Pandangan Ulama Seputar Hadits ’Semua Bid’ah Adalah Sesat’

Hadits yang menjadi acuan utama dalam pembahasan bid'ah adalah hadits yang diriwayatkan oleh seorang sahabat yang bernama 'Irbadh bin Sariyah. Beberapa ahli hadits, seperti Imam Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah, Ibnu Hibban dan Tirmidzi meriwayatkan hadits tersebut dengan sedikit perbedaan matan (teks hadits).

Berikut kami kutipkan hadits tersebut sesuai yang tercantum dalam kitab Al-Mustadrak 'Alash Sahihain (Al-Hakim An-Naisaburi Al-Mustadrak 'Alash Sahihain, Darul Kutubil Umiyah, 1990, Juz.l, hal.176)

'Irbadh bin Sariyah berkata, "Suatu hari selepas shalat Subuh, Rasulullah Shallallahu 'Alahi Wasallam memberikan nasehat kepada kami dengan sebuah nasehat yang sangat menyentuh sehingga membuat air mata berlinang dan hati bergetar. Maka seorang sahabat berkata, "Duhai Rasulullah, nasehat tadi sepertinya sebuah nasehat perpisahan, lantas apa yang engkau amanatkan kepada kami?", Maka Rasulullah Shallallahu 'Alahi Wasallam bersabda:

"Aku wasiatkan kalian untuk bertakwa kepada Allah, mendengar dan taat (kepada pemimpin) meskipun (yang memimpin kalian) seorang budak Habasyi, sebab sesungguhnya siapa pun di antara kalian yang masih hidup (sepeninggalku), maka ia akan melihat berbagai perselisihan. Oleh karena itu hendaknya kalian berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah Khulafaur Rasyidin yang mendapat petunjuk (Allah). Pegang erat sunnah tersebut dan gigitlah dengan gigi geraham. Berhati-hatilah kalian terhadap muhdatsatil umur (hal-hal baru), karena sesungguhnya semua muhdats (yang baru) itu bid'ah dan semua bid'ah adalah sesat.". (HR Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah, Ibnu Hibban dan Tirmidzi) 

Kalimat terakhir dari sabda Rasulullah Shallallahu 'Alahi Wasallam di atas inilah yang menjadi dasar sebagian orang untuk mencela amalan para salaf dan para wali. Oleh karena itu, agar tidak terjadi salah penafsiran atas ucapan Rasulullah Shallallahu 'Alahi Wasallam di atas, mari kita simak penjelasan Imam Nawawi Radhiyallahu 'Anhu, sebagai berikut:

Imam Nawawi Radhiyallahu 'Anhu berkata:


"Sabda Rasulullah S.a.w: "Dan setiap bid'ah adalah sesat", merupakan hadits yang 'Am Makhshush. Dan yang dimaksud dengan bid'ah dalam hadits tersebut adalah sebagian bid'ah".

Para ulama, sebagaimana Imam Nawawi R.a sepakat menyatakan hadits di atas merupakan hadits yang bersifat 'Am Makhshush. 'Am Makhshush artinya sesuatu yang bersifat umum akan tetapi keumumannya dibatasi oleh beberapa pengecualian. Salah satu contohnya adalah ucapan Nabi Khidir A.s menjelaskan kepada Nabi Musa A.s alasan mengapa beliau merusak kapal.

Allah Ta'ala mewahyukan:

٧٩. أَمَّا السَّفِينَةُ فَكَانَتْ لِمَسَاكِينَ يَعْمَلُونَ فِي الْبَحْرِ فَأَرَدتُّ أَنْ أَعِيبَهَا وَكَانَ وَرَاءهُم مَّلِكٌ يَأْخُذُ كُلَّ سَفِينَةٍ غَصْباً 

"Adapun bahtera itu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di laut, dan aku bertujuan merusakkan bahtera itu, karena di hadapan mereka ada seorang raja yang merampas semua bahtera.". (QS Al-Kahfi [18]: 79).

Dalam ayat di atas, secara jelas Nabi Khidir A.s menyatakan bahwa alasan beliau merusak kapal tersebut adalah karena di tepi laut sana ada seorang raja yang merampas paksa semua kapal. Jika kata "semua" (pada kalimat semua kapal) diartikan secara umum, maka (akan mencakup) semua kapal, apapun jenis dan keadaannya (baik atau rusak) akan dirampas. (Maka kalau memang kata semua di atas dimaksudkan pada arti yang 'secara umum', yakni kapal baik atau kapal rusak, semuanya akan dirampas) Lalu apa manfaatnya kapal itu dirusak?.. Supaya kapal tersebut tidak dirampas oleh Raja. Inilah yang dimaksud dengan 'Am Makhshush.

Maka kita ketahuilah, bahwa kata Kullu (semua) dalam ayat di atas bersifat 'Am Makhshsush artinya semua (kapal akan dirampas) akan tetapi dengan pengecualian, yakni kecuali kapal yang rusak atau kapal yang tidak bagus tidak akan dirampas.

Demikian pula kata 'semua' pada hadits di atas, memilik arti semua bid'ah sesat, kecuali bid'ah yang tidak bertentangan dengan syariat.

Penjelasan di bawah ini, juga membuktikan bahwa hadits di atas bersifat 'Am Makhshush:

Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, Nasai dan Ibnu Majah, dari Jabir bin 'Abdullah Al-Bajili R.a, beliau berkata, bahwa Rasulullah S.a.w bersabda:


“Barang siapa di dalam Islam membuat sebuah sunnah yang baik, maka ia memperoleh pahalanya dan pahala orang yang mengamalkan sunnah itu setelahnya, tanpa mengurangi pahala mereka sedikit pun. Dan barang siapa di dalam Islam membuat sebuah sunnah yang buruk, maka ia memperoleh dosanya dan dosa orang yang mengamalkannya setelahnya, tanpa sedikitpun mengurangi dosa mereka”

Hadits di atas merupakan hadits sahih. Imam Nawawi R.a ketika menjelaskan hadits di atas, berkata: “Dalam hadits ini terdapat anjuran untuk memberikan contoh awal dalam berbagai kebaikan dan membuat sunnah-sunnah yang baik, serta terdapat peringatan untuk tidak membuat hal-hal yang bathil dan buruk”.

“Dalam hadits ini juga terkandung pengecualian atas sabda Rasulullah S.a.w: "Semua yang baru adalah bid'ah dan semua bid'ah adalah sesat". Yang dimaksud hal-hal baru yang sesat adalah hal-hal baru yang bathil (buruk) serta bid'ah-bid'ah yang tercela.”.

Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim, Rasulullah S.a.w bersabda: "Barang siapa membuat sesuatu yang baru dalam masalah (agama) kami ini, yang tidak bersumber darinya (agama), maka ia tertolak". (HR Bukhari).

"Barang siapa membuat sesuatu yang baru dalam masalah (agama) kami ini, yang tidak bersumber darinya (agama), maka dia tertolak.". (HR Muslim, Ibnu Majah dan Ahmad).

Dalam riwayat Muslim juga disebutkan bahwa Rasulullah S.a.w bersabda: "Barang siapa mengamalkan sebuah amalan yang padanya tidak ada urusan (agama) kami, maka ia tertolak". (HR Muslim).

Ketika menjelaskan hadits di atas, Ibnu Rajab R.a berkata: "Hadits ini secara tekstual menunjukkan bahwa amal yang tidak ada perintah Asy-Syari' (Rasulullah S.a.w) adalah tertolak. Akan tetapi secara tersirat (pemahaman) hadits ini menunjukkan bahwa semua amalan yang padanya terdapat perintah Asy-Syari' (Rasulullah S.a.w) adalah diterima. Yang dimaksud dengan perintah Asy-Syari' (Rasulullah S.a.w) dalam hadits ini adalah agama dan syariatnya.

Al-Hafidz 'Abdullah Al-Ghimari R.a menjelaskan: Hadits ini merupakan pengecualian bagi hadits "bid'ah adalah sesat" sekaligus menjelaskan arti bid'ah yang sesat sebagaimana tampak jelas dalam hadits tersebut. Sebab seandainya semua bid'ah adalah sesat tanpa pengecualian, tentu haditsnya akan berbunyi, "Barang siapa membuat sesuatu yang baru maka ia tertolak." Akan tetapi ketika Rasulullah S.a.w bersabda: "Barang siapa membuat sesuatu yang baru dalam masalah (agama) kami ini, yang tidak bersumber darinya (agama), maka dia tertolak.". (HR Muslim, Ibnu Majah dan Ahmad)”. 

Maka sabda Beliau S.a.w ini memberikan pengertian bahwa hal-hal yang baru terbagi menjadi dua, yaitu:

1). Segala hal yang baru yang tidak berasal dari agama dan ia bertentangan dengan kaidah dan dalil-dalil yang terdapat dalam agama. Hal-hal baru semacam ini adalah tertolak. Inilah yang dimaksud dengan bid'ah dhalalah (sesat).

2). Semua yang baru yang berasal dari agama, yaitu yang bersumber dari agama atau diperkuat oleh dalil-dalil yang berasal dari agama, hal baru seperti ini adalah benar dan diterima dan inilah yang dinamakan sunnah hasanah (baik). ~ (Al Hafidz Abdullah Al Ghimari da;am Itqanush shunah fi tahqiqi ma’nal bid’ah).

~ Al Habib Noval bin Muhammad Al Aydrus ~

Sumber: Ahlul Bid'ah Hasanah
Previous
Next Post »