Imam Syafi’i - Keteguhannya Membela Sunnah

Sebagai seorang yang mengikuti manhaj Ash-habul Hadits, beliau dalam menetapkan suatu masalah terutama masalah aqidah selalu menjadikan Al Qur'an dan Sunnah Nabi sebagai landasan dan sumber hukumnya. Beliau selalu menyebutkan dalil-dalil dari keduanya dan menjadikannya hujjah dalam menghadapi penentangnya, terutama dari kalangan ahli kalam. Beliau berkata: “Jika kalian telah mendapatkan Sunnah Nabi, maka ikutilah dan janganlah kalian berpaling mengambil pendapat yang lain.”. Karena komitmennya mengikuti sunnah dan membelanya itu, beliau mendapat gelar Nashir as-Sunnah wa al-Hadits.

Terdapat banyak atsar tentang ketidaksukaan beliau kepada Ahli Ilmu Kalam, mengingat perbedaan manhaj beliau dengan mereka. Beliau berkata, “Setiap orang yang berbicara (mutakallim) dengan bersumber dari Alquran dan sunnah, maka ucapannya adalah benar, tetapi jika dari selain keduanya, maka ucapannya hanyalah igauan belaka.” Imam Ahmad berkata, “Bagi Syafi‘i jika telah yakin dengan keshahihan sebuah hadits, maka dia akan menyampaikannya. Dan prilaku yang terbaik adalah dia tidak tertarik sama sekali dengan ilmu kalam, dan lebih tertarik kepada fiqih.” Imam Syafi‘i berkata, “Tidak ada yang lebih aku benci daripada ilmu kalam dan ahlinya” Al-Mazani berkata, “Merupakan madzhab Imam Syafi‘i membenci kesibukan dalam ilmu kalam. Beliau melarang kami sibuk dalam ilmu kalam.”

Ketidaksukaan beliau sampai pada tingkat memberi fatwa bahwa hukum bagi ahli ilmu kalam adalah dipukul dengan pelepah kurma, lalu dinaikkan ke atas punggung unta dan digiring berkeliling di antara kabilah-kabilah dengan mengumumkan bahawa itu adalah hukuman bagi orang yang meninggalkan Alquran dan Sunnah dan memilih ilmu kalam.

Imam Syafi’I dan aktivitas keilmuan
Imam Syafi’i tumbuh sebagai pemuda yang miskin, berkehidupan yang sulit, sehingga ketika menuntut ilmu ia terpaksa menulis dalam potongan tembikar, kulit pelepah kurma dan tulang belulang hewan karena memang tidak mampu membeli kertas.
Kiblat para ulama’ syafi’iyah ini telah menghafal Alquran ketika masih kecil dan mulai menghafal hadis-hadis Nabi dan menulisnya. Syafi’I remaja suka pergi ke pedesaan dan bergaul dengan kabilah Huzail hampir sepuluh tahun untuk mengambil kaidah bahasa Arab. Maka tidak heran ia mampu menghafal syair-syair Huzail dan sejarahnya. Huzail adalah kabilah Arab yang paling fasih.

Di samping belajar ilmu pengetahuan ia sangat gemar belajar memanah sehingga dikatakan dalam sepuluh kali bidikan tidak ada satupun yang meleset. Dalam hal ini As-Syafi’I berkata : “Himmahku ada dua, yaitu memanah dan ilmu. Aku bisa memanah sepuluh kali tanpa meleset sekalipun”. Namun ada orang yang menimpalinya : “Demi Allah, kamu dalam hal ilmu lebih menonjol dari pada memanah”.

Dan memang dalam kenyataannya orang lebih banyak tahu As-Syafi’I sebagai mujtahid mutlak dari pada jago memanah. Tentang intensitasnya dalam ilmu Imam Syafi’i pada mulanya bertolak dari syair, sastra dan sejarah Arab, kemudian Allah mentakdirkan beralih pada fikih dan ilmu pengetahuan yang kelak ini menjadi simbol dirinya yang agung.

Riwayat-riwayat yang ada mengatakan, bahwa As-Syafi’I –dalam perjalanannya menuntut ilmu nahwu dan sastra- bertemu dengan Musallam bin Khalid al-Zanji mufti Mekah. Dia bertanya pada Imam Syafi’i: “Dari mana kamu?”. “Dari Mekah”,”Di mana tempat tinggalmu?”, lanjut mufti “Di Khaef”. “Dari kabilah mana kamu?”. Imam Syafi’i menjawab: “Dari Abdi Manaf”. Karena tahu kedetailan jawaban as-Syafi’I Musallam berkata : “Bagus, bagus. Allah telah memuliakan kamu di dunia dan akhirat, Seandainya kamu menjadikan pemahamanmu yang bagus ini dalam fikih maka itu lebih baik”.

Imam Syafi’i menonjol dalam fikih di saat usianya masih muda. Musallam memberinya izin untuk berfatwa. Tapi himmah Syafi’i tidak sampai di situ, ia mendengar kabar tentang Imam Madinah Malik r.a yang sangat terkenal di penjuru wilayah dan mempunyai posisi tinggi dalam fikih dan hadis. Keinginan Syafi’i untuk hijrah ke Madinah menuntut ilmu sudah bulat. Ia menyiapkan segala sesuatunya. Ia meminjam kitab al-Muwattho’ karya Imam Malik dari seseorang di Mekah. Ia membacanya, menghafalnya, kemudian memperoleh surat rekomendasi dari penguasa Mekah yang ditujukan kepada penguasa Madinah sebagai perantara pada Imam Malik supaya beliau mau menerima Syafi’i sebagai murid.

Imam Syafi’i pergi ke Madinah al-Munawwarah, kemudian bergegas menemui Imam Malik dengan membawa surat rekomendasi itu. Ketika Imam Malik melihatnya dan membaca surat rekomendasi itu, beliau marah dan berkata: “Subhanallah, ilmu Rasulullah membutuhkan rekomendasi?”. Syafi’i beralasan: “Saya membawa itu karena semangat saya untuk belajar darimu”. Lalu Imam Malik menanyakan namanya, as-Syafi’I menjawab “Muhammad”, dan Imam Malik berkata, “Muhammad…, bertakwalah pada Allah dan jauhilah maksiat maka kamu akan memperoleh posisi tinggi. Ketahuilah sesungguhnya Allah telah memberikan cahaya dalam hatimu. Janganlah kamu padamkan dengan maksiat.

Maka demikianlah, Syafi’i mulai belajar pada Imam Madinah al-Munawwarah ini. Ia membaca, memahami kitab-kitab dan Imam Malik menambahi dengan keterangan-keterangan. Ini terjadi sampai beliau wafat tahun 179 H dan Syafi’i telah menginjak usia muda.

Di balik semangat Imam Syafi’i yang menggelora untuk terus belajar dari Imam Malik, ia mencari waktu yang baik untuk pergi ke Mekah demi mengunjungi ibunda dan memohon nasihat. Pada diri ibundanya ada kehormatan, dan pemahaman yang bagus.

As-Syafi’i memang gemar bepergian dan ia melihat di sana ada faedah yang besar.

Dalam hal ini ia menguntai syair :
“Kan kujelajahi luasnya bumi
kuperoleh keinginanku atau
di pengasingan aku mati
kalau diri ini binasa,
alangkah baiknya dan
kalau selamat maka kepulangan kan segera tiba”.

Imam Syafi’i melihat dalam bepergian ada beragam faedah sebagaimana terkandung dalam syairnya :
“Berkelanalah,
kan kau dapati
pengganti orang yang kau tinggalkan.
Bekerja keraslah,
karena nikmatnya hidup
ada dalam kerja keras
lihatlah air..
ketika diam dia akan binasa dan
Ketika mengalir
Alangkah indahnya.
Lihatlah Singa,
Ketika berkutat di dalam rimba
Tak kan bisa ia memangsa
Lihatlah anak panah,
kalau tidak meninggalkan busurnya
tidak akan mengena sesiapa
lihatlah Biji emas
ia hanya laksana debu
ketika di tempatnya ia membisu
lihatlah si tongkat kayu
di tanahnya ia hanyalah kayu
namun lihatlah
Ketika biji emas dari kerumunannya
Berlari
Alangkah mahal dan terus dicari
Dan ketika si tongkat kayu menyendiri,
ia pun mahal bak permata
Previous
Next Post »