Hikmah Hijrah Nabi S.A.W - Iman Meneguhkan Hati

"Sehebat apapun kaum musyrikin membuat rencana untuk menggagalkan hijrahnya Rasul S.A.W, Allah-lah Sang Perencana Terbaik"

Musim semi baru akan berlangsung. Bulan pada malam itu tampak kecil dilatari gugusan bintang yang berserak di atas langit. Udara dingin serasa menggigit kulit. Terpaan angin yang menerbangkan buliran pasir gurun membuat mata terpicing dan terkantuk-kantuk.

Ketika sebahagian besar penduduk Makkah terlelap dalam tidur, Rasulullah S.A.W tengah berkemas-kemas. Sementara itu beberapa kelompok musyrikin menyatroni lingkungan, mewaspadai gerak-gerik yang mereka incar dan curigai. Keadaan yang demikian sunyi dan mencekam tidak membuat ciut nyali Rasulullah SAW untuk beranjak keluar dari kediamannya. Ya, malam itu, permulaan Rabiul Awwal, menjadi langkah awal perubahan yang penuh persiapan masak bagi keberlangsungan Islam di muka bumi.

Nabi masih sempat membisikkan kepada Ali bin Abu Thalib R.A, sepupunya yang pemberani, untuk segera menempati ranjangnya seraya berbalut selimut hijau dari Hadhramaut.

Sambil meraup pasir di pelataran rumahnya, beliau mengucap bismillah dan melontarkan pasir dalam genggamannya itu. Sekejap kemudian, puluhan pemuda musyrikin yang semula menyatroni gerak-gerik Nabi terlelap. Dan Rasulullah pun berlalu dengan selamat. Semua itu bi idznillah, dengan izin Allah Ta'ala. Kemudian, bersama Abu Bakar bin Abi Quhafah R.A, Nabi bertolak ke arah selatan rumahnya menuju sebuah gua di Bukit Tsur.

Sebelum melangkahkan kaki, Rasulullah S.a.w menatap kota Makkah dari kejauhan. Dengan berlinang air mata, beliau berucap, "Demi Allah, engkaulah bagian bumi Allah yang paling baik dan paling aku cintai. Andai kata tidak diusir, aku tak akan meninggalkanmu, wahai Makkah.".

Gua yang sempit dan jarang disinggahi manusia itu dipilih untuk satu tujuan yang tidak diketahui siapa pun kecuali Nabi, Abu Bakar, sahabat yang kelak menjadi mertua beliau, dan ada empat orang, yakni Ali bin Abu Thalib, Abdullah dan Asma (keduanya putra-putri Abu Bakar), serta pembantu Abu Bakar, Amir bin Fuhairah.

Keempat orang itu mendapat tugas yang sangat strategis bagi kesuksesan perjalanan yang amat bersejarah tersebut. Ali berdiam di rumah Rasul S.A.W untuk mengelabui kaum musyrikin. Abdullah ditugasi untuk memonitor perkembangan berita di kalangan orang-orang kafir Makkah lalu menyampaikannya kepada Rasul pada malam harinya ke tempat persembunyian. Asma saban sore membawa makanan buat Rasul dan ayahnya. Amir bin Fuhairah ditugasi menggembalakan kambing Abu Bakar, memerah susu, dan menyiapkan daging. Apabila Abdullah bin Abu Bakar kembali dari tempat mereka bersembunyi di gua itu, datang Amir mengikutinya dengan kambingnya guna menghapus jejak.

Sementara itu pihak Quraisy berusaha keras mencari jejak Rasul S.A.W dan Abu Bakar. Pemuda-pemuda Quraisy dengan wajah beringas membawa senjata tajam, mondar-mandir mencari ke segenap penjuru. Ketika bergerak menuju Gua Tsur, mereka menyambangi bibir gua itu. Sang pemimpin hendak menerobos masuk, tapi kemudian tidak jadi.

Kenapa tidak masuk ke dalam?” tanya anak buahnya. “Setelah aku amati, tampaknya gua ini tak mungkin dijadikan persembunyian. Di dalamnya ada sarang laba-laba dan sarang burung liar hutan. Akal sehatku mengatakan, tidak mungkin ada orang yang masuk ke dalamnya, bahkan tak ada bukti yang menunjukkan jejak orang yang kita cari,” katanya.

Sedangkan di dalam gua, Abu Bakar merasa khawatir. Derap langkah orang-orang itu seakan hampir menemukan mereka. Ia berkata kepada Rasulullah, "Wahai Rasul, andai salah seorang di antara mereka menemukan kita, habislah kita. Jika aku mati, apalah diriku. Tapi jika dirimu yang mati, tamatlah riwayat dakwahmu. Bagaimana jadinya?", Beliau S.a.w menjawab dengan balik bertanya, "Apa yang ada di benakmu jika berduanya kita di sini juga ada Allah, yang ketiga di antara kita?".

Maka turunlah firman Allah S.w.t, “Kalau kamu tidak menolongnya, sesungguhnya Allah telah menolongnya, (yaitu) tatkala orang-orang kafir mengusirnya, sedang dia salah seorang dari dua orang itu, ketika keduanya berada dalam gua. Waktu dia berkata kepada temannya, ‘Janganlah engkau bersedih hati, sesungguhnya Allah bersama kita.’ Maka Allah menurunkan ketenangan kepadanya dan dikuatkan-Nya dengan pasukan yang tidak kamu lihat. Dan Allah menjadikan seruan orang-orang kafir itu rendah, sedangkan kalimah Allah itulah yang tinggi. Dan Allah Mahakuasa dan Bijaksana.” (QS 9: 40).

Setelah meyakini apa yang dicari tampaknya tidak membuahkan hasil, gerombolan musyrikin ini meninggalkan gua tersebut.

Tiga hari tiga malam Rasulullah S.A.W bersama Abu Bakar di dalam gua yang senyap dan gelap itu. Pada hari ketiga, ketika keadaan sudah tenang, unta untuk kedua insan yang saling mencintai ini didatangkan oleh Amir bin Fuhairah. Asma pun datang menyiapkan makanan.

Dikisahkan, Asma merobek ikat pinggangnya lalu sebelahnya digunakan untuk menggantungkan makanan dan yang sebelah lagi diikatkan, sehingga ia lalu diberi nama Dzat an-Nithaqain (Yang Memiliki Dua Sabuk).

Menjelang siang, Rasul S.A.W dan Abu Bakar berangkat meninggalkan Gua Tsur. Karena mengetahui pihak Quraisy sangat gigih mencari mereka, mereka mengambil rute jalan yang tidak biasa ditempuh orang. Dengan ditemani Amir bin Fuhairah dan mengupah seorang Badui dari Banu Du’il, Abdullah bin ‘Uraiqith, sebagai penunjuk jalan, mereka berempat menuju selatan Lembah Makkah, kemudian menuju Tihamah di dekat pantai Laut Merah. Sepanjang malam dan siang, mereka menempuh perjalanan yang amat berat.

Selama tujuh hari Rasulullah SAW bersama Abu Bakar, Amir, dan penunjuk jalannya menyusuri padang pasir nan luas dan gersang. Mereka beristirahat di siang hari di bawah panas membara dan kembali melanjutkan perjalanan sepanjang malam, mengarungi padang pasir dengan udara dingin yang menusuk tulang. Hanya iman kepada Allah-lah yang membuat Rasul dan sahabatnya berteguh hati dan perasaan damai menyelimuti.

Saat memasuki daerah kabilah Banu Sahm, Buraidah, kepala kabilah itu menyambut mereka. Perasaan lega semakin terasa. Karena jarak mereka dengan Yatsrib sudah semakin dekat.

Berita tentang hijrahnya Nabi S.A.W yang akan menyusul kaum muslimin Makkah yang telah tiba sebelumnya sudah tersiar di Yatsrib. Penduduk kota ini sangat mafhum, betapa penderitaan akibat kekerasan kafir Quraisy telah banyak menimpa Nabi S.A.W. Oleh karena itu kaum muslimin menantikan penuh harap kedatangan Rasulullah dengan hati berbunga-bunga ingin melihatnya, ingin mendengarkan tutur katanya.

Banyak di antara mereka yang belum pernah melihat Nabi, meskipun sudah mendengar ihwalnya dan mengetahui pesona bahasanya serta keteguhan pendiriannya. Semua itu membuat mereka rindu sekali ingin bertemu, ingin melihatnya.

Akhirnya, Rasulullah tiba dengan selamat di kota Madinah pada hari Jum'at, 12 Rabi’ul Awwal tahun 13 Kenabian (sekitar 12 atau 13 September 622 M). Sambutan penuh suka cita diiringi isak tangis penuh haru dan kerinduan menyeruak di langit Madinah. Syair pun berkumandang:


Thala’al badru ‘alaina
Min Tsaniyyatil Wada’
Wajabasy syukru ‘alaina
Ma da’a lillahi da`
Ayyuhal mab'utsu fina
Ji'ta bil amril mutha'

Telah nampak bulan purnama
Dari Tsaniyyah Al-Wada'
Wajiblah kami bersyukur
Atas masih adanya penyeru kepada Allah
Wahai orang yang diutus kepada kami
Engkau membawa sesuatu yang patut kami taati


Abu Ayyub segera menyokong Nabi. Ia pun tampil menjadi penolongnya. Dengan penuh suka cita, ia telah mempersiapkan bangunan rumah bagi Nabi. "Terserah olehmu, wahai kekasih Allah... bagian mana saja ingin engkau tinggali, kami sangat bahagia bersamamu," kata Abu Ayyub.

Di rumah pemberian Abu Ayyub-lah Nabi S.A.W memilih untuk tinggal bersama istrinya, Saudah binti Zam’ah, dan kedua putrinya, Fathimah dan Ummu Kultsum.

Hari itu jatuh pada hari Jum’at, sehingga beliau bersegera untuk melaksanakan ibadah Jum'at yang pertama kali diselenggarakan di Madinah.

Empat hari sebelumnya, sebelum tiba di Madinah, di Lembah Wadi Ranunah, Baqi, tempat penjemuran kurma milik dua orang anak yatim dari Banu Najjar, unta Nabi SAW menghentikan langkahnya. Nabi S.A.W turun dari untanya dan bertanya, “Kepunyaan siapa tempat ini?

Kepunyaan Sahl dan Suhail bin ‘Amr, wahai Rasulullah,” jawab Ma’adh bin ‘Afra, wali kedua anak yatim itu. Kedua anak yatim itu berharap kepada Nabi Muhammad S.A.W agar di lahan milik mereka didirikan masjid. Nabi S.a.w menyetujuinya, dan itulah masjid yang pertama kali berdiri dalam perjalanan hijrah yang amat berkesan.

Hendaklah ke Yatsrib

Sebelum tibanya Rasulullah SAW dan Abu Bakar R.A, rombongan pertama Muhajirin telah lebih dulu sampai di Yatsrib beberapa hari sebelumnya. Aisyah R.A meriwayatkan, permusuhan dan penyiksaan terhadap kaum muslimin bertambah berat di Makkah. Mereka datang dan mengadu kepada Rasulullah S.A.W meminta izin berhijrah.

Pengaduan itu dijawab oleh Rasulullah S.A.W dengan sabdanya, “Sesungguhnya aku telah diberi tahu bahwa tempat hijrah kalian adalah Yatsrib. Barang siapa ingin hijrah, hendaklah ia menuju Yatsrib.

Para sahabat pun bersiap-siap, mengemas semua keperluan perjalanan. Bahkan sebahagian besar tidak mempedulikan lagi harta benda milik mereka. Mereka ingin segera melaksanakan perintah Rasul itu.

Mereka Berangkat Secara Sembunyi-sembunyi

Sahabat yang pertama kali sampai di Madinah ialah Abu Salamah bin Abdul Asad, kemudian Amir bin Rab’ah bersama istrinya, Laila binti Abi Hasymah.

Setelah itu para sahabat Rasulullah S.A.W datang secara bergelombang. Mereka tiba di rumah-rumah kaum Anshar dan mendapatkan tempat perlindungan.

Wassalam

Previous
Next Post »