Imam Syafi’i - Sang Imam dan Sultan Harun Ar-Rasyid

Ketika berumur 20 tahun, Imam Syafi’i pergi belajar ke tempat Imam Malik di Madinah, setelah itu beliau ke Irak, Parsi dan akhirnya kembali ke Madinah. Dalam usia 29 tahun, beliau pergi ke Yaman untuk menuntut ilmu pengetahuan.

Tentang ketaatan beliau dalam beribadah kepada Allah, diceritakan bahwa setiap malam beliau membagi malam itu kepada tiga bahagian. Sepertiga malam beliau gunakan kewajiban sebagai manusia yang mempunyai keluarga, sepertiga malam untuk shalat dan dzikir dan sepertiga lagi untuk tidur.

Ketika Imam Syafi'i di Yaman, beliau diangkat menjadi setiausaha dan penulis istimewa Gabenor di Yaman, sekaligus menjadi guru besar di sana. Karena beliau termasuk orang pendatang, secara tiba-tiba memangku jabatan yang tinggi, maka banyak orang yang memfitnah beliau.

Ahli sejarah telah menceritakan bahwa waktu sultan Harun Ar-Rasyid sedang marah terhadap kaum Syiah, sebab golongan tersebut berusaha untuk meruntuhkan kekuasaan Abbasiyah, mereka berhasrat mendirikan sebuah kerajaan sendiri. Karena itu di manapun kaum Syiah berada, mereka diburu dan dibunuh.

Suatu kali datang surat baginda sultan dari Baghdad. Dalam surat yang ditujukan kepada wali negeri itu, diberitahukan supaya semua kaum Syiah ditangkap. Untuk pertama kali yang paling penting adalah para pemimpinnya, jika pekerjaan penangkapan telah selesai semua mereka akan dikirimkan ke Baghdad. Semuanya harus dibelenggu dan dirantai. Imam Syafi'i juga ditangkap, sebab di dalam surat tersebut bahwa Imam Syafi'i termasuk dicurigai mereka.

Peristiwa itu terjadi ketika bulan Ramadhan, Imam Syafi'i dibawa ke Baghdad dengan dirantai kedua belah tangannya. Dalam keadaan dibelenggu itu para tahanan disuruh berjalan kaki mulai dari Arab Selatan (Yaman) sampai ke Arab Utara (Baghdad), yang menempuh perjalanan selama dua bulan. Sampai di Baghdad belenggu belum dibuka, yang menyebabkan darah-darah hitam melekat pada rantai-rantai yang mengikat tangan mereka.

Pada suatu malam pengadilanpun dimulai. Para tahanan satu persatu masuk ke dalam bilik pemeriksaan. Setelah mereka ditanya dengan beberapa kalimat, mereka dibunuh dengan memenggal leher tahanan tersebut. Supaya darah yang keluar dari leher yang dipotong itu tidak berserak, ia dialas dengan kulit binatang yang diberi nama dengan natha’.

Imam Syafi'i dalam keadaan tenang menunggu giliran, dengan memohon keadilan kepada Allah S.w.t. Kemudian beliau dipanggil ke hadapan sultan. Imam Syafi’i menyerahkan segalanya hanya kepada Allah S.w.t. Dengan keadaan merangkak karena kedua belah kaki beliau diikat dengan rantai, Imam Syafi’i menghadap sultan. Semua para pembesar memperhatikan beliau.

Assalamualaika, ya Amirul Mukminin wabarakatuh”. Demikian ucapan salam beliau kepada sultan, dengan tidak disempurnakan yaitu “Warahmatullah”.

Wa alaikassalam warahmatullah wabarakatuh.”, jawab sultan. Kemudian sultan bertanya: “Mengapa engkau mengucap salam dengan ucapan yang tidak diperintahkan oleh sunnah, dan mengapa engkau berani berkata-kata dalam majelis ini sebelum mendapat izin dari saya?

Imam Syafi'i menjawab: “Tidak saya ucapkan kata “Warahmatullah” karena rahmat Allah itu terletak dalam hati sultan sendiri”. Mendengar kata-kata itu hati sultan jadi lembut. Kemudian Imam Syafi'i membaca surah An-Nur ayat 55 yang bermaksud:

“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang shaleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa, dan sesungguhnya Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa.”.

Setelah membaca ayat di atas kemudian Imam Syafi'i berkata: “Demikianlah Allah telah menepati janji-Nya, kerana sekarang sultan telah menjadi khalifah, jawaban salam sultan tadi membuat hati saya menjadi aman.”.

Hati sultan menjadi bertambah lembut. Sultan Harun ar Rasyid bertanya kembali: “Kenapa engkau (dituduh) menyebarkan faham Syiah, dan apa alasanmu untuk menolak tuduhan atas dirimu?”.

“Saya tidak dapat menjawab pertanyaan sultan dengan baik bila saya masih dirantai begini, jika belenggu ini dibuka Insya Allah saya akan menjawab dengan sempurna. Lalu sultan memerintahkan kepada pengawal untuk membukakan belenggu yang mengikat lmam Syafi'i itu.

Setelah rantai yang membelenggu kedua kaki dan tangannya itu dibuka, maka Imam Syafi'i duduk dengan baik kemudian membaca surah Hujarat ayat 6:

“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasiq yang membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.”.

“Ya Amirul Mukminin, sesungguhnya berita yang sampai kepada sultan itu adalah dusta belaka. Sesungguhnya saya ini menjaga kehormatan Islam. Dan sultanlah yang berhak memegang adab kitab Allah karena sultan adalah putera bapak saudara Rasulullah S.a.w yaitu Abbas. Kita sama-sama menghormati keluarga Rasulullah. Maka kalau saya dituduh Syiah karena saya sayang dan cinta kepada Rasulullah dan keluarganya, maka demi Allah, biarlah umat Islam sedunia ini menyaksikan bahwa saya adalah Syiah. Dan tuan-tuan sendiri tentunya sayang dan cinta kepada keluarga Rasulullah”. Demikian jawab Imam Syafi'i.

Sultan Harun ar Rasyid pun menekurkan kepalanya kemudian ia berkata kepada Imam Syafi'i: “Mulai hari ini bergembiralah engkau agar lenyaplah perselisihan antara kami dengan kamu, karena kami harus memelihara dan menghormati pengetahuanmu wahai Imam Syafi'i.”.

Demikianlah kehidupan Imam Syafie sebagai ulama besar, yang tidak lepas dari berbagai cobaan serta siksaan dari pihak yang tak mengerti akan hakikat kebenaran yang sesungguhnya. Hanya ketabahan dan keimanan serta pengetahuanlah yang dapat menghadapi setiap cobaan itu sebagai suatu ujian dari Allah S.w.t yang harus kita hadapi.
Previous
Next Post »