Tulisan berikut adalah pada bagian awal dari kitab Syaraf al-Ummah al-Muhammadiyyah karya Abuya Sayyid Al Maliki, dimana disebutkan kekhususan-kekhususan umum atau ciri-ciri umum yang dikaruniakan Allah S.w.t kepada umat Nabi Muhammad S.a.w. Adapun mengenai berbagai kekhususan yang berkaitan dengan amal-amal peribadatan, dibahas pada bagian selanjutnya.
Keyakinan Yang Sempurna Pada Umat Ini
"Tidak ada umat lain yang beroleh limpahan karunia lebih utama atau sama dengan yang dilimpahkan Allah S.w.t kepada umat Nabi Muhammad S.a.w"
Keyakinan Yang Sempurna Pada Umat Ini
"Tidak ada umat lain yang beroleh limpahan karunia lebih utama atau sama dengan yang dilimpahkan Allah S.w.t kepada umat Nabi Muhammad S.a.w"
Di antara kemuliaan umat Nabi Muhammad Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam ialah bahwa Allah S.w.t melimpahkan keyakinan yang sebesar-besarnya kepada umat ini. Mengenai hal itu Al-Ma’shum Sayyidina Muhammad S.a.w menyatakan kesaksiannya:
Ł
Ų§ Ų§Ų¹Ų·ŁŲŖ Ų§Ł
Ų© Ł
Ł Ų§ŁŁŁŁŁ Ų§ŁŲ¶Ł Ł
Ł
Ų§ Ų§Ų¹Ų·ŁŲŖ Ų§Ł
ŲŖŁ
“Tiada umat yang dianugerahi keyakinan lebih afdhal (utama) daripada yang dianugerahkan Allah kepada umatku.”.
Yakni, tiada umat lain yang hatinya oleh Allah dilimpahi sinar cahaya untuk dapat membuka dada guna mengenal-Nya hingga dapat bermujahadah melawan nafsunya sendiri berdasarkan jalan yang selurus-lurusnya, hingga masalah akhirat bagi mereka seolah-olah dapat dilihat dengan terang dan nyata. Tidak ada umat lain yang beroleh limpahan karunia lebih utama atau sama dengan yang dilimpahkan Allah kepada umatku (Beliau Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam).
Umat-umat terdahulu tidak memperoleh hal itu, kecuali seorang demi seorang. Allah S.w.t mengaruniai umat ini (umat Nabi Muhammad S.a.w) dengan mengenal ta’addub (tata krama terhadap Allah) dan didekatkan kedudukan mereka di sisi-Nya sedekat-dekatnya. Di dalam Taurat, Allah menamai mereka Shafwatur-Rahman (pilihan Yang Maha Pengasih). Di dalam Injil, mereka disebut sebagai Ulama’, ‘Ulama, Abrar, dan Atqiya’ (orang-orang yang sabar, orang-orang berilmu, orang-orang yang patuh, dan orang-orang bertakwa). Dengan demikian maka keutamaan yang dikaruniakan Allah kepada umat ini sesungguhnya adalah sinar cahaya untuk menanggalkan (membuka/melepas) penutup hati mereka hingga berbagai masalah dapat mereka lihat dengan terang.
ŁŁ Ų§Ł Ų§ŁŁŲÆŁ ŁŲÆŁ Ų§ŁŁŁ Ų§Ł ŁŲ¤ŲŖŁ Ų§ŲŲÆ Ł
Ų«Ł Ł
Ų§ Ų§ŁŲŖŁŲŖŁ
"Katakanlah (hai Nabi), sesungguhnya petunjuk (yang harus diikuti) adalah petunjuk Allah, dan (janganlah engkau percaya) bahwa akan diberikan kepada seseorang seperti apa yang diberikan kepadamu". (QS. Ali ‘Imran: 73).
Para ulama mengatakan, bahwa Yaqin (keyakinan) berbeda-beda, terbagi dalam tiga peringkat, yaitu ‘ilmul-yaqin, ‘ainul-yaqin, dan haqqul-yaqin. ‘Ilmul-yaqin adalah pengetahuan tentang sesuatu yang diperoleh melalui pengamatan dan istidlal (dalil argumentasi). Ainul-yaqin adalah kesanggupan melihat hal-hal yang gaib seperti menyaksikan hal-hal yang kasat mata. Sedangkan Haqqul-yaqin adalah kesanggupan menyaksikan hal-hal yang gaib demikian lekat dan terpadu dengannya.
As-Sariy As-Suqthiy mengatakan, “Al-Yaqin adalah ketenangan Anda pada saat terjadinya berbagai gejolak di dalam dada (yakni di dalam hati), karena Anda yakin benar bahwa kesedihan Anda karena gejolak itu tidak bermanfaat bagi Anda dan tidak akan mendatangkan sesuatu yang Anda perlukan”.
Penghapusan Beban Berat
Mengenai itu Allah S.w.t berfirman di dalam Al-Qur'an:
Ų§ŁŲ°ŁŁ ŁŲŖŲØŲ¹ŁŁ Ų§ŁŲ±Ų³ŁŁ Ų§ŁŁŲØŁ Ų§ŁŲ£Ł
Ł Ų§ŁŲ°Ł ŁŲ¬ŲÆŁŁŁ Ł
ŁŲŖŁŲØŲ§ Ų¹ŁŲÆŁŁ
ŁŁ Ų§ŁŲŖŁŲ±Ų§Ų© ŁŲ§ŁŲ„ŁŲ¬ŁŁ ŁŲ£Ł
Ų±ŁŁ
ŲØŲ§ŁŁ
Ų¹Ų±ŁŁ ŁŁŁŁŲ§ŁŁ
Ų¹Ł Ų§ŁŁ
ŁŁŲ± ŁŁŲŁ ŁŁŁ
Ų§ŁŲ·ŁŲØŲ§ŲŖ ŁŁŲŲ±Ł
Ų¹ŁŁŁŁ
Ų§ŁŲ®ŲØŲ§Ų¦Ų« ŁŁŲ¶Ų¹ Ų¹ŁŁŁ
Ų„ŲµŲ±ŁŁ
ŁŲ§ŁŲ£ŲŗŁŲ§Ł Ų§ŁŲŖŁ ŁŲ§ŁŲŖ Ų¹ŁŁŁŁ
"(Orang-orang beriman ialah) mereka yang mengikuti Rasul dan Nabi yang ummi (tuna aksara), yang namanya mereka temukan termaktub di dalam Taurat dan Injil yang ada pada mereka; yang menyuruh mereka berbuat kebajikan dan melarang mereka berbuat kemungkaran; yang menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk; dan yang membuang (menghapuskan) dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka". (QS. Al-A’raf: 157).
Yang dimaksud beban berat yang membelenggu adalah ketentuan-ketentuan yang membuat orang tidak dapat bergerak. Makna ayat tersebut ialah, bahwa Allah S.w.t tidak mewajibkan umat Nabi Muhammad Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam melakukan sesuatu yang berada di luar kesanggupannya, dan tidak mensyariatkannya seperti yang disyariatkan bagi umat-umat sebelumnya (sebelum umat Nabi Muhammad S.a.w). Misalnya seperti yang diwajibkan atas orang-orang Bani Israil, mereka diwajibkan melakukan amalan-amalan yang sukar dan berat. Hal itu diibaratkan dengan rantai-rantai besi yang membelenggu leher mereka.
Beban berat yang membelenggu mereka (kaum Yahudi) banyak jenisnya, antara lain sebagai berikut:
Bagian yang Terkena Najis Harus Dipotong
Orang yang pakaiannya terkena najis, ia harus memotong bagian yang terkena kotoran itu. Untuk menyucikannya (membersihkannya) tidak cukup kalau hanya dicuci. Demikian menurut hadits yang diketengahkan oleh Bukhari di dalam Shahih-nya (Bab Al-baul Inda Sibdihatu Oaumin; Kitabul-Wudhu’). Bahkan sebagian dari mereka beranggapan, orang harus memotong apa saja yang terkena najis, meskipun bagian dari tubuh mereka. Hal itu menurut lahirnya riwayat dari Abu Dawud, yang antara lain menyatakan:
ŁŲ§ŁŁŲ§ Ų„Ų°Ų§ Ų§ŲµŲ§ŲØ Ų§ŁŲØŁŁ Ų¬Ų³ŲÆ Ų§ŲŲÆŁŁ
ŁŲ·Ų¹ŁŲ§ Ł
Ų§ Ų§ŲµŲ§ŲØŁ Ų§ŁŲØŁŁ Ł
ŁŁŁ
“Pada zaman dahulu apabila tubuh mereka terkena air kencing, mereka diharuskan memotong bagian tubuh yang terkena najis itu.” (Bab Al-Istibru Minal-Baul).
Riwayat Muslim mengenai itu mengatakan, bahwa yang harus dipotong ialah kulitnya, yakni bagian tubuh yang terkena air kencing harus dikupas kulitnya. Al-Qurthubi menakwilkan, yang dimaksud dengan kulit adalah pakaian yang terbuat dari kulit. Riwayat Bukhari menegaskan bahwa yang dimaksud dengan kulit ialah pakaian. Mungkin saja di antara mereka (para perawi hadis) ada yang meriwayatkannya dengan makna tersebut. Demikian disampaikan di dalam Al-Fath/330. Adapun umat Nabi Muhammad S.a.w disyariatkan untuk membersihkannya cukup disiram dengan air dan dicuci saja. Cara demikian itu cukup dilakukan, baik yang terkena najis itu bagian dari masjid, pakaian ataupun badan. Demikianlah yang diterangkan rinciannya dalam kitab-kitab sunnah.
Tidak Makan Bersama Isteri yang Sedang Haid
Orang-orang Yahudi zaman dahulu apabila isterinya sedang haid, mereka pantang makan bersama, bahkan tidak mau menghubunginya, tidak mau tinggal bersama di dalam satu rumah, dan membiarkan perempuan-perempuan yang sedang haid itu tinggal seorang diri terasing di rumah. Demikianlah yang ditegaskan dalam Hadits Shahih (yang diriwayatkan oleh Muslim dan Ahmad) dari Ibnu Katsir.
Lain halnya dengan umat Nabi Muhammad Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam, Agama umat ini (Islam) membolehkan suami bergaul dengan isteri yang sedang haid; makan, minum dan tidur bersama, yang dilarang oleh syariat Islam hanyalah bersenggama dan istimta’ (bersenang-senang) dengan menyentuh bagian-bagian badan yang terletak di antara pusar dan lutut. Itu merupakan upaya pencegahan agar tidak terperosok dalam perbuatan terlarang.
Demikianlah, agama Islam dengan hukum syariatnya, menjaga baik-baik kecenderungan dan sifat-sifat kemanusiaan manusia di samping hati nurani dan ruhaninya. Agama Islam menyerasikan keterpaduan antara tuntutan jasmani dan tujuan ruhani. Itu merupakan minhaj (cara) yang sangat tinggi dalam memperlakukan manusia, yaitu cara yang sepenuhnya selaras dengan fitrah manusia yang diciptakan Allah S.w.t.
Ketetapan Hukum Qishash (Hukum Setimpal), Baik dalam Hal Kesalahan yang Disengaja Maupun dalam Hal Kekeliruan
Berlakunya hukum qishash sudah merupakan ketetapan di kalangan Bani Israil. Bahkan kesalahan yang tak disengaja (kekeliruan) pun harus dikenakan hukuman Qishash. Di kalangan mereka tidak ada hukum diyat, baik dalam hal pidana pembunuhan maupun serangan yang mengakibatkan luka badan. Hal itu terdapat dalam Shahih Bukhari (Bab Diyat: XI1/205). Mengenai kenyataan tersebut Allah S.w.t menyatakan di dalam firman-Nya:
ŁŁŲŖŲØŁŲ§ Ų¹ŁŁŁŁ
ŁŁŁŲ§ Ų§Ł Ų§ŁŁŁŲ³ ŲØŲ§ŁŁŁŲ³
"….Dan Kami telah tetapkan alas mereka, di dalam Taurat, bahwa jiwa dibalas dengan jiwa…". (QS. Al-Ma’idah: 48).
Namun Allah S.w.t meringankan umat Nabi Muhammad S.a.w dengan penetapan hukum diyat (tebusan nyawa, luka-luka dan sebagainya). Ketentuan hukum diyat merupakan pengganti hukum qishash bagi pelaku pidana tersebut yang dimaafkan oleh keluarga (wali) korban. Mengenai ini Allah S.w.t berfirman:
ŁŲŖŲØ Ų¹ŁŁŁŁ
Ų§ŁŁŲµŲ§Ųµ ŁŁ Ų§ŁŁŲŖŁŁ Ų§ŁŲŲ± ŲØŲ§ŁŲŲ± ŁŲ§ŁŲ¹ŲØŲÆ ŲØŲ§ŁŲ¹ŲØŲÆ ŁŲ§ŁŲ£ŁŲ«Ł ŲØŲ§ŁŲ£ŁŲ«Ł ŁŁ
Ł Ų¹ŁŁ ŁŁ Ł
Ł Ų£Ų®ŁŁ Ų“ŁŲ” ŁŲ§ŁŲŖŲØŲ§Ų¹ ŲØŲ§ŁŁ
Ų¹Ų±ŁŁ ŁŲ§ŲÆŲ§Ų” Ų§ŁŁŁ ŲØŲ§ŲŲ³Ų§Ł Ų°Ų§ŁŁ ŲŖŲ®ŁŁŁ Ł
Ł Ų±ŲØŁŁ
ŁŲ±ŲŁ
Ų©.
"Diwajibkan qishash berkenaan dengan orang-orang yang mati dibunuh. Orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka barangsiapa (yakni si pembunuh) yang mendapat permaafan dan saudaranya, maka, hendaklah ia (yang memaafkan) menindaklanjuti dengan baik, dan (yang diberi maaf) hendaknya pula. Itu merupakan keringanan dari Tuhan kalian dan suatu rahmat"… (QS.A1-Baqarah: 178).
Tobat dengan Bunuh Diri
Setelah mereka (kaum Yahudi) menyembah-nyembah anak sapi, Nabi Musa A.s. menjelaskan kepada mereka, jika mereka benar-benar hendak bertobat, maka mereka harus bunuh diri. Mengenai itu, Allah S.w.t telah berfirman di dalam Al Qur'an:
ŁŲŖŁŲØŁŲ§ Ų§ŁŁ ŲØŲ§Ų±Ų¦ŁŁ
ŁŲ§ŁŲŖŁŁŲ§ Ų§ŁŁŲ³ŁŁ
"…hendaklah kalian bertobat kepada Tuhan yang menjadikan kalian (Pencipta kalian) dan bunuhlah dirimu". (QS. Al-Baqarah: 54).
Demikian juga mengenai cara bertobat dari sejumlah perbuatan maksiat, mereka harus memotong anggota badan yang digunakan untuk berbuat maksiat. Seperti potong lidah dalam hal berbuat dusta, pemenggalan buah zakar dalam hal perbuatan zina, dan pencukilan mata dalam hal perbuatan melihat perempuan yang bukan keluarganya. (Al-Mawahib: V/381).
Sedangkan bagi umat Nabi Muhammad S.a.w, Allah S.w.t mempermudah cara bertobat. Allah S.w.t menerima tobat dan berkenan memaafkan berbagai kejahatan, bahkan lebih senang daripada senangnya seorang ibu menemukan kembali anak susuannya yang hilang. Allah S.w.t berfirman:
ŁŁ
Ł ŁŲ¹Ł
Ł Ų³ŁŲ”Ų§ Ų§Ł ŁŲ¶ŁŁ
ŁŁŲ³Ł Ų«Ł
ŁŲ³ŲŖŲŗŁŲ± Ų§ŁŁŁ ŁŲ¬ŲÆ Ų§ŁŁŁ ŲŗŁŁŲ±Ų§ Ų±ŲŁŁ
Ų§
"Dan barangsiapa berbuat kejahatan dan menganiaya diri sendiri, kemudian ia mohon ampunan kepada Allah, niscaya ia mendapati Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang". (QS. An-Nisa': 110).
Mempermalukan Orang yang Berbuat Maksiat
Orang-orang Bani Israil zaman dahulu, jika ada seorang di antara mereka berbuat maksiat, esok paginya ia melihat di pintu rumahnya tertulis “Si Fulan berbuat ini dan itu, dan kafaratnya (dendanya) begini dan begitu”. Hal itu dapat disaksikan oleh umum. (Al-Khashaish: III/4).
Lain halnya dengan umat Nabi Muhammad S.a.w, Allah S.w.t memandang perbuatan seperti di atas lebih baik ditutup. Mengenai itu Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam telah menegaskan:
ŁŁ Ų§Ł
ŲŖŁ Ł
Ų¹Ų§ŁŁ Ų§ŁŲ§ Ų§ŁŁ
Ų¬Ų§ŁŲ±ŁŁ Ų§Ł ŁŲ¹Ł
Ł Ų§ŁŲ±Ų¬Ł ŲØŲ§ŁŁŁŁ Ų¹Ł
ŁŲ§ Ų«Ł
ŁŲµŲØŲ ŁŁŲÆ Ų³ŲŖŲ±Ł Ų§ŁŁŁ ŲŖŲ¹Ų§ŁŁ ŁŁŁŁŁ : ŁŲ§ ŁŁŲ§Ł. Ų¹Ł
ŁŲŖ Ų§ŁŲØŲ§Ų±ŲŲ© ŁŲ°Ų§ ŁŁŲ°Ų§ ŁŁŲÆ ŲØŲ§ŲŖ ŁŲ³ŲŖŲ±Ł Ų±ŲØŁ ŁŁŲµŲØŲ ŁŁŲ“Ł Ų³ŲŖŲ±Ų§ŁŁŁ Ų¹ŁŁ.. Ł
ŲŖŁŁ Ų¹ŁŁŁ
“Semua umatku dapat beroleh maaf kecuali orang-orang yang mengungkapkan (sendiri kesalahannya) yang diperbuat di malam hari (lalu mengungkapkannya sendiri) pada pagi harinya, padahal Allah telah menutupi kesalahannya. Ia mengatakan (kepada orang lain): ‘Hai Fulan, tadi malam aku berbuat begini dan begitu’. Padahal perbuatannya itu telah ditutupi Allah, Tuhannya, namun keesokan harinya ia membuka sendiri perbuatannya yang telah ditutupi Allah.”. (Hadits Muttafaq alaihi).
Hukuman Dosa atas Niat Buruk Meskipun Tidak Diwujudkan dengan Perbuatan
Setiap Nabi dan Rasul yang diutus Allah S.w.t dan telah diturunkan kepadanya Kitab Suci niscaya memberitahu umatnya bahwa Allah S.w.t akan memperhitungkan apa yang telah mereka perbuat dan yang mereka sembunyikan di dalam dada. Kaum Bani Israil dahulu menghujat para Nabi dan Rasul mereka dan mengatakan, “Mengapa kami dikenakan hukuman atas niat buruk yang kami tidak mewujudkannya dengan perbuatan?” Mereka mengingkari para Nabi dan Rasul seraya berkata, “Kami mendengarkan tetapi kami tidak mau menaati!” Setelah orang-orang yang beriman dari kalangan mereka mengatakan, “Kami mendengar, kami mau menaati, kami berserah diri, dan kami pun beriman kepada Allah, mengimani malaikat-Nya, Kitab Suci-Nya, dan Rasul-rasul-Nya,” Allah S.w.t lalu menenteramkan mereka, bahwa Dia tidak memperhitungkan niat dalam hati mereka kecuali niat yang diwujudkan dalam perbuatan. Allah S.w.t berfirman di dalam Al Quran:
ŁŁŲ§ Ł
Ų§ ŁŲ³ŲØŲŖ ŁŲ¹ŁŁŁŲ§ Ł
Ų§ŁŲŖŲ³ŲØŲŖ
"Ia—seseorang—beroleh pahala dari kebajikan yang dilakukannya, dan ia beroleh siksa dari kejahatan yang diperbuatnya". (QS. Al-Baqarah: 286).
Hukuman atas Kekeliruan dan Kelupaan
Kaum Bani Israil dahulu dikenakan hukuman segera (hukuman di dunia) berupa pengharaman suatu makanan atau minuman atas dosa-dosa mereka, baik yang besar maupun yang kecil. (Al-Mawahib: 384).
Tidak demikian halnya dengan umat Nabi Muhammad S.a.w, Allah S.w.t membebaskan mereka dari dosa kekeliruan dan kelupaan, dan dari sesuatu yang dipaksakan kepada mereka. Hal itu ditegaskan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad (bin Hanbal), Ibnu Hibban, Al-Hakim, Ibnu Majah, Thabrani, dan Daruquthni dengan isnad yang baik, dipandang baik pula oleh An-Nawawl. (Al-Mawahib: 384 dan Al-Khashaish: IH/202).
Mereka Diharamkan Melakukan Kegiatan pada Hari Raya Mereka
Hari raya mereka (kaum Yahudi) adalah hari Sabat (Sabtu). Mereka telah menyatakan sumpah dan janji akan mengagungkan hari Sabtu, akan sepenuhnya menunaikan kewajiban yang diperintahkan Tuhan, dan tidak akan melakukan kegiatan atau pekerjaan apa pun pada hari Sabat. Oleh sebab itu setelah ternyata mereka mencederai sumpah dan janji mereka lalu berupaya menangkap ikan pada hari itu, Allah S.w.t menjatuhkan hukuman atas mereka dengan firman-Nya:
ŁŁŁŁŲ§ ŁŲ±ŲÆŲ© Ų®Ų§Ų“Ų¦ŁŁ
"Jadilah kalian kera yang hina". (QS. Al-Baqarah: 65) Lihat juga Surah Al-A’raf: 163.
Beban hukuman yang seberat itu ditiadakan Allah S.w.t bagi umat Nabi Muhammad S.a.w. Pada hari-hari raya (hari-hari besar) mereka, yaitu hari Jum'at, sebelum dan sudah shalat Jumat mereka boleh bermuamalat (melakukan kegiatan sosial, ekonomi, dsb). Mengenai hal, itu Allah S.w.t berfirman:
ŁŲ§ Ų§ŁŁŲ§Ų§ŁŲ°ŁŁ Ų§Ł
ŁŁŲ§ Ų§Ų°Ų§ ŁŁŲÆŁ ŁŁŲµŁŁŲ© Ł
Ł ŁŁŁ
Ų§ŁŲ¬Ł
Ų¹Ų© ŁŲ§Ų³Ų¹ŁŲ§ Ų§ŁŁ Ų°ŁŲ±Ų§ŁŁŁ ŁŲ°Ų±ŁŲ§ Ų§ŁŲØŁŲ¹ . Ų°ŁŁŁ
Ų®ŁŲ± ŁŁŁ
Ų§Ł ŁŁŲŖŁ
ŲŖŲ¹ŁŁ
ŁŁ . ŁŲ§Ų°Ų§ ŁŲ¶ŁŲŖ Ų§ŁŲµŁŁŲ© ŁŲ§ŁŲŖŲ“Ų±ŁŲ§ ŁŁ Ų§ŁŲ§Ų±Ų¶ ŁŲ§ŲØŲŖŲŗŁŲ§ Ł
Ł ŁŲ¶Ł Ų§ŁŁŁ …
"Hai orang-orang beriman, apabila kalian diseru untuk menunaikan salat Jum'at, hendaknya bersegeralah kalian ingat akan Allah dan tinggalkanlah jual-beli (dan semua pekerjaan). Yang demikian itu lebih baik bagi kalian, jika kalian mengetahui. Apabila salat telah ditunaikan, hendaklah kalian bertebaran di muka bumi dan carilah karunia Allah …". (QS. Al-Jumu’ah: 9-10).
Wabah Penyakit Tha’un Melanda Umat-Umat Terdahulu Sebagai Azab.
Tha’un adalah jenis penyakit yang mematikan. Rasulullah S.a.w memberitahu kita bahwa zaman dahulu berbagai bencana dan malapetaka -seperti wabah tha’un- ditimpakan Allah S.w.t atas berbagai umat sebagai azab. Bagi umat Nabi Muhammad S.a.w apa pun yang terjadi dan mereka alami hanya sebagai rahmat dan pembuktian mengenai kebenaran Allah. Demikianlah menurut Hadits Shahih. (Al-Mawahib: V/391 dan Al-Khashaish: IH/221).
Tha’un adalah jenis penyakit yang mematikan. Rasulullah S.a.w memberitahu kita bahwa zaman dahulu berbagai bencana dan malapetaka -seperti wabah tha’un- ditimpakan Allah S.w.t atas berbagai umat sebagai azab. Bagi umat Nabi Muhammad S.a.w apa pun yang terjadi dan mereka alami hanya sebagai rahmat dan pembuktian mengenai kebenaran Allah. Demikianlah menurut Hadits Shahih. (Al-Mawahib: V/391 dan Al-Khashaish: IH/221).
Diharamkan Beberapa Jenis Makanan Yang Baik Bagi Mereka
Itu mempakan hukuman yang dijatuhkan Allah S.w.t atas orang-orang Bani Israil, disebabkan oleh pembangkangan, kezaliman, dan pelecehan mereka terhadap aturan-aturan yang telah ditetapkan Allah S.w.t. Keserakahan membuat mereka lebih menyukai makanan yang bermutu rendah dengan berdalih, “Allah akan mengampuni kami!” Berkaitan dengan itu Allah S.w.t berfirman di dalam Al Quran:
Itu mempakan hukuman yang dijatuhkan Allah S.w.t atas orang-orang Bani Israil, disebabkan oleh pembangkangan, kezaliman, dan pelecehan mereka terhadap aturan-aturan yang telah ditetapkan Allah S.w.t. Keserakahan membuat mereka lebih menyukai makanan yang bermutu rendah dengan berdalih, “Allah akan mengampuni kami!” Berkaitan dengan itu Allah S.w.t berfirman di dalam Al Quran:
ŁŲØŲøŁŁ
Ł
Ł Ų§ŁŲ°ŁŁ ŁŲ§ŲÆŁŲ§ ŲŲ±Ł
ŁŲ§ Ų¹ŁŁŁŁ
Ų·ŁŲØŲ§ŲŖ Ų§ŲŁŲŖ ŁŁŁ
ŁŲØŲµŲÆŁŁ
Ų¹Ł Ų³ŲØŁŁ Ų§ŁŁŁ ŁŲ«ŁŲ±Ų§
“Maka disebabkan oleh kezaliman orang-orang Yahudi itu, Kami haramkan atas mereka makanan yang baik-baik, (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka, karena mereka banyak merintangi (manusia) dari jalan Allah”. (QS.An-Nisa': 160).
Allah S.w.t telah menjelaskan berbagai hal yang terlarang bagi mereka, yaitu:
Semua hewan yang berkuku utuh (yakni hewan yang tidak berkuku-belah) dan unggas, seperti unta, burung unta, itik, dan sejenisnya. Semuanya itu diharamkan bagi mereka.
Gajih (lemak) sapi dan kambing diharamkan bagi mereka, dan gajih lainnya yang berada di dalam tulang (sumsum), isi perut, gajih yang ada pada ponok—sebagaimana yang terdapat di dalam surah Al-An’am. (Ibnu Katsir: 11/200).
Lain halnya dengan umat Nabi Muhammad S.a.w, Allah S.w.t menghalalkan bagi mereka segala yang baik (QS. Al-Ma’idah: 5), dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk (QS. Al-A’raf: 157).
Mereka Diharamkan Mengambil Ghanimah (Rampasan Perang)
Dahulu, apabila berhasil mengalahkan musuh dalam suatu peperangan dan beroleh harta jarahan (sitaan) perang, mereka diharamkan mengambil atau menerima bagian apa pun dari harta rampasan itu. Mereka harus mengumpulkan semuanya itu di suatu tempat untuk kemudian dimusnahkan dengan api (QS Ali ‘Imran: 183).
Sebaliknya bagi umat Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi wa Aalihi wa Shahbihi wa Salam, Allah S.w.t menghalalkan harta ghanimah bagi mereka, karena kemuliaan Nabi S.a.w yang memimpin mereka. Bagi umat Beliau S.a.w, harta ghanimah halal dan barakah. Demikian ditegaskan dalam hadits sahih muttafaq ‘alaihi, dan dinyatakan di dalam Al Qur'an Al-Karim:
” Maka makanlah dari sebagian harta rampasan perang yang kalian peroleh itu sebagai makananyang halal dan baik.”. (QS Al-Anfal: 69).
Mereka Diharamkan Beribadah Kecuali di Tempat-tempat Khusus
Umat-umat zaman dahulu (termasuk Bani Israil), tidak bersembahyang kecuali di tempat-tempat khusus, seperti di dalam biara-biara, kuil-kuil dan sebagainya. Siapa yang tidak dapat hadir di tempat-tempat tersebut, ia tidak dibolehkan sembahyang di tempat lain, di mana saja di muka bumi. Bila ia sudah tiba kembali di tempat semula, ia harus meng-qadhd semua sembahyang yang tertinggalkan (yang terlewat selama dalam perjalanan atau bepergian). (Al-Fath: 1/436).
Menurut Al-Bazzar, hadits berasal dari Ibnu ‘Abbas menuturkan, “Tidak seorang pun dari para Nabi yang beribadah sebelum tiba di mihrabnya.”. (Al-Fath: 1/438).
Lain halnya bagi umat Nabi Muhammad S.a.w, bagi mereka Allah S.w.t menjadikan muka bumi ini sebagai tempat untuk menunaikan shalat. Tidak ditentukan tempat khusus untuk menunaikan shalat, atau dilarang shalat di tempat lain, demikian di dalam Shahih Bukhari (Al-Bukhari, Bab Tayamum).
Mereka Diwajibkan (hanya) Menggunakan Air dalam Bersuci
Umat-umat zaman dahulu diwajibkan oleh syariatnya masing-masing harus menggunakan air dalam bersuci, tidak boleh digunakan selain air. Bila air tak dapat ditemukan, orang tidak bersembahyang, kemudian ia harus meng-qadhd’ semua sembahyang yang terlewat bila sudah menemukan.air untuk bersuci.
Bagi umat Nabi Muhammad S.a.w tidaklah demikian. Allah S.w.t menjadikan bumi ini suci. Manakala orang hendak menunaikan salat dan ia tidak dapat menemukan air, ia boleh menggunakan tanah untuk bersesuci (tayamum). Demikian ditegaskan dalam Hadits Shahih (Al-Al-Fath: 1/438 dan Al-Mawahib: V/264).
(note: sampai pada akhir tulisan di atas, pembahasan ini belum selesai, yakni berkelanjutan..)
Mereka Diharamkan Mengambil Ghanimah (Rampasan Perang)
Dahulu, apabila berhasil mengalahkan musuh dalam suatu peperangan dan beroleh harta jarahan (sitaan) perang, mereka diharamkan mengambil atau menerima bagian apa pun dari harta rampasan itu. Mereka harus mengumpulkan semuanya itu di suatu tempat untuk kemudian dimusnahkan dengan api (QS Ali ‘Imran: 183).
Sebaliknya bagi umat Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi wa Aalihi wa Shahbihi wa Salam, Allah S.w.t menghalalkan harta ghanimah bagi mereka, karena kemuliaan Nabi S.a.w yang memimpin mereka. Bagi umat Beliau S.a.w, harta ghanimah halal dan barakah. Demikian ditegaskan dalam hadits sahih muttafaq ‘alaihi, dan dinyatakan di dalam Al Qur'an Al-Karim:
ŁŁŁŁŲ§ Ł
Ł
Ų§ ŲŗŁŁ
ŲŖŁ
ŲŁŲ§ŁŲ§ Ų·ŁŲØŲ§
Mereka Diharamkan Beribadah Kecuali di Tempat-tempat Khusus
Umat-umat zaman dahulu (termasuk Bani Israil), tidak bersembahyang kecuali di tempat-tempat khusus, seperti di dalam biara-biara, kuil-kuil dan sebagainya. Siapa yang tidak dapat hadir di tempat-tempat tersebut, ia tidak dibolehkan sembahyang di tempat lain, di mana saja di muka bumi. Bila ia sudah tiba kembali di tempat semula, ia harus meng-qadhd semua sembahyang yang tertinggalkan (yang terlewat selama dalam perjalanan atau bepergian). (Al-Fath: 1/436).
Menurut Al-Bazzar, hadits berasal dari Ibnu ‘Abbas menuturkan, “Tidak seorang pun dari para Nabi yang beribadah sebelum tiba di mihrabnya.”. (Al-Fath: 1/438).
Lain halnya bagi umat Nabi Muhammad S.a.w, bagi mereka Allah S.w.t menjadikan muka bumi ini sebagai tempat untuk menunaikan shalat. Tidak ditentukan tempat khusus untuk menunaikan shalat, atau dilarang shalat di tempat lain, demikian di dalam Shahih Bukhari (Al-Bukhari, Bab Tayamum).
Mereka Diwajibkan (hanya) Menggunakan Air dalam Bersuci
Umat-umat zaman dahulu diwajibkan oleh syariatnya masing-masing harus menggunakan air dalam bersuci, tidak boleh digunakan selain air. Bila air tak dapat ditemukan, orang tidak bersembahyang, kemudian ia harus meng-qadhd’ semua sembahyang yang terlewat bila sudah menemukan.air untuk bersuci.
Bagi umat Nabi Muhammad S.a.w tidaklah demikian. Allah S.w.t menjadikan bumi ini suci. Manakala orang hendak menunaikan salat dan ia tidak dapat menemukan air, ia boleh menggunakan tanah untuk bersesuci (tayamum). Demikian ditegaskan dalam Hadits Shahih (Al-Al-Fath: 1/438 dan Al-Mawahib: V/264).
(note: sampai pada akhir tulisan di atas, pembahasan ini belum selesai, yakni berkelanjutan..)
~ Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki al-Hassani ~
Baca juga : Ujian Umat Nabi Muhammad S.A.W
2 Komentar
Write KomentarMana lanjutnya juga
ReplyLanjutannya bang please
ReplyEmoticonEmoticon