“Kupertaruhkan ayah dan ibuku demi engkau Ya Rasulullah! Janganlah engkau mengintai, aku khawatir panah mereka akan mengenaimu. Biar aku melindungimu!”
“Segala Musibah setelahmu adalah Kecil, Wahai Rasulullah”
Orang yang mencermati sirah para Sahabat akan merasakan dimensi keagungan cinta mereka kepada Rasulullah S.A.W. Itu yang membuat mereka bersedia mengorbankan jiwa mereka dan selalu mengutamakan Beliau S.A.W ketimbang diri mereka sendiri.
Diriwayatkan, Sayyidina Anas bin Malik berkata, “Ketika terjadi Perang Uhud, orang-orang tercerai-berai dari Nabi S.A.W sedangkan Abu Thalhah tetap berada di hadapan beliau. Ia melindungi beliau dengan tamengnya. Abu Thalhah adalah seorang pemanah yang sangat mahir. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Nabi S.A.W mengintai pasukan musuh, maka berkata Abu Thalhah, ‘Kupertaruhkan ayah dan ibuku demi engkau! Janganlah engkau mengintai, aku khawatir panah mereka akan mengenaimu. Biar aku melindungimu!’.” (Muttafaq `alaih).
Ada pula seorang wanita Anshar yang ayahnya, saudara laki-lakinya, serta suaminya gugur saat Perang Uhud bersama Rasulullah S.A.W. Ketika orang-orang memberitahukan kematian mereka kepada wanita tersebut, ternyata keselamatan Rasulullah lah yang lebih menyita pikirannya ketimbang segala sesuatu yang lain. Sedikit pun ia tidak berpikir tentang musibah yang menimpanya dengan kehilangan anggota keluarganya. Yang menjadi perhatinya hanyalah keselamatan Beliau. Karena itu, ia berteriak, “Di mana Rasulullah berada?”
Mereka menjelaskan kepadanya, “Alhamdulillah, Beliau dalam keadaan baik, sebagaimana yang kau inginkan.”
Seketika itu wanita tersebut pun merasa tenang, meskipun musibah yang menimpanya sangat besar. Ia lalu berkata, “Perlihatkanlah Beliau kepadaku agar aku dapat melihatnya.”
Saat telah melihat Beliau, ia pun mengucapkan kalimatnya yang terkenal bak cahaya, bersinar sepanjang sejarah, menjadi saksi keimanan wanita Anshar ini, “Segala musibah setelahmu adalah kecil, wahai Rasulullah.” (HR Al-Baihaqi).
Alangkah luar biasanya gambaran keimanan wanita Anshar ini, yang telah memberikan pelajaran yang sangat mendalam mengenai kecintaan kepada Rasulullah S.A.W. Kini selayaknyalah dimensi cinta ini menjadi syiar kita. Itu adalah ketulusan cinta yang harumnya senantiasa terasa sepanjang sejarah.
Kisah lainnya adalah kisah Zaid bin Ad-Datsanah R.A, ketika kaum musyrikin menariknya keluar dari Tanah Haram untuk dibunuh.
Abu Sufyan, sebelum masuk Islam, berdiri melihat seorang muslim yang digiring untuk dibunuh, ia berkata, “Bersumpahlah demi Allah, wahai Zaid! Apakah engkau suka jika Muhammad berada di sini menggantikanmu untuk dipenggal lehernya sedangkan engkau berada di tengah keluargamu?”
Zaid, seorang muslim yang kuat ini, menjawab, “Demi Allah! Aku tidak suka Muhammad berada di tempatnya sekarang apabila ia terkena sepucuk duri yang menyakitinya sedangkan aku duduk di tengah keluargaku.”
Abu Sufyan heran dengan lelaki yang lebih memilih dibunuh daripada Rasulullah S.A.W terkena walau hanya sepucuk duri yang menyakitinya. Ia berkata, “Aku belum pernah melihat seorang manusia yang lebih dicintai oleh para sahabatnya sebagaimana Muhammad dicintai oleh sahabat-sahabatnya.”
“Apakah Kematian Ini Membuat Rasulullah Ridha?”
Demikianlah kecintaan mereka kepada Nabi S.A.W. Bahkan, musuh-musuhnya pun menyaksikan hal itu. Urwah bin Mas‘ud Ats-Tsaqafi, pemimpin orang-orang Thaif, diutus oleh kaum Quraisy untuk menjumpai Rasulullah S.A.W ketika terjadi Perdamaian Hudaibiyah. Urwah menyaksikan bagaimana yang dilakukan oleh para sahabat Nabi terhadap beliau. Tidaklah beliau berwudhu melainkan mereka hampir saling berkelahi memperebutkan air bekas wudhu beliau dan mengusap tubuh mereka dengan air itu.
Apabila berbicara, mereka merendahkan suara di dekat Beliau dan tidak memicingkan pandangan ke arah beliau.
Maka ketika ia telah kembali kepada kaumnya, ia berkata kepada mereka, ”Demi Allah, wahai kaum Quraisy, aku telah mendatangi seorang kisra di kerajaannya dan seorang kaisar dalam keagungannya. Tidak pernah aku melihat seorang raja di tengah kaumnya sebagaimana Muhammad di tengah para sahabatnya. Sungguh aku telah melihat suatu kaum yang tidak akan menyerahkannya selamanya untuk diganti dengan sesuatu. Pikirkanlah oleh kalian. Sesungguhnya ia telah menyampaikan suatu petunjuk kepada kalian. Terimalah apa yang ia sampaikan. Sesungguhnya aku hanya memberikan nasihat kepada kalian walaupun aku khawatir kalian tidak akan menang terhadapnya.”
Urwah ibn Mas‘ud telah menyaksikan cinta hakiki para sahabat beliau, juga dimensinya, dan bahwa itu lebih tinggi daripada segala sesuatu. Ya, itu adalah cinta yang agung kepada seorang pemimpin yang luar biasa, nabi yang mulia, dan rasul yang terpercaya.
Begitu pula sahabat yang mulia, Ikrimah bin Abu Jahl, yang beriman dan benar imannya, yang selalu setuju dengan beliau dan senantiasa teguh hati.
Pada saat ia gugur di Perang Yarmuk, sebelum mengembuskan napas terakhir, kepalanya diletakkan di atas paha Khalid bin Al-Walid, dan dengan berlinang air mata ia berkata, “Wahai Paman, apakah kematian ini membuat Rasulullah ridha kepadaku?” Pada saat itu keinginannya hanyalah agar Rasulullah SAW ridha kepadanya.
Manisnya Perjumpaan
Sayyidina Utsman RA terkenal dengan kemurahan dan kedermawannya yang tak ada bandingnya. Seluruh alam menyaksikan kedermawan agung yang telah dilakukan beliau, terutama pada peristiwa sumur Raumah. Ia membeli sumur dari seorang Yahudi untuk menyelamatkan orang-orang dari rasa haus dan dahaga. Ada kabar gembira dari Rasulullah SAW bahwa ia akan masuk surga.
Pada Perang Tabuk, ia sangat bermurah hati dengan menyiapkan segala sesuatu untuk pasukan perang ini, memenuhi semua kebutuhan pasukan, baik finansial, senjata, maupun logistik.
Pada kesempatan lain, ketika kota Madinah dilanda kelaparan dan paceklik, Sayyidina Utsman RA turun dengan membawa barang dagangannya dan semua kafilahnya ke pasar, lalu ia membagi-bagikannya kepada masyarakat.
Semua itu dilakukannya karena mengharapkan keridhaan Allah semata dan wujud kecintaan kepada Rasulullah SAW. Ia tidak menginginkan balasan atau ucapan kasih dari mereka, karena Allah telah memberikan kepadanya kebaikan sepuluh kali lipat sampai tujuh ratus kali lipat. Inilah khalifah yang dikatakan oleh Rasulullh SAW, “Sesudah ini tidak akan merugikan Utsman apa yang telah ia lakukan.” (HR At-Tirmidzi dan Al-Hakim).
Demikian pula dengan Sang Pahlawan dan Imam Orang-orang yang Bertaqwa, Ali bin Abu Thalib, yang pertama masuk Islam dari kalangan remaja. Ia mempertaruhkan dirinya agar Rasulullah SAW dapat keluar pada saat hijrah, dengan berbaring untuk memberikan kesan kepada orang yang berada di pintu rumah beliau bahwa beliau tidak keluar dari rumahnya. Tindakan ini dipandang sebagai perilaku pengorbanan pertama dalam sejarah dakwah Islam.
Sedangkan sahabat terkemuka, Bilal bin Rabah RA, saat menjelang wafat, istrinya meratapinya dengan mengatakan, “Betapa sedihnya.” Sedangkan ia sendiri mengucapkan, “Betapa senangnya. Besok aku akan berjumpa dengan orang-orang yang aku cintai, Muhammad dan para sahabatnya.” Baginya, pahitnya kematian tak seberapa ketika dibandingkan dengan manisnya perjumpaan dengan Nabi.
Sahabat terkemuka lainya, Sa‘d ibn Ar-Rabi‘, pasca-Perang Uhud, menjadi orang yang pertama kali ditanyakan keadaannya oleh Rasulullah SAW, “Apakah Sa‘ad termasuk di antara yang hidup ataukah yang gugur?”
Berkatalah Zaid bin Tsabit, “Wahai Rasulullah, aku akan melihat untukmu, apa yang menimpa Sa`ad.” Lalu Zaid keluar mencari-cari di antara mereka yang terluka. Ternyata ia dapati Sa`ad sedang dalam keadaan akan mengembuskan napas terakhir. Maka Zaid pun lalu berkata kepadanya, “Hai Sa`ad, sesungguhnya Rasulullah SAW menanyakanmu dan keadaanmu.”
Sa‘ad menjawab, “Aku berada di antara mereka yang menjelang mati. Sampaikanlah salamku kepada Rasulullah dan katakan kepada beliau: Semoga Allah memberikan ganjaran kepadamu atas jasamu kepada kami dengan sebaik-baik balasan yang Dia berikan kepada seorang nabi atas jasanya kepada umatnya. Sampaikan juga salamku kepada kaummu dan katakanlah kepada mereka, ‘Sa‘ad bin ar-Rabi‘ berkata kepada kalian: Sesungguhnya tidak ada alasan bagi kalian di sisi Allah jika urusannya diserahkan kepada nabi kalian, sedangkan pada kalian masih ada mata yang dapat memandang’.”
Kemudian Sa‘ad pun pergi menjumpai Tuhannya dalam keadaan senang, bahagia, dan gembira dengan kemuliaan mati syahid yang Allah berikan kepadanya.
Semoga Allah merahmatimu, wahai Sa‘ad, dan memberikan ganjaran kepadamu atas jasamu kepada Islam dan umat Islam dengan ganjaran sebaik-baiknya.
Ya Allah, janganlah Engkau tidak memberikan kami ganjaran sebesar yang engkau berikan kepadanya. Juga janganlah Engkau uji kami setelah ia tiada, dan ampunilah kami dan dia.
Begitu pula Mush‘ab ibn Umair, pemuda kota Makkah yang dimanjakan keluarganya. Ia mati syahid pada Perang Uhud ketika melindungi Rasulullah SAW dan membelanya dari serangan orang-orang kafir.
Ibn Ishaq mengisahkan, “Mushab bin Umair bertempur membela Nabi SAW sampai wafat terbunuh. Orang yang membunuhnya adalah Ibn Qum`ah Al-Laitsi, yang menyangka bahwa ia adalah Rasulullah SAW (karena Mush`ab mirip dengan Rasulullah), maka ia kembali kepada kaum Quraisy seraya berkata, ‘Aku telah membunuh Muhammad.’
Selanjutnya, setelah Mush‘ab bin Umair terbunuh, Rasulullah SAW memberikan bendera panji-panji perang kepada Ali bin Abu Thalib.
Di masa hidupnya, cintanya kepada Rasulullah SAW telah memenuhi seluruh rongga dadanya. Inilah keadaan Mush‘ab bin Umair. Ia adalah contoh cinta yang sebenarnya.
Suatu ketika Mush‘ab keluar menjumpai sejumlah saudaranya seagama yang sedang duduk mengelilingi Rasulullah SAW. Ketika para sahabat melihatnya, mereka pun menundukkan kepala, memejamkan mata, dan air mata menetes dari mata mereka. Mereka melihatnya mengenakan pakaian yang penuh tambalan dan usang, sedangkan sebelumnya ia selalu memakai pakaian yang baru dan cemerlang. Karena ibunya, setelah putus asa untuk membuatnya murtad, saat itu mencegahnya dari semua kesenangan yang pernah ia limpahkan kapada Mush‘ab setelah ia meninggalkan tuhannya, berhala.
Saat itu Nabi SAW melihatnya dengan pandangan kasih dan senyuman yang penuh kerelaan, seraya bersabda, “Aku telah melihat Mush`ab sebelum ini. Tak ada di kota Makkah seorang pemuda pun yang lebih banyak meraih kesenangan dari kedua orangtuanya dibandingkan dia lalu ia tinggalkan semua itu karena cinta kepada Allah dan Rasul-Nya. Cintanya kepada Allah dan Rasul-Nya telah mengubahnya menjadi seperti yang kalian lihat, ia meninggalkan seluruh perhiasan dunia dan sangat bergantung pada akhirat dan kenikmatannya.” (HR At-Tirmidzi dan Al-Hakim).
Demikian sekilas kisah sebagian pecinta Rasulullah yang disarikan dari kitab Bi Abi Anta wa Ummi, Ya Rasulallah, karya Muhammad Abduh Yamani, yang edisi bahasa Indonesianya telah diterbitkan oleh Dar Al-Kutub Al-Islamiyah dengan judul Kupertaruhkan Segalanya demi Engkau, ya Rasulullah.
(Bersambung ke Bagian 3)
alKisah
EmoticonEmoticon