Nuzulul Qur’an dan Sebuah Perenungan (2)

Sebuah pembahasan lanjutan dari halaman sebelumnya yaitu Nuzulul Qur’an dan Sebuah Perenungan (Bagian 1).

Merenungi Isinya

Al Qur’an adalah petunjuk, kitab yang menuntun qalbu menuju Allah S.W.T.

Ibnu Mardawaih meriwayatkan, ketika sahabat Bilal R.A lewat di depan rumah Rasulullah S.A.W pada waktu sahur untuk mengumandangkan adzan subuh di masjid, ia mendengar Rasulullah S.A.W membaca ayat yang berbunyi:

“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang, terdapat tanda-tanda kekuasaan-Nya bagi orang-orang yang berakal. Yaitu orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan ihwal penciptaan langit dan bumi seraya berkata, ‘Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Mahasuci Engkau, maka peliharalah kami dari api neraka’.” (QS Ali Imran:190-191).

Ketika Rasulullah tahu bahwa Bilal ikut mendengarnya, Beliau berkata kepadanya, “Baru saja turun kepadaku beberapa ayat Al Qur’an. Sungguh celakalah orang yang membacanya tapi tidak merenunginya.”.

Al Qur’an memang teman hidup Rasulullah S.A.W, terutama di bulan Ramadhan. Karena itu terdapat banyak riwayat yang menyebutkan, para salaf dulu mengkhususkan bulan Ramadhan untuk merenungi Al Qur’an dan tidak disibukkan dengan ilmu-ilmu lain walaupun memiliki keutamaan yang juga besar.

Menurut sunnah, membaca Al Qur’an haruslah dengan perlahan dan penuh penghayatan. Dalam sebuah hadits disebutkan, “Tidaklah memahami Al Qur’an orang yang membacanya (menamatkannya) kurang dari tiga hari.

Rasulullah S.A.W berkata kepada Ibnu Amru, “Bacalah Al Qur’an dalam tujuh hari (paling cepat menamatkannya) dan jangan kurang dari itu.”.

Maka, menurut sunnah, menamatkan bacaan Al Qur’an harus diatas tiga hari, jangan sampai kurang. Cara yang lebih baik adalah membacanya dengan merenungi dan meresapi setiap maknanya, karena cara yang seperti itulah yang membawa hasil (dampak) dan menambah keimanan.

Tiga Golongan

Dalam hal membaca Al Qur’an, manusia terbagi menjadi tiga golongan:

1). Mereka yang membacanya tanpa merenungi dan meresapi setiap maknanya. Yang menjadi tujuan di sini hanyalah mengkhatamkan sesering mungkin, sehingga sebagian mereka ada yang mengkhatamkan dalam waktu satu atau dua hari saja. Mereka membacanya secepat mungkin.

2). Mereka yang sangat jarang membacanya, bahkan tidak pernah membacanya sama sekali.

3). Mereka yang berada di antara dua golongan di atas. Mereka membacanya, tadabbur, dan tidak pula berkekurangan.

Dalam kitab Shahih Al-Bukhari dan Muslim, Rasulullah S.A.W bersabda, “Apabila memasuki bulan Ramadhan, dibukalah pintu surga dan ditutup pintu neraka serta dibelenggu setan-setan.”.

Allah S.W.T lebih banyak menerima taubat hamba-hamba-Nya pada bulan Ramadhan, karena Allah menjadikan bulan itu bulan kebaikan dan pengampunan. Maka beruntunglah orang-orang yang bertemu dengan bulan Ramadhan lalu berbuat baik di dalamnya. Beruntunglah orang yang dapat mencapai keridhaan Sang Maha Rahman di bulan ini, dan Maha Suci Allah, yang begitu banyak memberi ganjaran pada bulan ini, sampai nanti di akhir bulan Ramadhan, Dia akan membebaskan siapa yang Dia kehendaki dari api neraka tanpa batas.


Iman Terkikis

Rasulullah S.A.W pada bulan Ramadhan melaksanakan shalat Tahajjud seperti pada saat di luar Ramadhan, tapi Beliau lebih giat lagi mengerjakannya, karena bulan Ramadhan adalah bulan bulan shiyam (puasa) dan qiyam (shalat malam).

Dalam hadits Abu Hurairah, Rasulullah S.A.W bersabda, “Barang siapa berpuasa di bulan Ramadhan dengan penuh keimanan dan mengharapkan ganjaran, diampuni atas dosa-dosanya yang telah lalu.”. Dengan penuh keimanan, artinya janganlah kita berpuasa hanya sekedar 'ikut-ikutan' pada kebiasaan pada bulan Ramadhan yakni berpuasa dan bukan karena iman, sedangkan mengharapkan ganjaran maksudnya bukan berpuasa karena riya’ dan pamer.

Sepanjang malam bulan Ramadhan, Rasulullah S.A.W bermunajat kepada Allah S.W.T. Betapa besarnya pahala bangun shalat malam, terlebih lagi pada bulan Ramadhan, yang agung. Begitu pula sujud, berwudhu’, berdoa, dan menangis, terlebih lagi pada bulan Ramadhan.

Ketika mendirikan shalat malam itu ditinggalkan oleh umat Islam, iman yang ada di dalam dada mereka menjadi terkikis dan keyakinan mereka menjadi lemah. Generasi berganti, tapi tidak seperti generasi yang hidup bersama Rasulullah S.A.W dulu. Generasi yang ada sekarang hanya generasi yang lemah, terhina, dan penuh kemalasan, kecuali sebagian kecil mereka yang masih dirahmati Allah S.W.T. Sungguh sedikit di antara mereka yang bersyukur.

Dan pada sebagian malam hari shalat Tahajjud lah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu. Mudah-mudahan Tuhanmu mengangkat kamu ke tempat yang terpuji.”. (QS Al-Isra: 79).

Engkau akan dibangkitkan pada hari Kiamat nanti seperti saat engkau bangun malam. Kedudukanmu ditentukan pula dengan apa yang engkau laksanakan di waktu malam hari. Pada hari itu tidak ada yang bisa memberi syafa’at dan pertolongan kecuali seizin Allah. Apa yang telah engkau perbuat di dunia, seperti itulah keadaanmu nanti dibangkitkan.

Bagi seorang muslim yang menginginkan kebaikan atas dirinya, ia mesti memperbanyak membaca Al Qur'an, shalat malam. Apalagi di bulan Ramadhan, bulan untuk memperbaharui jiwa, bertabur kesempatan yang tidak akan tergantikan kapan pun, bulan taubat dan pembebasan dari api neraka.

Sungguh merugi dan bodoh sekali orang yang bertemu bulan Ramadhan tapi tidak bertaubat dari masa lalunya sehingga tidak mendapat pembebasan dari neraka.

Rasulullah S.A.W jika shalat malam tidak pernah lebih dari 11 raka'at, seperti yang diceritakan oleh Sayyidah Aisyah R.A. Tapi satu raka'at yang Beliau S.a.w lakukan sungguh sangat lama. Dalam satu raka'at Beliau bermunajad kepada Allah S.W.T, merenungi ayat-ayat-Nya, bersujud, ruku’, dalam waktu lama, sehingga setiap raka'atnya menjadi suatu kebaikan, tidak ada yang lebih baik dari itu.

Membaca Al Qur'an dengan tajwid serta shalat dengan tenang itu jauh lebih baik daripada memperbanyak raka'at tanpa itu semua. Dalam beramal, kualitas lebih penting daripada kuantitas. Begitu juga dalam membaca Al Qur'an. Jangan membaca dengan tergesa-gesa dan jangan pula disenandungkan yang sampai merusak kata dan maknanya.

Ada orang yang hanya menamatkan Al Qur'an sekali saja tapi karena bacaan, tajwid, dan penghayatannya sangat baik, Kalamullah itu dapat mengobati penyakit-penyakit lahir dan bathinnya. Al Qur'an memang memiliki pengaruh yang sangat besar dalam membacanya.

Tapi ada juga orang yang menammatkan Al Qur'an berkali-kali tapi itu tidak menjadi konsumsi qalbunya dan tidak pula menjadi penguat bagi keyakinannya, karena ia membacanya tidak dengan penghayatan.

Rumah-rumah para shalihin pada bulan penuh rahmah dan berkah ini bergema seperti gema lebah yang memancarkan cahaya dan dipenuhi kegembiraan. Mereka membaca Al Qur'an dengan tartil, memperhatikan keajaiban-keajaiban isinya, takut dan menangis terhadap peringatan-peringatan yang terdapat di dalamnya, berbahagia dengan berita gembiranya, saling mengingatkan dengan perintah-perintah-Nya, dan saling mencegah dengan larangan-larangan-Nya. Al Qur'an bila dibaca dengan baik dapat menggugah perasaan dan melapangkan qalbu orang yang mendengarkannya.


Tinggal di Tenggorokan

Namun ketika generasi terakhir ini tidak lagi membaca, menghayati, dan mengamalkan Al Qur'an, muncullah berbagai kerusakan pada diri mereka. Pendidikan jadi menyimpang, fithrah kemanusiaan menjadi lenyap, dan pemahaman menjadi tidak sehat lagi.

Pada saat Al Qur'an digantikan dengan yang lain, kerusakan pun semakin menjadi-jadi, bencana mewabah, paham menjadi berbenturan, dan segala tekad menemui kegagalan.

Al Qur'an, yang agung, menunjukkan manusia kepada jalan yang lurus. Al Qur'an, yang agung, adalah cahaya, obat jiwa, ilmu pengetahuan, budaya, dan bukti nyata. Al-Quran, yang agung, adalah hidup dan ruh kehidupan, sumber kebahagiaan, serta induk kebajikan. Al-Quran, yang agung, adalah ajaran ketuhanan, undang-undang Ilahi, dan hikmah yang abadi.

Rasulullah S.A.W bersabda, “Hampir datang suatu masa kepada umat manusia bahwa Islam tidaklah ketinggalan melainkan tinggal namanya, dan Al-Qur'an tidaklah ketinggalan melainkan tinggal tulisan, masjid-masjid mereka ramai tetapi sunyi kosong dari petunjuk yang benar, para ulama mereka lebih buruk dari segala apa yang di bawah kolong langit karena dari sisi mereka itu keluarnya fitnah dan kepada mereka fitnah akan kembali.”. (HR Imam Al-Baihaqi dari Ali R.A).

Hadits ini jelas mengandung keterangan bahwa Islam tinggal namanya dan Al Qur'an tinggal tulisannya. Apa yang diingatkan oleh Rasulllah S.A.W itu kini tampak mulai menjadi kenyataan. Dewasa ini Al Qur'an tinggal tulisannya, semua tuntunannya tidak lagi diperhatikan dan tidak pula dipraktekkan. Jangankan dipraktekkan, mempelajari dan memikirkan saja sudah banyak yang tidak mau lagi.

Selanjutnya Rasulullah S.A.W bersabda, “Akan datang suatu masa umatku pada masa itu banyak para pembaca Al Qur'an, sedikit orang yang pandai agama, dicabutlah ilmu pengetahuan, dan banyak huru-hara, kemudian datanglah sesudah itu suatu masa orang-orang dari golongan umatku membaca Al Qur'an dengan tidak melalui tulang tenggorokan mereka.”. (HR Imam At-Thabarani).

Pada hadits lain Beliau menyatakan, “Akan ada kemudian orang-orang dari umatku yang membaca Al-Quran yang bacaannya tidak melalui tenggorokannya, mereka terlepas dari agama Islam seperti terlepas anak panah dari busurnya, kemudian tidaklah mereka dapat kembali di dalamnya, mereka itu sejelek-jelek makhluk dan sejahat-jahat manusia.”. (HR Imam Muslim).

Kemudian ada hadits lainnya, “Akan ada nantinya para ahli ibadah yang bodoh dan para ahli membaca Al Qur'an yang durhaka.”. (HR Imam Abu Nu’aim).

Keadaan umat Islam seperti yang diingatkan oleh Rasulullah S.A.W itu sudah mulai tampak pada zaman sekarang, dimana terdapatnya orang yang begitu fasihnya dalam membaca Al Qur'an namun tidak memahami esensi dan maksud yang terkandung di dalamnya sehingga tidak berbuah pada hikmah pelajaran untuk diamalkan. Mereka tidak lagi menjadikan Al Qur'an sebagai tuntunan hidup, tapi sekadar didendangkan sebatas tenggorokan. Al Qur'an tidak lagi ditaati dan diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Al Qur'an hanya sebagai buku 'sakti' yang dipajang di dalam lemari atau ditaruh di tempat yang tinggi sampai berdebu.

Hendaknya kita hidup bersama Al Qur'an, mengenal kebesaran Al Qur'an, sehingga kehidupan kita bahagia dengannya di dunia dan akhirat.

Wallahu A'lam. Wassalam
Previous
Next Post »