Menguak Tabir Mahabbah Fillah

"Hendaklah seorang muslim selalu mengevaluasi motif cinta yang telah ia jalani selama ini. Semoga kita menjadi pecinta karena Allah dan Rasul-Nya"


Melalui artikel ini penulis mengajak pembaca dan kaum muslimin secara umum, untuk bersama-sama lebih mengenal Mahabbah Fillah (Cinta karena Allah S.w.t) dan menghidupkannya di tengah-tengah masyarakat muslim.

Sayyidina Rasulullah Nabi Muhammad S.a.w bersabda: "Tidaklah dua orang saling mencintai karena Allah, melainkan orang yang paling dicintai Allah di antara keduanya ialah orang yang paling besar cintanya kepada saudaranya". (HR. Ibnu Hibban dan Al-Hakim).

Cinta adalah salah satu sifat yang difitrahkan oleh Allah S.w.t dalam diri manusia. Sejarah cinta manusia berawal sejalan dengan berawalnya sejarah manusia itu sendiri, yaitu ketika Nabi Adam A.s dan Hawa diciptakan.

Dari awal masa kehidupan manusia memang sudah muncul berbagai macam motif cinta yang berlaku dalam kehidupan manusia sebagaimana telah tergambar dalam kisah Habil dan Qobil yang memiliki dua motif cinta yang sangat kontras. Habil dengan motif mahabbah fillah, dan Qobil yang lebih mengedepankan motif cinta duniawi.

Agama Islam yang memperhatikan kehidupan manusia dan makhluk hidup dari segala dimensinya tentunya juga sangat memperhatikan problematika cinta yang menjadi tabiat manusia. Islam juga memiliki koridor dan aturan dalam mencintai sesuatu. Dan secara global yang menjadi tuntutan itu adalah Mencintai Karena Allah atau yang sering kita kenal dengan sebutan Mahabbah Fillah.


Hampir semua jenis dan motif cinta
hanya menjanjikan benefit materialis duniawi,
tapi tidak dengan Mahabbah Fillah


Mahabbah fillah selain memberikan keberuntungan di dunia, juga menjanjikan keberuntungan di akhirat, sebagaimana telah diterangkan oleh Rasulullah S.a.w dalam hadits shahih yang diriwayatkan oleh imam-imam besar seperti Imam Malik, Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Tirmidzi, Imam Ibnu Hibban, Imam Baihaqi dan yang lainnya.

Faktor inilah yang menjadikan agama Islam sangat meganjurkan para pemeluknya untuk menggapai gelar pecinta karena Allah (fillah). Tapi yang menjadi problematika adalah perkembangan zaman yang membawa perubahan berbagai aspek kehidupan masyarakat muslim membuat mahabbah fillah hampir tak memiliki ‘porsi’ dalam kehidupan seorang muslim, karena yang paling ditonjolkan oleh musuh-musuh Islam adalah materialisme, sehingga muncullah berbagai macam aliran pemikiran yang mengemban banyak misi, yang salah satunya menghapus kata ’mahabbah fillah’ dari kamus muslimin.

Mahabbah Fillah dalam Pandangan Syari’at dan Indikasinya

Dari Sayyidina Anas R.a berkata, bahwa Nabi S.a.w bersabda; "Tiga perkara, barangsiapa yang berada di dalamnya maka ia akan mendapatkan manisnya iman, bahwa Allah dan Rasul-Nya lebih dicintai daripada selainnya, bahwa ia mencintai seseorang dan tidak mencintai kecuali hanya karena Allah, dan ia benci kembali kepada kekafiran seperti kebencian dia bila dilemparkan ke dalam api.". (Muttafaqun alaih).

Mahabbah fillah (mencintai karena Allah S.w.t), sebagaimana telah disinggung di atas, memiliki banyak keistimewaan dan kelebihan dalam perspektif Islam. Dalam hal ini Rasulullah S.a.w telah menuntun kita bahwa mahabbah fillah adalah salah satu hal yang bisa memberikan kenikmatan iman kepada seorang muslim. Di hadits lain Beliau S.a.w menyatakan bahwa salah satu keutamaan mahabbah fillah adalah janji Allah S.w.t untuk mendapatkan naungan di padang mahsyar.

Imam Muslim meriwayatkan sebuah hadits yang juga menyinggung keutamaan mahabbah fillah ini. Dalam hadits itu disebutkan bahwa mencintai sesuatu atau seseorang karena Allah S.w.t adalah salah satu jalan di mana Allah akan memberikan cinta-Nya kepada sang pecinta fillah. Masih dalam hadits Nabi S.a.w, Beliau bersabda bahwa seseorang itu akan bersama dengan orang yang ia cintai. Secara otomatis pecinta fillah juga akan mendapatkan hasil ini nanti di akhirat setelah di dunia ini.

Hadis riwayat Anas bin Malik R.a: Bahwa seorang Arab badui bertanya kepada Rasulullah S.a.w: "Kapankah kiamat itu tiba?", Rasulullah S.a.w bersabda: "Apa yang telah kamu persiapkan untuk menghadapinya?", lelaki itu menjawab: "Cinta Allah dan Rasul-Nya". Rasulullah S.a.w bersabda: "Kamu akan bersama orang yang kamu cintai". (Shahih Muslim No.4775).

Oleh karena keutamaan-keutamaan inilah selayaknya bagi muslimin untuk berlomba-lomba mencapai cinta Sang Pencipta melalui jalan Mahabbah Fillah.

Imam Malik bin Anas (salah satu pendiri madzhab fiqh) tidak hanya menganggap mahabbah fillah ini sebagai kelayakan (atau sebagai anjuran), namun beliau menganggap mahabbah fillah ini adalah sebuah kewajiban dalam agama Islam.

Rasulullah S.a.w sebagai panutan bagi umat Islam telah mengajarkan kita bagaimana mencintai sesuatu atau seseorang fillah (karena Allah S.w.t). Dalam banyak kesempatan Beliau mengindikasikan ‘prosedur-prosedur’ yang harus dilalui oleh seorang muslim dalam cintanya itu.

Dari Abu Hurairah R.a, dari Nabi S.a.w bersabda: "Ada tujuh golongan manusia yang akan mendapat naungan Allah pada hari yang tidak ada naungan kecuali naungan-Nya..", dan salah satu yang disebutkan dalam lanjutan hadist tersebut ialah: "Dua orang laki-laki yang saling mencintai karena Allah, mereka tidak bertemu kecuali karena Allah dan berpisah karena Allah S.w.t".

Seorang yang mencintai orang lain karena Allah akan menghilangkan semua ukuran materialisme dan duniawi. Satu-satunya yang menjadi barometer adalah Karena Allah (lillah). Dalam hal ini Rasulullah S.a.w bersabda ketika menjelaskan tujuh golongan orang yang mendapatkan naungan dari Allah S.w.t di padang mahsyar kelak: “Dua orang lelaki yang saling mencintai karena Allah, mereka berkumpul dan berpisah karena Allah.”. Kalimat ‘bertemu dan berpisah karena Allah’ mempunyai makna yang sangat luas bagi para pecinta fillah. Kedua pekerjaan tersebut dapat dianalogikan kepada pekerjaan-pekerjaan dan tindakan lainnya, sehingga mahabbah fillaah menjadikan semua tingkah laku dan perbuatan sang pecinta hanya muncul karena mencari ridha Allah S.w.t.

Oleh karena hal inilah cinta yang bermotifkan fillah (karena Allah) tidak akan pernah menghalangi sang pecinta untuk menegakkan dan memilih syari’at Islam ketika orang yang ia cintai melenceng dari koridor Islam. Bukan hanya sekedar memilih syari’at Islam, tapi mahabbah fillaah ini juga tidak menghalangi sang pecinta untuk menyalahkan orang yang ia cintai ketika posisinya bertolak belakang dengan ajaran Islam.

Rasulullah S.a.w adalah suri tauladan yang bisa dijadikan contoh kongkrit mengenai hal ini. Usamah bin Zaid, seorang sahabat yang dikenal sebagai orang yang dicintai Rasulullah (Hibbu Rasulillah), pernah membela seorang wanita dari sukunya yang telah melakukan pencurian. Mengetahui hal ini Rasulullah S.a.w marah, dan cintanya terhadap Usamah tidak menghalangi Beliau S.a.w untuk menyalahkan bahkan memarahinya, karena itulah hakikat mahabbah fillaah. Dan pada kesempatan inilah Beliau mengucapkan kata-kata Beliau yang sangat terkenal: “Seandainya fulanah binti Muhammad mencuri, maka saya yang akan memotong tangannya.”.

Dalam hadits di atas sebenarnya bisa kita ambil dua contoh dari Rasulullah; cinta Beliau kepada puteri Beliau, Sayyidatuna Fathimah R.a dan cinta Beliau kepada Usamah bin Zaid R.a. Tapi kecintaan Beliau S.a.w kepada kedua-duanya tak pernah menjadi penghalang untuk tetap menegakkan hukum-hukum yang telah Allah S.w.t gariskan bagi manusia.


Saling Menasehati Merupakan Tanda-tanda Saling Mencintai Karena Allah

Salah satu indikasi lain yang telah Rasulullah tunjukkan adalah saling menasehati dalam kebaikan. Pada suatu kesempatan Rasulullah S.a.w mengungkapkan kecintaan Beliau kepada seorang sahabat yang dikenal sebagai sahabat yang qori’ yaitu Sayyidina Mu’adz bin Jabal R.a, Beliau S.a.w bersabda, “Wahai Mu’adz, sesungguhnya aku mencintaimu.”. Sayyidina Mu’adz juga mengutarakan kecintaannya kepada Rasulullah S.a.w. Rasulullah pun menunjukkan salah satu tuntutan bagi pecinta fillah dan Beliau bersabda, “Aku berwasiat kepadamu wahai Mu’adz, jangan tinggalkan setiap selesai shalat kamu mengatakan: ‘Allahumma a’inni ‘ala dzikrika wa syukrika wa husni ‘ibadatika’.”. Indikasi ini sejalan dengan firman Allah dalam Al-Qur'an surat Al-‘Ashr: “… dan saling menasehati dengan kebaikan dan saling menasehati dengan kesabaran.”.

Imam Abu Thalib al-Makki menyebutkan beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh orang-orang yang mengaku cinta karena Allah, antara lain

1. Cinta tersebut bukanlah karena motif kemaksiatan.
2. Cinta yang mendasari mahabbah fillaah itu juga bukanlah perkara duniawi.
3. Cinta yang tumbuh juga bukan karena sejalannya keinginannya dengan keinginan orang yang ia cintai.
4. Cinta tersebut bukan karena kemaslahatan yang diinginkan dengan cinta itu melainkan kemaslahatan keagamaan.
5. Cinta itu bukan karena perbuatan baik ataupun jasa yang telah ia terima dari orang yang ia cintai.

Imam Abdullah al-Haddad menjelaskan bahwa diantara tanda bahwa seseorang itu mencintai karena Allah S.w.t adalah:

1. Dia mencintai orang yang ia cintai karena orang itu mencintai Allah, atau berada dalam ketaatan kepada Allah S.w.t.
2. Dia mencintai orang itu juga karena dia bisa membantunya dalam melaksanakaan ibadah dan ketaatan kepada Allah S.w.t.

Demikianlah, orang-orang yang dalam mahabbah fillah akan saling mengingatkan kepada Allah dan Rasul-Nya, saling membantu di dalam keimanan dan keta'atan, serta saling menasehati di dalam kesabaran.

Menggapai Gelar Pecinta Fillah

Melihat posisi dan keutamaan mahabbah fillah dalam agama Islam sebagaimana telah diuraikan di atas, merupakan suatu kepatutan dan bahkan keharusan bagi seorang muslim untuk mengevaluasi motif cinta yang telah ia jalani selama ini.

Perlu diadakan koreksi dan bahkan re-konstruksi terhadap motif cinta yang melenceng dari mahabbah fillah.

Salah satu jalan menuju sistem cinta yang sempurna ini adalah membangun kesadaran diri bahwa hanya mahabbah fillah lah yang akan bertahan hingga hari akhir dan hingga di syurga nanti sebagaimana yang telah diisyaratkan oleh Rasulullah S.a.w. Kesadaran inilah yang sebenarnya menjadi dasar utama dalam misi rekonstruksi sistem cinta seorang muslim menuju mahabbah fillah.

Hal berikutnya yang juga harus terealisasikan adalah menanggalkan semua atribut materialisme dan duniawi dari jalan cinta. Semua aspek dan dimensi cinta yang dijalani oleh muslim tersebut harus bermuara pada Allah dan syari’at-Nya, dan itulah jalan cinta yang telah diajarkan oleh Rasulullah kepada kita, di mana yang menjadi ukuran dalam cinta beliau adalah syari’at Allah sehingga tak akan ada yang menjadi penghalang dalam implementasi hukum Allah S.w.t yang telah ditentukan.

Langkah kongkrit lain yang juga harus ditempuh oleh pecinta fillah adalah berusaha merealisasikan semua tuntutan yang diarahkan kepadanya sebagai pecinta fillah. Aplikasi sub-sub mahabbah fillah yang menjadi keniscayaan dalam perjalanan cinta harus tercapai dengan baik.

Hal penting yang sering diabaikan oleh para pecinta fillah adalah memberitahukan orang yang ia cintai bahwa dia memang benar-benar mencintainya fillah. Dalam hal ini seorang sahabat pernah mengabarkan Rasulullah S.a.w tentang kecintaannya kepada seorang sahabatnya. Rasulullah pun bertanya apakah ia telah memberitahunya. Si pecinta fillah tersebut menjawab tidak dan Rasulullah pun memerintahkannya untuk mengabarkan hal itu kepada orang yang ia cintai.

Jika seorang muslim sudah mencapai level mahabbah yang benar-benar fillaah, maka cintanya itu akan membawa nilai positif bagi dirinya, masyarakatnya dan bahkan bagi kaum muslimin. Dan apabila masyarakat muslim sudah membudayakan mahabbah fillaah sehingga motif cinta ini mengakar dalam komunitas muslim, maka janji Allah untuk mencintai para pecinta fillaah akan terpenuhi dan secara otomatis akan terwujudlah masyarakat yang harmonis dan diridhai oleh Allah dan Rasul-Nya.


Rasulullah S.a.w bersabda:
"Kamu tidak akan masuk surga sehingga kamu beriman,
dan kamu semua tidak akan beriman sehingga kalian saling mencintai,
tidakkah (ingin) aku tunjukkan kepada kalian sesuatu,
yang jika kalian laksanakan niscaya kalian akan saling mencintai?
Biasakanlah salam di antara kalian"
(Hadist Riwayat Muslim)


Wallahu a'lam bissawab.

~ Ustadz Faqih Ahmad ~
Mahasiswa al-Ahgaff, Yaman

Baca juga: Hidup Bermasyarakat dalam Tuntunan Rasulullah S.A.W
Previous
Next Post »