Kisah Para Pecinta Rasulullah - “Duri Menyentuhmu pun, Aku tak Rela...” (1)

“Kupertaruhkan ayah dan ibuku demi engkau! Janganlah engkau mengintai. Aku khawatir panah mereka akan mengenaimu. Biar aku melindungimu!”

Orang-orang yang mencintai Sayyidina Rasulullah Nabi Muhammad S.A.W di masa Beliau masih hidup, yaitu para Sahabatnya, adalah orang-orang yang beruntung. Mereka menjadikan sirah Beliau sebagai rambu dan pelita yang menerangi jalan di depan mereka. Menyadari pentingnya menela­dani Beliau, mereka pun mengikutinya dalam segala masalah, besar ataupun kecil. Mereka menimba, menikmati, dan berlindung di bawah keteladanan Beliau S.A.W.

Sebagai seorang panutan, Nabi S.A.W mendidik para Sahabatnya, meng­ajari, dan menjadikan mereka teladan juga bagi orang sepeninggal mereka yang mencari hidayah. Itu karena me­reka mencintai Beliau lebih dari kecinta­an mereka kepada anak-anak, diri, harta, dan segala sesuatu dalam kehidupan mereka.

Rasulullah S.A.W juga dicintai oleh seluruh umat Islam di setiap tempat dan waktu dengan kecintaan seperti itu. Hal ini tetap akan menjadi tanda orang muk­min hingga Allah warisi bumi beserta isi­nya (Hari Kiamat).

“Jika Beliau yang mengatakannya, berarti Benar”

Sayyidina Umar bin Al-Khaththab R.A berkata, “Wahai Rasulullah, sungguh, engkau le­bih aku cintai dibandingkan segala se­suatu, kecuali diriku.”

Rasulullah S.A.W menjawab, “Tidak, wahai Umar, hingga aku lebih engkau cintai dibandingkan dirimu sendiri.”

Lalu Umar R.A berkata, “Kalau begitu, se­karang, engkau lebih aku cintai walau­pun dibandingkan diriku sendiri.”

Nabi S.A.W menegaskan, “Sekarang, hai Umar!” (HR Al-Bukhari).

Kecintaan para sahabat Nabi S.A.W menjadi bukti keimanan yang kukuh itu. Sayyidina Abu Bakar Ash-Shiddiq R.A tidak men­cari sesuatu yang lebih utama dan lebih besar kecuali persahabatannya walau dalam kondisi yang paling sulit, yakni saat Ra­sulullah S.A.W menyiapkan diri untuk ber­hijrah. Saat itu ia berseru de­ngan luapan cin­ta memenuhi hatinya, “Aku menemani­mu, aku menemanimu, wahai Rasulullah.”

Seluruh keinginannya hanyalah shuh­bah (menyertai Beliau) meski harus meng­hadapi segala bahaya yang meng­intai. Sungguh ia beruntung dengan shuh­­bah ini. Ia menjadi orang kedua yang ber­ada di dalam gua, saat Allah menyertai mereka. “Jangan engkau ber­sedih, se­sungguhnya Allah bersama kita.” (QS At-Tawbah: 40).

“Hai Abu Bakar, bagaimana penda­patmu mengenai dua orang yang disertai Allah sebagai yang ketiga?” (Muttafaq `alaih).

Itulah cinta sejati, perasaan yang be­nar, dan iman yang dalam, sehingga Abu Bakar selalu dikenal dengan ucapannya yang abadi, “Jika Beliau yang mengata­kannya, berarti Benar.”

Ia membenarkan Rasulullah S.A.W da­lam segala sesuatu dan setuju de­ngan Be­liau dalam segala hal. Ia keluar­kan har­tanya dalam kecintaannya ke­pada Allah dan kepada Rasulullah S.A.W, sehingga me­makai pakai­an yang sangat seder­hana.

“Ia Membenarkan Ketika Orang-orang Mendustaiku”

Begitu pula Ummul Mu’minin, Kha­di­jah, yang mulia, seorang wanita agung yang mencintai Rasulullah S.A.W sehing­ga men­dapatkan kesuksesan dan keber­untungan serta bertambah pula ke­agung­an dan ketinggiannya. Allah membangun­kan untuknya istana di dalam surga. Inilah insan yang selalu mem­ban­tu Beliau, se­nantiasa memacu sema­ngatnya untuk te­tap berdakwah, menye­limuti, mengasihi, dan mendukungnya karena dorongan cin­ta yang mendalam kepada Insan ini, Insan yang terpercaya dan jujur.

Ia menuturkan perkataannya yang ter­kenal, “Bergembiralah, wahai anak pa­manku. Teguh hatilah engkau. Demi Dzat yang jiwa Khadijah berada di ta­ngan-Nya, aku sungguh berharap eng­kau menjadi Nabi dari umat ini. Demi Allah, ia tak akan menghinakanmu se­lamanya. Sungguh eng­kau adalah se­orang yang selalu me­nyambung sila­turahim, berbicara benar, menyantuni orang lemah, menjamu tamu, dan me­nolong untuk hal-hal yang benar.”

Rasulullah S.A.W senantiasa setia kepadanya. Maka lihatlah bagaimana Beliau membela Khadijah ketika Sayyidatina Aisyah Ummul Mu’minin, yang cemburu karena Be­liau sering menyebut Khadijah R.A dan masih setia kepadanya, berkata kepada Beliau, “Ia seorang wa­nita berumur. Allah telah menggantikan untukmu yang lebih baik daripadanya.”

Berkatalah Rasulullah S.A.W karena setianya kepada wanita terhormat ini, ser­ta karena mengagungkan dan memu­lia­kannya, “Demi Allah, Allah tidak meng­gan­tikan untukku yang lebih baik dari­padanya. Ia beriman kepadaku ketika masyarakat tak satu pun yang percaya kepadaku. Ia membenarkan ketika orang-orang mendustaiku. Ia membantu ketika orang-orang membiarkanku.” (HR Ah­mad dan Al-Bukhari).

Sayyidatina Khadijah R.A mencintai Beliau se­hing­ga Allah Mencintainya dan Memulia­kan­nya.

Kecintaan kepada Insan yang sem­purna ini telah ada sejak kelahirannya dan pertumbuhannya. Allah telah me­nem­pat­kan kecintaan terhadapnya di bumi dan di langit. Ia telah memuliakan Beliau de­ngan menghimpunkan pada diri Beliau si­fat-sifat yang terpuji, perangai yang mulia, dan keutamaan yang agung yang me­numbuh­kan kecintaan kepada­nya di hati manusia dan membuatnya dicintai oleh se­mua jiwa. Maka Beliau dicintai oleh keluarganya, kaumnya, dan keluarga be­sarnya.

Mereka berharap mendapat nasib baik dengannya dan memanggilnya de­ngan sifat amanahnya dan kejujurannya sehingga mereka menamainya Al-Amin (yang terpercaya) dan menunjuknya se­bagai penengah dalam masalah mereka yang sangat serius, yaitu ketika mereka berselisih tentang siapa yang akan me­ngembalikan Hajar Aswad di tem­pat­nya. Ketika mereka melihat Beliau datang, mereka pun berteriak, “Ini dia orang yang jujur dan terpercaya.” Dengan akal, hik­mah, dan pendapatnya yang tepat, Be­liau dapat menyelesaikan pertentangan yang terjadi.

Kesombongan itu Merendahkan dan Menelantarkan

Musuh-musuh Rasulullah S.A.W pun tak dapat mencelanya. Mereka tak mam­pu mencemarkan akhlaq dan amanah­nya. Tetapi kesombongan dan kecong­kakanlah yang menganggap bahwa ber­lebihan bila Pemuda yatim ini mendapat­kan semua keutamaan tersebut. Mereka tidak mengetahui bahwa keutamaan ber­ada di tangan Allah. Dia berikan keuta­maan itu kepada yang Dia kehendaki dan Dia memiliki keutamaan yang agung. Ang­gapan mereka telah me­nyingkap ke­sombongan yang tersem­bunyi di dalam jiwa mereka. “Dan me­reka berkata, ‘Mengapa Al-Qur’an ini tidak diturunkan kepada pembesar (kaya dan berpenga­ruh) dari salah satu dua negeri ini (Mak­kah dan Thaif)?’.” (QS Az-Zukhruf: 31).

Kedengkian telah membutakan me­re­ka sehingga tak dapat melihat kebe­sar­an. Kesombongan telah menipu me­reka de­ngan memusuhi orang yang jujur dan ter­percaya ini.

Padahal, Abu Jahal sendiri menge­nal kebenaran dan berkata kepada Nabi S.A.W, “Sesungguhnya aku tidak menga­takan bahwa engkau berdusta, tetapi aku menyangkal apa yang engkau bawa dan apa yang engkau serukan!” Lalu tu­runlah ayat Al-Qur’an menegaskan haki­kat ini, yang artinya, “Sungguh, Kami me­nge­tahui bahwa apa yang mereka katakan itu menyedihkan hatimu (Mu­hammad), (janganlah bersedih hati) ka­rena sebenar­nya mereka bukan men­dustakan engkau, te­tapi orang yang zhalim itu mengingkari ayat-ayat Allah.” (QS Al-An`am: 33).

(Bersambung ke Bagian 2)

alKisah


Previous
Next Post »