Kisah Para Pecinta Rasulullah - “Duri Menyentuhmu pun, Aku tak Rela...” (2)

“Kupertaruhkan ayah dan ibuku demi engkau Ya Rasulullah! Janganlah engkau mengintai, aku khawatir panah mereka akan mengenaimu. Biar aku melindungimu!”

“Segala Musibah setelahmu adalah Kecil, Wahai Rasulullah”

Orang yang mencermati sirah para Sahabat akan merasakan dimensi ke­agungan cinta mereka kepada Rasul­ullah S.A.W. Itu yang membuat mereka bersedia mengorbankan jiwa mereka dan selalu meng­utamakan Beliau S.A.W ketim­bang diri mereka sendiri.

Diriwayatkan, Sayyidina Anas bin Malik ber­kata, “Ketika terjadi Perang Uhud, orang-orang tercerai-berai dari Nabi S.A.W sedangkan Abu Thalhah tetap berada di hadapan be­liau. Ia melindungi beliau dengan tameng­nya. Abu Thalhah adalah seorang pe­manah yang sangat mahir. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Nabi S.A.W mengintai pasukan musuh, maka berkata Abu Thalhah, ‘Kupertaruhkan ayah dan ibuku demi engkau! Janganlah engkau mengintai, aku khawatir panah mereka akan mengenaimu. Biar aku melindungi­mu!’.” (Muttafaq `alaih).

Ada pula seorang wanita Anshar yang ayahnya, saudara laki-lakinya, serta sua­minya gugur saat Perang Uhud bersama Rasulullah S.A.W. Ketika orang-orang memberitahukan kematian me­reka ke­pada wanita tersebut, ternyata ke­sela­matan Rasulullah lah yang lebih menyita pikirannya ketimbang segala sesuatu yang lain. Sedikit pun ia tidak berpikir ten­tang musibah yang menim­panya dengan kehilangan anggota ke­luarganya. Yang menjadi perhatinya ha­nyalah keselamat­an Beliau. Karena itu, ia berteriak, “Di mana Rasulullah ber­ada?”

Mereka menjelaskan kepadanya, “Alhamdulillah, Beliau dalam keadaan baik, sebagaimana yang kau inginkan.”

Seketika itu wanita tersebut pun me­rasa tenang, meskipun musibah yang me­nimpanya sangat besar. Ia lalu ber­kata, “Perlihatkanlah Beliau kepadaku agar aku dapat melihatnya.”

Saat telah melihat Beliau, ia pun meng­ucapkan kalimatnya yang terkenal bak cahaya, bersinar sepanjang sejarah, menjadi saksi keimanan wanita Anshar ini, “Segala musibah setelahmu adalah kecil, wahai Rasulullah.” (HR Al-Bai­haqi).

Alangkah luar biasanya gambaran keimanan wanita Anshar ini, yang telah memberikan pelajaran yang sangat men­dalam mengenai kecintaan kepada Ra­sulullah S.A.W. Kini selayaknyalah dimensi cinta ini menjadi syiar kita. Itu adalah ke­tulusan cinta yang harumnya senantiasa terasa sepanjang sejarah.

Kisah lainnya adalah kisah Zaid bin Ad-Datsanah R.A, ketika kaum musyrikin menariknya keluar dari Tanah Haram untuk dibunuh.

Abu Sufyan, sebelum masuk Islam, ber­diri melihat seorang muslim yang di­giring untuk dibunuh, ia berkata, “Ber­sum­­pahlah demi Allah, wahai Zaid! Apa­kah eng­kau suka jika Muhammad ber­ada di sini menggantikanmu untuk di­penggal le­hernya sedangkan engkau berada di te­ngah keluargamu?”

Zaid, seorang muslim yang kuat ini, menjawab, “Demi Allah! Aku tidak suka Muhammad berada di tempatnya se­karang apabila ia terkena sepucuk duri yang menyakitinya sedangkan aku duduk di tengah keluargaku.”

Abu Sufyan heran dengan lelaki yang lebih memilih dibunuh daripada Rasul­ullah S.A.W terkena walau hanya sepucuk duri yang me­nya­kiti­nya. Ia berkata, “Aku belum pernah me­lihat seorang manusia yang lebih di­cintai oleh para sahabatnya sebagaimana Mu­hammad dicintai oleh sahabat-saha­batnya.”

“Apakah Kematian Ini Membuat Rasulullah Ridha?”

Demikianlah kecintaan mereka ke­pada Nabi S.A.W. Bahkan, musuh-mu­suh­nya pun menyaksikan hal itu. Urwah bin Mas‘ud Ats-Tsaqafi, pemimpin orang-orang Thaif, diutus oleh kaum Quraisy untuk menjumpai Rasulullah S.A.W ketika terjadi Perdamaian Hu­dai­biyah. Urwah menyaksikan bagaimana yang dilakukan oleh para sahabat Nabi terhadap beliau. Tidaklah beliau ber­wudhu melainkan me­reka hampir saling berkelahi mempere­butkan air bekas wudhu beliau dan mengusap tubuh mereka dengan air itu.

Apabila berbicara, mereka meren­dah­kan suara di dekat Beliau dan tidak me­micingkan pandangan ke arah beliau.

Maka ketika ia telah kembali kepada kaumnya, ia berkata kepada mereka, ”Demi Allah, wahai kaum Quraisy, aku telah mendatangi seorang kisra di ke­raja­annya dan seorang kaisar dalam ke­agungannya. Tidak pernah aku melihat se­orang raja di tengah kaumnya seba­gai­mana Muhammad di tengah para saha­batnya. Sungguh aku telah melihat suatu kaum yang tidak akan menyerah­kannya selamanya untuk diganti dengan sesuatu. Pikirkanlah oleh kalian. Se­sung­guhnya ia telah menyampaikan suatu petunjuk ke­pada kalian. Terimalah apa yang ia sam­paikan. Sesungguhnya aku hanya mem­berikan nasihat kepada kalian walaupun aku khawatir kalian tidak akan menang terhadapnya.”

Urwah ibn Mas‘ud telah menyaksi­kan cinta hakiki para sahabat beliau, juga di­mensinya, dan bahwa itu lebih tinggi dari­pada segala sesuatu. Ya, itu adalah cinta yang agung kepada seorang pe­mimpin yang luar biasa, nabi yang mulia, dan rasul yang terpercaya.

Begitu pula sahabat yang mulia, Ikrimah bin Abu Jahl, yang beriman dan be­nar imannya, yang selalu setuju de­ngan beliau dan senantiasa teguh hati.

Pada saat ia gugur di Perang Yar­muk, sebelum mengembuskan napas terakhir, kepalanya diletakkan di atas paha Khalid bin Al-Walid, dan dengan berlinang air mata ia berkata, “Wahai Paman, apakah kematian ini membuat Rasulullah ridha ke­padaku?” Pada saat itu keinginannya hanyalah agar Rasul­ullah SAW ridha ke­padanya.

Manisnya Perjumpaan

Sayyidina Utsman RA terkenal de­ngan kemurahan dan kedermawannya yang tak ada bandingnya. Seluruh alam menyaksikan kedermawan agung yang telah dilakukan beliau, terutama pada pe­ristiwa sumur Raumah. Ia membeli sumur dari seorang Yahudi untuk me­nyelamat­kan orang-orang dari rasa haus dan da­haga. Ada kabar gembira dari Rasulullah SAW bahwa ia akan masuk surga.

Pada Perang Tabuk, ia sangat ber­murah hati dengan menyiapkan segala se­suatu untuk pasukan perang ini, me­menuhi semua kebutuhan pasukan, baik finansial, senjata, maupun logistik.

Pada kesempatan lain, ketika kota Madinah dilanda kelaparan dan paceklik, Sayyidina Utsman RA turun dengan mem­bawa barang dagangannya dan se­mua kafilahnya ke pasar, lalu ia mem­bagi-bagikannya kepada masyarakat.

Semua itu dilakukannya karena meng­harapkan keridhaan Allah semata dan wujud kecintaan kepada Rasulullah SAW. Ia tidak menginginkan balasan atau ucapan kasih dari mereka, karena Allah telah memberikan kepadanya kebaikan sepuluh kali lipat sampai tujuh ratus kali lipat. Inilah khalifah yang dikatakan oleh Rasulullh SAW, “Sesu­dah ini tidak akan merugikan Utsman apa yang telah ia lakukan.” (HR At-Tirmidzi dan Al-Hakim).

Demikian pula dengan Sang Pahla­wan dan Imam Orang-orang yang Ber­taq­wa, Ali bin Abu Thalib, yang pertama ma­suk Islam dari kalangan remaja. Ia mem­pertaruhkan dirinya agar Rasulullah SAW dapat keluar pada saat hijrah, de­ngan ber­baring untuk memberikan ke­san ke­pada orang yang berada di pintu rumah be­liau bahwa beliau tidak keluar dari ru­mahnya. Tindakan ini dipandang se­bagai perilaku pengorbanan pertama dalam sejarah dakwah Islam.

Sedangkan sahabat terkemuka, Bilal bin Rabah RA, saat menjelang wafat, istri­nya meratapinya dengan menga­takan, “Betapa sedihnya.” Sedangkan ia sendiri mengucapkan, “Betapa senang­nya. Besok aku akan berjumpa dengan orang-orang yang aku cintai, Muham­mad dan para sahabatnya.” Baginya, pahitnya kematian tak seberapa ketika diban­ding­kan dengan manisnya perjum­paan de­ngan Nabi.

Sahabat terkemuka lainya, Sa‘d ibn Ar-Rabi‘, pasca-Perang Uhud, menjadi orang yang pertama kali ditanyakan ke­adaannya oleh Rasulullah SAW, “Apa­kah Sa‘ad termasuk di antara yang hidup ataukah yang gugur?”

Berkatalah Zaid bin Tsabit, “Wahai Rasulullah, aku akan melihat untukmu, apa yang menimpa Sa`ad.” Lalu Zaid keluar mencari-cari di antara mereka yang terluka. Ternyata ia dapati Sa`ad se­dang dalam keadaan akan meng­em­buskan napas terakhir. Maka Zaid pun lalu berkata kepadanya, “Hai Sa`ad, se­sungguhnya Rasulullah SAW menanya­kanmu dan keadaanmu.”

Sa‘ad menjawab, “Aku berada di an­tara mereka yang menjelang mati. Sam­paikanlah salamku kepada Rasulullah dan katakan kepada beliau: Semoga Allah memberikan ganjaran kepadamu atas jasamu kepada kami dengan se­baik-baik balasan yang Dia berikan ke­pada seorang nabi atas jasanya kepada umat­nya. Sampaikan juga salamku ke­pada kaummu dan katakanlah kepada mereka, ‘Sa‘ad bin ar-Rabi‘ berkata ke­pada kalian: Sesungguhnya tidak ada alasan bagi kalian di sisi Allah jika urus­annya diserah­kan kepada nabi kalian, sedangkan pada kalian masih ada mata yang dapat memandang’.”

Kemudian Sa‘ad pun pergi menjum­pai Tuhannya dalam keadaan senang, ba­hagia, dan gembira dengan kemuliaan mati syahid yang Allah berikan kepada­nya.

Semoga Allah merahmatimu, wahai Sa‘ad, dan memberikan ganjaran ke­pada­mu atas jasamu kepada Islam dan umat Islam dengan ganjaran sebaik-baik­nya.

Ya Allah, janganlah Engkau tidak mem­berikan kami ganjaran sebesar yang engkau berikan kepadanya. Juga jangan­lah Engkau uji kami setelah ia tiada, dan ampunilah kami dan dia.

Begitu pula Mush‘ab ibn Umair, pe­muda kota Makkah yang dimanjakan ke­luarganya. Ia mati syahid pada Perang Uhud ketika melindungi Rasulullah SAW dan membelanya dari serangan orang-orang kafir.

Ibn Ishaq mengisahkan, “Mushab bin Umair bertempur membela Nabi SAW sam­pai wafat terbunuh. Orang yang mem­bunuhnya adalah Ibn Qum`ah Al-Laitsi, yang menyangka bahwa ia ada­lah Rasulullah SAW (karena Mush`ab mirip dengan Rasulullah), maka ia kem­bali kepada kaum Quraisy seraya ber­kata, ‘Aku telah membunuh Muhammad.’

Selanjutnya, setelah Mush‘ab bin Umair terbunuh, Rasulullah SAW mem­berikan bendera panji-panji perang ke­pada Ali bin Abu Thalib.

Di masa hidupnya, cintanya kepada Rasulullah SAW telah memenuhi se­luruh rongga dadanya. Inilah keadaan Mush‘ab bin Umair. Ia adalah contoh cinta yang sebenarnya.

Suatu ketika Mush‘ab keluar men­jum­pai sejumlah saudaranya seagama yang sedang duduk mengelilingi Rasul­ullah SAW. Ketika para sahabat melihat­nya, mereka pun menundukkan kepala, me­­mejamkan mata, dan air mata mene­tes dari mata mereka. Mereka melihat­nya mengenakan pakaian yang penuh tam­balan dan usang, sedangkan sebe­lum­nya ia selalu memakai pakaian yang baru dan cemerlang. Karena ibunya, se­telah putus asa untuk membuatnya mur­tad, saat itu mencegahnya dari semua kese­nangan yang pernah ia limpahkan ka­pada Mush‘ab setelah ia mening­gal­kan tuhannya, berhala.

Saat itu Nabi SAW melihatnya de­ngan pandangan kasih dan senyuman yang penuh kerelaan, seraya bersabda, “Aku telah melihat Mush`ab sebelum ini. Tak ada di kota Makkah seorang pe­muda pun yang lebih banyak meraih ke­senang­an dari kedua orangtuanya di­bandingkan dia lalu ia tinggalkan semua itu karena cinta kepada Allah dan Rasul-Nya. Cintanya kepada Allah dan Rasul-Nya telah mengubahnya menjadi seperti yang kalian lihat, ia meninggalkan se­luruh per­hiasan dunia dan sangat ber­gantung pada akhirat dan kenikmat­annya.” (HR At-Tirmidzi dan Al-Hakim).

Demikian sekilas kisah sebagian pecinta Rasulullah yang disarikan dari kitab Bi Abi Anta wa Ummi, Ya Rasul­allah, karya Muhammad Abduh Yamani, yang edisi bahasa Indonesianya telah diterbitkan oleh Dar Al-Kutub Al-Islami­yah dengan judul Kupertaruhkan Se­gala­nya demi Engkau, ya Rasulullah.

(Bersambung ke Bagian 3)

alKisah


Previous
Next Post »