“Kupertaruhkan ayah dan ibuku demi engkau! Janganlah engkau mengintai. Aku khawatir panah mereka akan mengenaimu. Biar aku melindungimu!”
Orang-orang yang mencintai Sayyidina Rasulullah Nabi Muhammad S.A.W di masa Beliau masih hidup, yaitu para Sahabatnya, adalah orang-orang yang beruntung. Mereka menjadikan sirah Beliau sebagai rambu dan pelita yang menerangi jalan di depan mereka. Menyadari pentingnya meneladani Beliau, mereka pun mengikutinya dalam segala masalah, besar ataupun kecil. Mereka menimba, menikmati, dan berlindung di bawah keteladanan Beliau S.A.W.
Sebagai seorang panutan, Nabi S.A.W mendidik para Sahabatnya, mengajari, dan menjadikan mereka teladan juga bagi orang sepeninggal mereka yang mencari hidayah. Itu karena mereka mencintai Beliau lebih dari kecintaan mereka kepada anak-anak, diri, harta, dan segala sesuatu dalam kehidupan mereka.
Rasulullah S.A.W juga dicintai oleh seluruh umat Islam di setiap tempat dan waktu dengan kecintaan seperti itu. Hal ini tetap akan menjadi tanda orang mukmin hingga Allah warisi bumi beserta isinya (Hari Kiamat).
“Jika Beliau yang mengatakannya, berarti Benar”
Sayyidina Umar bin Al-Khaththab R.A berkata, “Wahai Rasulullah, sungguh, engkau lebih aku cintai dibandingkan segala sesuatu, kecuali diriku.”
Rasulullah S.A.W menjawab, “Tidak, wahai Umar, hingga aku lebih engkau cintai dibandingkan dirimu sendiri.”
Lalu Umar R.A berkata, “Kalau begitu, sekarang, engkau lebih aku cintai walaupun dibandingkan diriku sendiri.”
Nabi S.A.W menegaskan, “Sekarang, hai Umar!” (HR Al-Bukhari).
Kecintaan para sahabat Nabi S.A.W menjadi bukti keimanan yang kukuh itu. Sayyidina Abu Bakar Ash-Shiddiq R.A tidak mencari sesuatu yang lebih utama dan lebih besar kecuali persahabatannya walau dalam kondisi yang paling sulit, yakni saat Rasulullah S.A.W menyiapkan diri untuk berhijrah. Saat itu ia berseru dengan luapan cinta memenuhi hatinya, “Aku menemanimu, aku menemanimu, wahai Rasulullah.”
Seluruh keinginannya hanyalah shuhbah (menyertai Beliau) meski harus menghadapi segala bahaya yang mengintai. Sungguh ia beruntung dengan shuhbah ini. Ia menjadi orang kedua yang berada di dalam gua, saat Allah menyertai mereka. “Jangan engkau bersedih, sesungguhnya Allah bersama kita.” (QS At-Tawbah: 40).
“Hai Abu Bakar, bagaimana pendapatmu mengenai dua orang yang disertai Allah sebagai yang ketiga?” (Muttafaq `alaih).
Itulah cinta sejati, perasaan yang benar, dan iman yang dalam, sehingga Abu Bakar selalu dikenal dengan ucapannya yang abadi, “Jika Beliau yang mengatakannya, berarti Benar.”
Ia membenarkan Rasulullah S.A.W dalam segala sesuatu dan setuju dengan Beliau dalam segala hal. Ia keluarkan hartanya dalam kecintaannya kepada Allah dan kepada Rasulullah S.A.W, sehingga memakai pakaian yang sangat sederhana.
“Ia Membenarkan Ketika Orang-orang Mendustaiku”
Begitu pula Ummul Mu’minin, Khadijah, yang mulia, seorang wanita agung yang mencintai Rasulullah S.A.W sehingga mendapatkan kesuksesan dan keberuntungan serta bertambah pula keagungan dan ketinggiannya. Allah membangunkan untuknya istana di dalam surga. Inilah insan yang selalu membantu Beliau, senantiasa memacu semangatnya untuk tetap berdakwah, menyelimuti, mengasihi, dan mendukungnya karena dorongan cinta yang mendalam kepada Insan ini, Insan yang terpercaya dan jujur.
Ia menuturkan perkataannya yang terkenal, “Bergembiralah, wahai anak pamanku. Teguh hatilah engkau. Demi Dzat yang jiwa Khadijah berada di tangan-Nya, aku sungguh berharap engkau menjadi Nabi dari umat ini. Demi Allah, ia tak akan menghinakanmu selamanya. Sungguh engkau adalah seorang yang selalu menyambung silaturahim, berbicara benar, menyantuni orang lemah, menjamu tamu, dan menolong untuk hal-hal yang benar.”
Rasulullah S.A.W senantiasa setia kepadanya. Maka lihatlah bagaimana Beliau membela Khadijah ketika Sayyidatina Aisyah Ummul Mu’minin, yang cemburu karena Beliau sering menyebut Khadijah R.A dan masih setia kepadanya, berkata kepada Beliau, “Ia seorang wanita berumur. Allah telah menggantikan untukmu yang lebih baik daripadanya.”
Berkatalah Rasulullah S.A.W karena setianya kepada wanita terhormat ini, serta karena mengagungkan dan memuliakannya, “Demi Allah, Allah tidak menggantikan untukku yang lebih baik daripadanya. Ia beriman kepadaku ketika masyarakat tak satu pun yang percaya kepadaku. Ia membenarkan ketika orang-orang mendustaiku. Ia membantu ketika orang-orang membiarkanku.” (HR Ahmad dan Al-Bukhari).
Sayyidatina Khadijah R.A mencintai Beliau sehingga Allah Mencintainya dan Memuliakannya.
Kecintaan kepada Insan yang sempurna ini telah ada sejak kelahirannya dan pertumbuhannya. Allah telah menempatkan kecintaan terhadapnya di bumi dan di langit. Ia telah memuliakan Beliau dengan menghimpunkan pada diri Beliau sifat-sifat yang terpuji, perangai yang mulia, dan keutamaan yang agung yang menumbuhkan kecintaan kepadanya di hati manusia dan membuatnya dicintai oleh semua jiwa. Maka Beliau dicintai oleh keluarganya, kaumnya, dan keluarga besarnya.
Mereka berharap mendapat nasib baik dengannya dan memanggilnya dengan sifat amanahnya dan kejujurannya sehingga mereka menamainya Al-Amin (yang terpercaya) dan menunjuknya sebagai penengah dalam masalah mereka yang sangat serius, yaitu ketika mereka berselisih tentang siapa yang akan mengembalikan Hajar Aswad di tempatnya. Ketika mereka melihat Beliau datang, mereka pun berteriak, “Ini dia orang yang jujur dan terpercaya.” Dengan akal, hikmah, dan pendapatnya yang tepat, Beliau dapat menyelesaikan pertentangan yang terjadi.
Kesombongan itu Merendahkan dan Menelantarkan
Musuh-musuh Rasulullah S.A.W pun tak dapat mencelanya. Mereka tak mampu mencemarkan akhlaq dan amanahnya. Tetapi kesombongan dan kecongkakanlah yang menganggap bahwa berlebihan bila Pemuda yatim ini mendapatkan semua keutamaan tersebut. Mereka tidak mengetahui bahwa keutamaan berada di tangan Allah. Dia berikan keutamaan itu kepada yang Dia kehendaki dan Dia memiliki keutamaan yang agung. Anggapan mereka telah menyingkap kesombongan yang tersembunyi di dalam jiwa mereka. “Dan mereka berkata, ‘Mengapa Al-Qur’an ini tidak diturunkan kepada pembesar (kaya dan berpengaruh) dari salah satu dua negeri ini (Makkah dan Thaif)?’.” (QS Az-Zukhruf: 31).
Kedengkian telah membutakan mereka sehingga tak dapat melihat kebesaran. Kesombongan telah menipu mereka dengan memusuhi orang yang jujur dan terpercaya ini.
Padahal, Abu Jahal sendiri mengenal kebenaran dan berkata kepada Nabi S.A.W, “Sesungguhnya aku tidak mengatakan bahwa engkau berdusta, tetapi aku menyangkal apa yang engkau bawa dan apa yang engkau serukan!” Lalu turunlah ayat Al-Qur’an menegaskan hakikat ini, yang artinya, “Sungguh, Kami mengetahui bahwa apa yang mereka katakan itu menyedihkan hatimu (Muhammad), (janganlah bersedih hati) karena sebenarnya mereka bukan mendustakan engkau, tetapi orang yang zhalim itu mengingkari ayat-ayat Allah.” (QS Al-An`am: 33).
(Bersambung ke Bagian 2)
alKisah
EmoticonEmoticon