Ketaatan Adalah Karunia Allah S.W.T


Artinya: Janganlah ketaatan kamu kepada Allah S.w.t menggembirakan kamu karena kamu melihat telah melaksanakannya (taat), tetapi gembiralah karena melihat ketaatan itu datang dari Allah S.w.t kepada kamu. Ucapkanlah: “Dengan sebab kurnia Allah S.w.t kepada hamba-Nya, maka dengan demikian itulah mereka patut bergembira, itu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan”.


Artinya: Dilarang kepada orang yang masih berjalan menuju Allah S.w.t dan orang yang telah sampai kepada-Nya dari melihat kepada amal perbuatan mereka dan ahwal yang mereka berada di dalamnya. Orang yang masih dalam perjalanan belum mencapai keteguhan benar bersama-sama Allah S.w.t dalam amal dan ahwal, adapun orang yang telah sampai, telah dilenyapkan Allah S.w.t kesadarannya ke dalam penyaksian (melihat-Nya), tidak lagi melihat kepada amal dan ahwal.

Hikmah 67 menguraikan, bahwa hati lah yang menghadap atau membelakang berdasarkan kedudukan kerohanian seseorang. Hati yang baru keluar dari selimut kegelapan dan masuk kepadanya cahaya Nur Ilahi akan melahirkan sikap gemar melakukan ketaatan kepada Allah S.w.t. Kalau dahulu dia memaksa dirinya untuk beribadah, kini dia berasa mudah untuk beribadah dan tidak terasa berat walaupun banyak ibadah yang dilakukannya. Perubahan yang berlaku ini disadarinya dan dia sangat bergembira dengan perubahan tersebut. 

Kadang-kadang ia membandingkan amal kebaikannya dengan amal kebaikan orang lain yang masih hanyut dalam kelalaian. Bertambah kentara kepadanya akan kekuatan dirinya melakukan ibadah, bertambah pula kegembiraannya. Lahirnya perasaan demikian adalah karena kuat azamnya untuk berjuang membuang sifat-sifat tercela dan menghidupkan sifat-sifat terpuji. Apabila dia melihat sifat-sifat terpuji sudah menghiasi dirinya timbullah kegembiraannya karena usahanya telah mengeluarkan hasil yang baik. Beginilah kesan yang muncul pada orang yang bersandar kepada usaha dan amalnya. Inilah yang selalu berlaku kepada orang yang masih diperingkat 'permulaan' sebelum hatinya mencapai kematangan.

Orang yang bersandar kepada usaha dan amalnya tidak dapat maju dalam bidang kerohanian. Jika dia mau maju dalam perjalanannya, ia hendaklah mengubah haluan pandangannya. Dia tidak boleh lagi memandang dari amal kepada Allah S.w.t, sebaliknya ia hendaklah memandang dari Allah S.w.t kepada amal. Ia tidak seharusnya melihat amal sebagai kendaraan yang membawanya menuju Allah S.w.t, sebaliknya dia seharusnya melihat amal itu adalah tarikan dari Allah S.w.t agar ia dapat menuju kepada-Nya. Dia tidak seharusnya merasa gembira melihat amalnya yang membawanya mendekati dengan Allah S.w.t, karena penglihatan begini mengandungi tipu daya. Ia hendaklah melihat Allah S.w.t saja yang bertindak membawanya dekat dengan-Nya. Amal yang lahir daripadanya adalah karuniaan Allah S.w.t sebagai tanda bahwa ia dipersiapkan untuk bertemu dengan Tuhannya, inilah seharusnya membuatnya bergembira. Allah S.w.t memberi peringatan tentang perkara ini dengan firman-Nya:


Artinya: Katakanlah (wahai Muhammad): “Dengan kurnia Allah dan dengan rahmat-Nya, maka dengan demikian hendaklah mereka bersukacita. Itulah yang lebih baik daripada apa yang mereka kumpulkan”. (QS Yunus: 58).


Artinya: "Dan jika tidaklah karena limpah kurnia Allah dan belas kasihan-Nya kepada kamu, tentulah kamu (terpengaruh) menurut syaitan kecuali sedikit saja (yaitu orang-orang yang teguh imannya dan luas ilmunya di antara kamu)". (QS an-Nisaa’:83).

Ayat di atas mengajak kita menyadari bahwa diri kita tak mempunyai sedikit daya dan upaya. Tidak bergerak sebesar zarah pun melainkan dengan izin Allah S.w.t, segala-galanya datang dari-Nya. Allah S.w.t saja yang menciptakan segala sesuatu, termasuklah amal kebaikan yang kita lakukan. Kita sendiri tidak mampu melakukan perbuatan baik itu, kebaikan yang muncul dari kita adalah karunia Allah S.w.t kepada kita. Amal kebaikan itu adalah rahmat dari Allah S.w.t, bukan hasil usaha kita, jadi kita sepatutnya bergembira menerima rahmat-Nya, tidak bergembira melihat diri kita berbuat kebaikan.

Satu lagi tipu daya yang halus yang sering mengganggu perjalanan seorang murid adalah keinginan untuk mengetahui posisi (maqam) yang telah dicapainya. Dia suka mengintai-intai dirinya, ia bertanya pada dirinya apakah hatinya sudah suci bersih, apakah sudah mencapai martabat Wali Allah, apakah sudah menjadi Insan Kamil, apakah sudah mencapai maqam bersatu dengan Allah S.w.t, apakah sudah ada kekeramatan pada dirinya, dan lain-lain derajat kerohanian. Perkara yang seperti ini bisa mengganggu perjalanan kerohanian karena ia menjuruskan perhatiannya kepada diri sendiri, dan menambah ketebalan hijab diri dan semakin menutup mata hati dari melihat kepada Allah S.w.t. Selagi ia ‘menghidupkan’ (mengangkat-angkat) dirinya sendiri dalam kesadarannya, selagi itulah dia tidak dapat masuk ke Hadirat Allah S.w.t.


Orang yang mau mencapai Allah S.w.t hendaklah terlebih dahulu mencapai maqam benar bersama-sama Allah S.w.t dalam amal dan ahwalnya. Hatinya sentiasa teguh bersama-sama Allah S.w.t, bukan bersama-sama dirinya sendiri, amalnya, maupun kedudukan kerohaniannya. Maksud dan tujuan hanyalah Allah S.w.t.

Amal dan ahwal (keadaan) bukanlah tujuan tetapi hanya alat untuk menuju kepada tujuan. Orang yang telah sampai kepada maksud (matlamat) memperolehi kedudukan benar bersama Allah S.w.t. Akal, nafsu dan hati berada dalam suasana yang harmoni.

Apabila akal dan nafsu tidak lagi menghijab, maka mata hatinya menjadi terbuka dan ia masuk kepada penyaksian. Hatinya menyaksikan amal kebaikan yang keluar daripadanya adalah karuniaan Allah S.w.t, maka ia lenyap dalam perbuatan, takdir atau perlakuan Allah s.w.t. Dia tidak lagi melihat kepada amal tersebut. Ahwal adalah tajalli Allah S.w.t kepada hamba-Nya. Apabila Allah S.w.t bertajalli, segala sesuatu binasa kecuali Wajah-Nya. Kesadaran sang hamba hilang dalam penyaksian hakiki mata hati. Pandangan yang hakiki tidak memperlihatkan amal dan ahwalnya. Dia hanya menyaksikan Allah S.w.t Yang Maha Esa.

ﻭﺍﻟﻠﻪ ﺍﻋﻠﻢ ﺑﺎﻟﺼﻮﺍﺏ

~ Syekh Ibnu Athaillah As-Sakandari - al-Hikam (67) ~


اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَاَلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلِّمْ

Baca juga: Hidup dan Beribadah dengan Tenang
Previous
Next Post »