baiklah dengan tetangga niscaya kamu akan menjadi muslim sejati, kurangi tertawa, sesungguhnya banyak tertawa akan mematikan hati.”. (Risalah Al-Qusyairiyyah).


Menutupi Aib Sesama Muslim

Sayyidina Rasulullah S.a.w bersabda:

وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللهُ فِى الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ، وَاللهُ فِى عَوْنِ الْعَبْدِ مَادَامَ الْعَبْدُ فِى عَوْنِ اَخِيْهِ

Siapa pun yang yang menutupi aib saudara muslimnya, maka Allah akan menutupi aibnya di dunia dan akhirat. Sesungguhnya Allah melindungi mereka yang sedang melindungi saudara muslimnya.“.

Catatan: Selain dengan kata “Musliman”, dalam redaksi hadits lain menggunakan kata “Alaa Muslim“.

Yang dimaksud menutupi adalah menutupi cela saudara muslim lainnya dengan tidak menggunjingnya atau membuka aib-aibnya, termasuk juga menutupi badannya (menutupi auratnya bila tersingkap). Yang demikian berlaku bagi orang yang belum dikenal akan kejelekannya (kejahatannya), bila sudah maka dianjurkan dilaporkan keberadaannya pada seorang penguasa (wali). Dan yang dimaksud “Allah akan menutupinya di dunia dan di akhirat” adalah Allah tidak akan membuka kejelekan-kejelekan dan dosa-dosanya. (Tuhfah al-Ahwaadzi IV/574).

( لا يستر الله عبدا في الدنيا إلا ستره الله يوم القيامة ) قال القاضي يحتمل وجهين أحدهما أن يستر معاصيه وعيوبه عن اذاعتها في أهل الموقف والثاني ترك محاسبته عليها وترك ذكرها قال والاول أظهر

Imam al-Qadhi berkata “Dalam hadits di atas dapat memberi kesan atas dua pengertian: (1) Menutupi maksiat-maksiat, aib-aib yang telah dilakukan saudara muslim lainnya dan tidak membeberkannya pada orang lain. (2) Tidak mencari-cari, meneliti kesalahan orang lain serta tidak menuturkannya“. (Syarh an-Nawaawi ala Muslim 16/143).

Dari Abu Hurairah R.a, dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, Beliau bersabda:

لَا يَسْتُرُ عَبْدٌ عَبْدًا فِي الدُّنْيَا إِلَّا سَتَرَهُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

Tidaklah seseorang menutupi aib orang lain di dunia, melainkan Allah akan menutupi aibnya di hari kiamat kelak.”. (Shahih Muslim).

Dikisahkan, bahwa ada seorang yang membocorkan aib orang lain kepada temannya, ketika selesai bercerita dia bertanya: "Apakah kamu sudah mendengar dan mengerti apa yang aku katakan?", kemudian temannya itu menjawab: "Tidak, aku tidak paham bahkan aku telah lupa".

Apabila suatu ketika saudara muslim kita terjatuh dalam kemaksiatan, bukanlah kemudian bahwa kita boleh menyebarkan rahasia-rahasia yang telah diketahui, sesungguhnya di antara sifat dermawan itu adalah orang yang persahabatannya tetap utuh serta menjaga rahasia kawannya, baik dalam keadaan damai atau berselisih.

Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam bersabda.

وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ فَليَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ

Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaknya dia berkata yang baik atau diam”. (HR.Bukhari).

Imam Syafi'i R.a berkata: ”Lidahmu janganlah engkau pergunakan untuk membicarakan aib orang lain, ingatlah aibmu juga banyak dan orang lain juga punya lidah”.

Sayyidina Ali bin Abi Thalib K.w memberi kita nasehat: “Ketika engkau melihat aib orang lain, maka ingatlah barangkali engkau pernah berbuat aib yang lebih besar darinya, dan kalaupun tidak (yakni aibmu lebih kecil), mungkin saja Allah telah mengampuni aib (besar) orang itu dan belum mengampuni aibmu yang kecil“.

Telah bersabda Rasulullah S.a.w: “Wahai sekalian orang yang beriman dengan lisannya yang belum sampai ke dalam hatinya, janganlah kalian mengganggu kaum muslimin, janganlah kalian menjelek-jelekkannya, janganlah kalian mencari-cari aibnya. Barangsiapa yang mencari-cari aib saudaranya sesama muslim niscaya Allah akan mencari aibnya. Barangsiapa yang Allah mencari aibnya, niscaya Allah akan menyingkapnya walaupun di dalam rumahnya”. (HR At-Tirmidzi dan lainnya).

Orang yang berakal wajib mencari keselamatan untuk dirinya dengan meninggalkan perbuatan tajassus (mencari-cari kejelekan/kekurangan orang) dan senantiasa sibuk memikirkan kejelekan dirinya sendiri (agar kemudian membenahi diri). Sesungguhnya orang yang sibuk memikirkan kejelekan dirinya sendiri dan melupakan kejelekan orang lain, maka hatinya akan tenteram dan tidak akan merasa capai. Setiap kali dia melihat kejelekan yang ada pada dirinya, maka dia akan merasa hina tatkala melihat kejelekan yang serupa ada pada saudaranya. Sementara orang yang senantiasa sibuk memperhatikan kejelekan orang lain dan melupakan kejelekannya sendiri, maka hatinya akan buta, badannya akan merasa letih, dan akan sulit baginya meninggalkan kejelekan dirinya. Demikian nasihat dari Imam Abu Hatim bin Hibban Al-Busthi.

Hadis riwayat Abu Hurairah R.a, beliau berkata: Aku pernah mendengar Rasulullah S.a.w bersabda: "Semua umatku akan ditutupi segala kesalahannya kecuali orang-orang yang berbuat maksiat dengan terang-terangan. Masuk dalam kategori berbuat maksiat terang-terangan adalah bila seorang berbuat dosa di malam hari kemudian Allah telah menutupi dosanya, lalu dia berkata (kepada temannya): Hai Fulan! Tadi malam aku telah berbuat ini dan itu. Allah telah menutupi dosanya ketika di malam hari sehingga ia bermalam dalam keadaan ditutupi dosanya, kemudian di pagi hari ia sendiri menyingkap tirai penutup Allah dari dirinya". (Shahih Muslim 5306).

Syekh Abu Bakar bin Salim memberi kita sebuah nasehat: “Orang yang arif dan bijak adalah orang yang memandang aib-aibnya diri sendiri, sedangkan orang yang lalai adalah orang yang menyoroti dan sibuk dengan aib-aib orang lain“.


Saling Menasehati dan Mengajak Kepada Kebaikan

Kita semua tahu bahwa kita adalah insan, yang selain diberi hati nurani yang senantiasa menegakkan ciri ketuhanan (al-khuluq), dalam diri kita juga terdapat hawa nafsu yang cenderung tergiur oleh materi yang nisbi dan instan. Setiap saat terjadi tarik menarik antara keduanya, jika kemenangan di pihak nafsu, manusia akan turun derajat dan moralnya, sedangkan jika hati nurani mampu mengungguli nafsu, orang tersebut akan naik derajatnya, moralnya terpuji dan melebihi makhluk Tuhan lainnya. Menyadari hal tersebut maka perlu juga kita ingat kembali, dimana salah satu dari makna insan itu sendiri adalah 'lupa' atau lalai, sebuah tabiat yang melekat pada setiap insan biasa, yang tak lepas dari kekeliruan (tidak maksum). Disinilah kemudian pentingnya seorang muslim dengan muslim lainnya untuk saling nasehat-menasehati. Allah S.w.t berfirman dalam surat al-‘Ashr:

وَالْعَصْرِ  إِنَّ الْإِنسَانَ لَفِي خُسْرٍ  إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ

Artina: “Demi waktu, sesungguhnya manusia dalam keadaan merugi, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shaleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.“.

Kata moral sering diidentikkan dengan budi pekerti, adab, etika, tata krama dan sebagainya. Dalam bahasa arab sering disebut dengan kata al-akhlaq atau al-adab. Al-Akhlaq merupakan bentuk jamak dari kata “al-khuluq”, artinya budi pekerti atau moralitas. Jika nasehat-nasehat tak dianggap, apa gerangan yang terjadi? Bukankah ini menunjukkan kemerosotan akhlaq yang paling mengerikan?. Pada umumnya, tidaklah seseorang itu menolak suatu nasehat (yang benar) melainkan karena ia 'melecehkan', yakni ia menganggap bahwa dirinya lebih dari orang lain, baik dari sisi kecerdasan (ilmu), kedudukan, atau harta dan sebagainya, atau ia merasa bahwa dirinya lebih mendapat hidayah dalam perkara kebenaran yang ditolaknya. (Baca juga: Aku lebih baik dari dia?).

Dari Ibn Mas’ud R.a, beliau berkata:

مَنْ جَاءَكَ بِالْحَقِّ فَاقْبَلْ مِنْهُ وَإِنْ كَانَ بَعِيْدًا بَغِيْضًا وَمَنْ جَاءَكَ بِالْبَاطِلِ فَارْدُدْ عَلَيْهِ وَإِنْ كَانَ حَبِيْبًا قَرِيْبًا

Barangsiapa yang datang kepadamu dengan kebenaran maka terimalah kebenaran itu darinya, meskipun ia adalah orang yang jauh dan dibenci. Dan barangsiapa yang datang kepadamu dengan kebathilan maka tolaklah, meskipun ia adalah orang yang dicintai dan dekat.”.

Maka marilah kita bersama-sama untuk terus saling ingat-mengingatkan, saling menasehati, memberi masukan agar menuju kepada kebaikan, bahkan walaupun hanya satu ayat saja, yang kesemuanya semakin mendekatkan kita kepada Allah dan Rasul-Nya, menjaga agar kita tetap teguh kepada ajaran Islam, menjauhi larangan-Nya serta mentaati seluruh perintah-Nya. Jika secara pribadi kita lemah memahami Islam, marilah kita mendatangi majelis para guru, bergabung dan berkumpul bersama orang-orang sholeh, dan dengan istiqamah menghadiri, mendengarkan taklim, pengajian para Habaib, Ustadz dan Kyai, atau siapapun mereka yang 'Alim (berilmu agama) di dalam kerabat maupun sahabat kita (dalam hal ini, tentunya dari kalangan aswaja, bermadzhab dan bertasawwuf).

Dari Abu Umamah R.a berkata, bahwa Rasulullah S.a.w bersabda: ”Sesungguhnya Luqman al-Hakim berkata kepada puteranya: 'Wahai anakku! Hendaklah engkau senantiasa duduk bersama para ulama dan dengarkanlah perkataan orang-orang bijak'. Sesungguhnya Allah menghidupkan hati yang mati dengan cahaya hikmah sebagaimana Dia menghidupkan bumi yang tandus dengan hujan yang lebat.”. (HR Thabrani).

Firman Allah S.w.t:

وَذَكِّرْ فَإِنَّ الذِّكْرَى تَنفَعُ الْمُؤْمِنِينَ

Artinya: ”Dan (tetaplah) memberi peringatan, Karena Sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang yang beriman.”. (QS Adz-Dzariyat 51: 55).

Baginda Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasallam bersabda:

الدين النصيحة

Artinya: “Agama adalah nasehat”.

Apabila ada suatu pesan/nasihat penting yang telah didapat sepulang majelis (yakni yang diberikan oleh guru), jangan lupa untuk meneruskannya kepada kerabat, teman dan sahabat, jadilah 'saluran' curahan berkah yang menghantarkan kebaikan bagi muslim lainnya. Rasulullah S.a.w bersabda:

Hendaklah orang yang hadir di antara kamu sekalian, menyampaikan kepada orang yang tidak hadir”.

Dari Ibnu Mas’ud R.a berkata, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda:

مَنْ دَلَّ عَلَى خَيْرٍ فَلَهُ مِثْلُ أَجْرِ فَاعِلِهِ

Barangsiapa yang menunjukkan kepada sebuah kebaikan maka baginya seperti pahala pelakunya“. (HR Muslim).

Dari Abu Hurairah R.a, bahwasanya Rasulullah S.a.w bersabda: “Barang siapa mengajak kepada suatu kebaikan, maka ia mendapat pahala seperti orang yang mengikutinya, dengan tidak mengurangi sedikitpun pahala-pahala mereka. Dan barang siapa yang mengajak kepada kesesatan maka ia akan mendapat dosa seperti orang yang mengikutinya, dengan tidak mengurangi sedikitpun dosa-dosa mereka.”. (HR Muslim).

Mengenai ajakan kebaikan, Al Habib Muhammad bin Husein Al Habsyi memberikan nasehat: “Kelak orang-orang bodoh tidak akan ditanya mengapa mereka bodoh, tetapi yang berilmu akan ditanya mengapa membiarkan yang bodoh tetap dalam kebodohan. Tumbuhkan semangat dalam hati kita untuk mencerdaskan umat. Adakan kajian ilmu di rumah, kantor, sekolah, kampung dan lain-lain, atau ajak teman, kerabat dan tetangga anda untuk rajin menghadiri majelis ilmu. Maka anda akan termasuk sebagai orang yang memperjuangkan misi Nabi Muhammad Shallallhu Alaihi Wasallam“.

Sayyidina Ali Bin Abi Thalib K.w berkata: "Kezhaliman di muka bumi ini akan selalu ada bukan karena banyaknya orang-orang jahat, tapi karena diamnya orang baik.".

Seorang mukmin tentunya telah mengetahui, bahwa menganjurkan manusia agar berbuat yang baik dan berusaha mencegahnya dari melakukan kejahatan (amar ma'ruf & nahi munkar) itu wajib sesuai kemampuannya. Ia juga mengetahui bahwa orang yang meninggalkan kewajiban ini, akan menerima siksa yang berat dari Allah S.w.t, sebagaimana sabda Rasulullah S.a.w:

Demi Allah, hendaklah kamu beramar ma'ruf nahi munkar, atau Allah akan menurunkan azab kepadamu, kemudian kamu berdoa kepada-Nya, maka Allah tidak akan mengabulkan doamu.“. (HR at-Tirmidzi, Hadits ini Hasan).

Seorang mukmin, tatkala ia menyeru kepada kebaikan dan melarang kejahatan, ia telah tahu pasti, bahwa kemungkaran akan menimbulkan kerusakan besar, dan sebaliknya, kebaikan akan menimbulkan yang lebih baik lagi.

Rasulullah S.a.w bersabda: “Janganlah kalian duduk-duduk di pinggir jalan", para Sahabat bertanya, "Bagaimana kalau terpaksa untuk duduk dan mengobrol?", Rasulullah menjawab, "Bila terpaksa, maka tunaikan semua hak jalan". Mereka bertanya, "Apa haknya wahai Rasulullah?", Beliau S.a.w menjawab: "Menundukkan pandangan mata, menjauhkan bahaya, menjawab salam, amar makruf dan nahi mungkar“. (HR Bukhari dan Muslim).

Dalam memberi peringatan, saran atau nasehat, maka sampaikanlah dengan elegan, damai, penuh kesejukan dan menyenangkan, tidak lantas dengan menekan, menakut-nakuti, apalagi sampai memaksa-maksa.

Dari Anas R.a, beliau berkata bahwa Rasulullah S.a.w bersabda: "Berikanlah kemudahan dan jangan mempersukarkan. Berilah kegembiraan (khabar gembira) dan jangan menyebabkan orang lari.". (Muttafaq 'alaih).

Abuya Sayyid Muhammad bin Alawy Al-Maliki menasehatkan: “Amar ma'ruf nahi munkar harus dilakukan dengan sikap bijak, lembut dan bertahap“.

Syiarkan dan tebarkanlah kebaikan di manapun dan kapanpun, semoga Allah memberi hidayah dan taufiq-Nya kepada kita semua.

(Baca juga: Amar Ma’ruf Nahi Munkar - Ciri Khas Umat Islam)


Tidak Mempersulit Urusan Kaum Muslim dan Larangan Berbuat Zhalim

Hadist riwayat Ibnu Umar R.a, bahwa Rasulullah S.a.w bersabda: “Seorang muslim itu adalah saudara muslim lainnya, dia tidak boleh menzhaliminya dan menghinakannya. Barang siapa yang membantu keperluan saudaranya, maka Allah akan memenuhi keperluannya. Barang siapa yang melapangkan satu kesusahan seorang muslim, maka Allah akan melapangkan satu kesusahan di antara kesusahan-kesusahan hari kiamat nanti. Dan barang siapa yang menutupi aib seorang muslim, maka Allah akan menutupi aibnya pada hari kiamat“. (Shahih Muslim 4677).

Rasul S.a.w pernah berdoa: "Ya Allah, barangsiapa menguasai salah satu urusan umatku, lalu menyusahkan mereka, maka berilah kesusahan padanya.". (Riwayat Muslim dari 'Aisyah R.a).

Apabila ditanganmu terdapat daripada urusan saudaramu (sesama muslim) maka semampunya permudahlah, percepatlah kepadanya akan selesainya hajatnya, atau engkau akan mengalami kesusahan hidup (yakni dipenuhi dengan permasalahan yang memberatkan hati ataupun kesedihan), wallahu a'lam.

Firman Allah Ta’ala:

إِنْ أَحْسَنْتُمْ أَحْسَنْتُمْ لِأَنْفُسِكُمْ وَإِنْ أَسَأْتُمْ فَلَهَا

Jika kamu berbuat baik, kebaikan itu bagi dirimu sendiri dan jika kamu berbuat jahat, maka (kejahatan) itu bagi dirimu sendiri”. (QS Al Isra: 7).

Saudaraku, dengan menolong mewujudkan hajat orang lain, Allah S.w.t akan menolong dan mewujudkan pula segala hajat-hajatnya, ini telah dijamin oleh Rasulullah S.a.w dengan sabda Beliau:

وَاللهُ فِيْ حَاجَةِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِيْ حَاجَةِ أَخِيْهِ

Dan Allah senantiasa akan mewujudkan hajat seorang hamba, selama hamba itu mau mewujudkan hajat saudaranya“. (HR Nasa`i).

Secara bahasa (lughawi) zhalim mengandung pengertian aniaya. Zhalim secara istilah mengandung pengertian 'berbuat aniaya (mencelakakan) terhadap diri sendiri atau orang lain dengan cara-cara bathil yang keluar dari jalur syariat agama Islam'. Di sisi lain zhalim bisa berarti 'menempatkan sesuatu tidak sesuai dengan tempatnya'.

Adapun zhalim merupakan perbuatan yang dilarang oleh Allah Ta'ala dan termasuk dari salah satu dosa-dosa besar. Manusia yang berbuat zhalim akan mendapatkan balasan di dunia dan siksa yang pedih di akhirat kelak. Sebagaimana firman Allah Ta'ala:

Sesungguhnya dosa besar itu atas orang-orang yang berbuat zalim kepada manusia dan melampaui batas di muka bumi tanpa hak. Mereka itu mendapat azab yang pedih“. (QS Asy-Syura: 42).

Dari Ibnu Umar R.a, beliau berkata bahwa Rasulullah S.a.w bersabda: "Sesungguhnya kedzaliman itu akan mendatangkan kegelapan-kegelapan pada hari kiamat kelak". (Shahih Muslim 4676).

Hadis riwayat Abu Musa R.a, beliau berkata bahwa Rasulullah S.a.w bersabda: “Sesungguhnya Allah Yang Maha Mulia lagi Maha Agung akan mengulur-ulur waktu bagi orang yang zhalim, tetapi ketika Allah akan menyiksanya, maka Dia tidak akan melepaskannya“. Kemudian Beliau S.a.w membaca firman Allah: “Dan begitulah azab Tuhanmu, apabila Dia mengazab penduduk negeri-negeri yang berbuat zhalim. Sesungguhnya azab-Nya itu adalah sangat pedih lagi keras“. (Shahih Muslim 4680).

Dari Abdullah bin Umar R.a, beliau berkata bahwa Rasulullah S.a.w bersabda: “Seorang muslim itu saudara bagi muslim lain, tidak menzhaliminya dan menyerahkan dia kepada orang yang berbuat zhalim. Barangsiapa memenuhi kebutuhan ssudaranya, maka Allah S.w.t akan memenuhi kebutuhannya dan barangsiapa menyulitkan saudaranya, maka Allah S.w.t akan menyulitkannya di hari kiamat nanti, dan barang siapa yang menutupi aib saudaranya, maka Allah S.w.t akan menutupi aibnya di hari kiamat nanti.“. (HR Abu Daud dan Turmudzi).

Islam menganjurkan seseorang memberi pertolongan kepada yang dizhaIimi maupun yang menzhalimi karena keduanya sama-sama menderita kerugian. Mencegah seseorang dari berbuat zhalim merupakan salah satu bentuk pertolongan kepada orang yang berbuat zhalim, agar tak terulang sehingga orang lain terhindar dari kezhaliman, inilah prinsip Islam yang memberi jaminan kedamaian kepada seluruh penduduk negeri tanpa terkecuali.

انْصُرْ أَخَاكَ ظَالِمًا أَوْ مَظْلُومًا
فَقَالَ رَجُلٌ : يَا رَسُولَ اللَّهِ أَنْصُرُهُ إِذَا كَانَ مَظْلُومًا ، أَفَرَأَيْتَ إِذَا كَانَ ظَالِمًا كَيْفَ أَنْصُرُهُ ؟ قَالَ : تَحْجِزُهُ عَنِ الظُّلْمِ فَإِنَّ ذَلِكَ نَصْرُهُ

Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam, bahwasannya Beliau bersabda: “Hendaklah kamu menolong saudaramu yang menganiaya (zhalim) dan yang teraniaya (mazhlum)“. Sahabat bertanya: "Wahai Rasulullah, (benar) aku akan menolong apabila ia dianiaya, maka bagaimana cara menolongnya apabila ia menganiaya?", Beliau S.a.w menjawab: “Engkau cegah dia dari (berbuat) penganiayaan, maka yang demikian itulah berarti menolongnya“ . (HR Bukhari).

Beberapa hikmah hadist tersebut yang dapat kita cermati ialah perintah menolong saudara yang teraniaya (terzhalimi), dengan cara membantu meringankan penderitaannya, baik secara materi maupun non materi, serta perintah menolong saudara yang menganiaya (menzhalimi), dengan cara mencegahnya agar tidak berbuat aniaya lagi. Tiga cara mencegah orang yang berbuat zhalim menurut pandangan agama Islam yaitu: Dengan tangan, artinya mencegahnya dengan kekuasaan (jabatan atau kedudukan) maupun dengan harta yang kita miliki. Dengan lisan, artinya cegah dengan nasehat-nasehat yang baik, baik itu secara langsung atau tidak langsung (nasehat-nasehat agama, bisa berbentuk tulisan-tulisan, status posting, atau artikel-artikel agama, dan lain sebaginya). Dengan hati, artinya cegah dengan doa-doa yang baik kepada Allah Ta'ala, agar orang yang berbuat zhalim itu diberikan hidayah dan ampunan dari Allah Ta'ala, dan cara terakhir inilah selemah-lemahnya iman.

Sabda Rasulullah S.a.w:

من رأى منكم منكرا فليغيره بيده فإن لم يستطع فبلسانه, فإن لم يستطع فبقلبه, وذلك أضعاف الإيمان.

Barangsiapa di antara kamu sekalian yang melihat kemunkaran hendaknya merubah kemunkaran tersebut dengan tangannya, apabila tidak mampu maka dengan lisannya, apabila tidak mampu maka dengan hatinya, yang demikian adalah selemah-lemahnya iman.“.

Suatu ketika, sahabat Abu Musa R.a bertanya kepada Baginda Nabi Muhammad S.a.w; "Ya Rasulullah, orang muslim seperti apa yang paling utama?

"قال "مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُوْنَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ"

Nabi S.a.w bersabda: "Muslim yang paling utama adalah seorang muslim dimana orang-orang muslim (lainnya) selamat dari keburukan mulut dan tangannya”.

Jadilah seorang muslim yang tidak menyusahkan dan merugikan orang lain, baik melalui lisan atau dengan tindakan. Setiap muslim yang hidup di tengah masyarakat berkewajiban menjaga kerukunan, ketenteraman, dan kebersamaan sebagai warga masyarakat. Sikap bermusuhan, kebencian, menyakiti orang lain, apalagi sampai membikin situasi menakutkan (tak aman), jelaslah bukan cermin dari sikap seorang muslim.

Al Habib Jamal Ba'agil menasehatkan: "Orang mukmin itu harusnya jadi cahaya yang menerangi sekitarnya atau minyak yang semerbak harumnya ke mana-mana, bukan malah jadi asap atau perusak di mana-mana.".

Sebatas kesanggupan dan kemampuan kita secara materi, jiwa, dan pikiran, jadilah penerang bagi orang lain dan berilah perumpamaan tertinggi (kondisi paling ideal) dalam membangun landasan pembentukan masyarakat yang akan datang. Dan sekali-kali janganlah kita mengikuti terhadap gaya hidup yang berdiri di atas permusuhan dan rekayasa karena gaya hidup tersebut menjalankan hukum kekerasan dan kepentingan yang menerapkan sistem individualisme.


Terimalah dengan pikiran terbuka dan hati yang terang segala pentunjuk dalam Al Qur'an dan tuntunan Sunnah Nabi Muhammad S.a.w, di dalam keduanyalah kita akan meraih kebahagiaan dan keberhasilan di dunia dan akhirat. Atas segala sesuatu yang Rasulullah S.a.w telah tetapkan, kita wajib taat dengan ucapan: “Sami’na wa Atha’na Ya Rasulullah” (Kami dengar dan kami patuh Ya Rasulullah).

Dalam surat An-Nuur ayat 51, Allah S.w.t berfirman:

٥١. إِنَّمَا كَانَ قَوْلَ الْمُؤْمِنِينَ إِذَا دُعُوا إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ أَن يَقُولُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا وَأُوْلَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ 

"Sesungguhnya jawaban orang-orang mukmin, bila mereka dipanggil kepada Allah dan Rasul-Nya agar Rasul menghukum (mengadili) di antara mereka ialah ucapan: 'Kami mendengar dan kami patuh'. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.".

Seorang muslim wajib menjadikan Nabi Muhammad S.a.w sebagai panutannya dalam berahlak, Beliaulah semulia-mulianya manusia di dunia ini. Akhlak mulia Beliau harus kita ikuti agar kita bisa merasakan kehidupan yang indah, hidup akan indah bersama akhlak Nabi Muhammad S.a.w dan tak akan pernah ada akhlak yang lebih indah daripada akhlak Nabi Muhammad S.a.w junjungan kita.

Sayyidina Rasulullah Nabi Muhammad S.a.w bersabda:

إِنَّمَا بُعِثْتُ لأُتَمِّمَ مَكَارِمَ الأَخْلاَقِ 

"Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang luhur.". (HR al-Baihaqi).

Rasulullah S.a.w adalah teladan terbaik, terindah, termulia, terpuji dan terlengkap sebagai teladan dari berbagai sisi kehidupan Beliau S.a.w. Keluhuran budi pekerti Nabi S.a.w ini adalah cermin yang bersih dan indah yang membawa kita untuk bisa berkaca dengannya di dalam kehidupan kita sesama manusia dalam segala lapisannya. Mudah-mudahan kita semua berada dalam kehidupan yang akhlaqi, selalu memperoleh pancaran nur akhlak manusia termulia Rasulullah Muhammad S.a.w.

Al Habib Quraisy Baharun menasehatkan: ”Jika anda tidak bisa menjadi orang pandai, jadilah orang yang baik. Jika anda tidak bisa menjadi orang yang ‘Alim (berilmu agama), setidaknya anda punya banyak kesempatan menjadi seseorang yang mulia akhlaknya”.

Di zaman sekarang ini, saat banyak terjadi kerusakan akhlak pada ummat Nabi Muhammad S.a.w, dan ketika itu ada yang masih berpegang teguh pada sunnah Beliau S.a.w, maka baginya pahala 100 orang mati syahid, sebagaimana sabda Beliau Shallallahu ‘Alaihi Wasallam:

مَنْ تَمَسَّكَ بِسُنَّتِي عِنْدَ فَسَادِ أُمَّتِي فَلَهُ أَجْرُ مِائَةِ شَهِيدٍ

Barangsiapa yang berpegang pada sunnahku ketika (merata) kerusakan ummatku, maka baginya pahala seratus orang yang mati syahid”. (Riwayat Imam Baihaqi dari Ibnu Abbas R.a).

Disabdakan oleh Baginda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, “Di zaman yang akan datang, amal ummatku akan lebih baik 50 derajat dibanding para sahabatku”. Para sahabat pun bertanya, “Kenapa begitu, ya Rasulullah?”, Rasul S.a.w menjawab, ”Karena di zamanku jika kalian ada permasalahan, maka datang wahyu yang menjawab pertanyaan tersebut, (sedangkan) jika ummat (di zaman) yang akan datang, mereka sedikit penolongnya”.

Allah S.w.t memerintahkan agar mengambil setiap yang diberikan Rasul kepada kita dan meninggalkan apa yang Beliau S.a.w larang. Firman Allah S.w.t:

وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا

"Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah.". (QS Al-Hasyr: 7).

Berbahagialah mereka yang memahami kehendak Allah dan Rasul-Nya, berbahagialah mereka yang memahami apa yang mulia di sisi Allah, berbahagialah mereka yang memahami apa yang hina di sisi Allah, berbahagialah mereka, dan tiada kebahagiaan selain atas mereka yang memahami Tuhannya. Inilah puncak keimanan, kemurnian dan kesucian.

Wal akhir, marilah kita tutup dengan sebuah riwayat dan nasehat. Suatu ketika berkata Abu Idris Al-Khaulani kepada Muadz bin Jabal R.a: “Sesungguhnya aku mencintai anda karena Allah“. Maka Mu'adz berkata: “Sampaikanlah berita gembira dan bergembiralah. Sesungguhnya aku telah mendengar dan Rasulullah S.a.w, Beliau berkata: “Suatu kelompok manusia kelak akan memperoleh kursi di sekitar Arsy pada hari kiamat, wajah mereka bagaikan bulan purnama pada malam Lailatul Qadar, waktu itu manusia terkejut padahal mereka tidak merasa terkejut, dan manusia takut padahal mereka tidak merasa takut, mereka itu adalah Auliya Allah yang tidak pernah takut terhadap mereka (musuh-musuh Allah) dan tidak pernah merasa khawatir.“. Kemudian aku (Mu'adz) bertanya: “Siapakah mereka itu, ya Rasulullah?“, Beliau S.a.w menjawab: “Mereka adalah yang berkasihan karena Allah.“.”. (HR Ahmad dan Hakim).

Al Habib Umar bin Hafidz dalam untaian nasehatnya mengatakan:

إملإ قَلْبَكَ بِمَحَبَّةِ إخْوَانِكَ يَنْجَبِرْ نُقْصَانُكَ وَ يَرْتَفِعْ عِنْدَ اللهِ شَأنَكَ

Penuhilah hatimu dengan kecintaan terhadap saudaramu niscaya akan menyempurnakan kekuranganmu dan mengangkat derajatmu di sisi Allah.“.

Mudah-mudahan Allah S.w.t memberikan hidayah dan taufiq-Nya kepada kita semua sehingga hidup kita selalu dibina, dibimbing menuju ridha-Nya, Aamiin.

اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَاَلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلِّمْ



Baca juga: Tuntunan Rasulullah S.A.W Untuk Kehidupan Keseharian Kita
Previous
Next Post »