Keikhlasan Imam Syafi‘i

“Aku berlin­dung kepada-Mu dari kedudukan orang-orang pendusta dan berpalingnya orang-orang yang lalai. Ya Allah, kepada-Mu tunduk hati orang-orang yang arif dan me­rasa hina karena kebesaran-Mu, orang-orang yang rindu (kepada-Mu). Ya Allah, karuniakanlah kemurahan-Mu kepadaku, naungilah diriku dengan pe­nutup-Mu, tolonglah aku, dan maafkan­lah aku atas kelalaianku berkat kemurah­an-Mu.

Pada kajian kali ini pengarang masih melanjutkan penjelas­annya tentang Imam Syafi‘i yang sangat penting diperhatikan oleh mereka yang menggeluti ilmu, baik para penuntut ilmu maupun para pengajar. Marilah kita si­mak dengan seksama apa yang dikata­kan pengarang.

Pengarang mengatakan:
Dan hal yang menunjukkan rasa takutnya Asy-Syafi‘i kepada Allah SWT dan  perhatiannya kepada urusan akhirat adalah apa yang diriwayatkan mengenai beliau bahwa beliau pernah mendengar Sufyan bin Uyainah meriwayatkan sebuah hadits yang termasuk raqa’iq (hal-hal yang melunakkan hati), lalu Asy-Syafi‘i pingsan, tak sadarkan diri. Kemudian dikatakan kepada Sufyan bin Uyainah bahwa Asy-Syafi‘i telah wafat. Maka Sufyan mengatakan, “Jika ia wafat, berarti telah wafat orang yang paling utama di masanya.”

Salah seorang di antara mereka (sa­habat Asy-Syafi‘i) pernah membacakan firman Allah yang artinya, ”Inilah hari saat mereka tidak dapat berbicara (pada hari itu).” (QS Al-Mursalat: 35). Maka tam­paklah roman muka Asy-Syafi‘i ber­ubah, merinding bulunya, dan tubuhnya ber­getar dengan kerasnya, lalu ia ping­san, tak sadarkan diri. Setelah sadar, ia mengucapkan doa berikut, “Aku berlin­dung kepada-Mu dari kedudukan orang-orang pendusta dan berpalingnya orang-orang yang lalai. Ya Allah, kepada-Mu tunduk hati orang-orang yang arif dan me­rasa hina karena kebesaran-Mu, orang-orang yang rindu (kepada-Mu). Ya Allah, karuniakanlah kemurahan-Mu kepadaku, naungilah diriku dengan pe­nutup-Mu, tolonglah aku, dan maafkan­lah aku atas kelalaianku berkat kemurah­an-Mu.

Penjelasan Pengasuh
Perhatikanlah bagaimana Imam Syafi‘i jatuh pingsan. Hal ini menun­juk­kan sifat zuhud dan puncak perasaan ta­kutnya kepada Allah. Perasaan takut dan zuhud ini tidak diperoleh melainkan dari ma’rifat kepada Allah. Di dalam Al-Qur’an dikatakan yang artinya, “Hanyasanya yang takut kepada Allah dari hamba-hamba-Nya adalah para ulama.” Asy-Syafi‘i tidak mendapatkan ini dari kitab-kitab agama yang ada, melainkan beliau mendapatkannya dari ilmu-ilmu akhirat yang diambil dari Al-Qur’an dan hadits-hadits.

Kemudian pengarang mengatakan:
Adapun mengenai keadaannya se­bagai orang yang mengetahui rahasia-rahasia hati, hal ini ditunjukkan oleh ri­wayat yang menyebutkan bahwa beliau pernah ditanya tentang riya’. Beliau men­jawabnya secara spontan, “Riya’ adalah fitnah (ujian) yang berupa tipu daya yang diikat oleh hawa nafsu ter­hadap pandangan hati ulama, sehingga mereka memandang kepadanya karena pilihan diri mereka yang buruk, maka hal itu menghapuskan amal-amal perbuatan mereka.”

Asy-Syafi‘i juga mengatakan, “Apa­bila engkau merasa takut dirimu dilanda ujub (kagum terhadap diri sendiri), per­hatikanlah keridhaan siapa yang engkau minta, kenikmatan apa yang engkau ingin­kan, siksaan apa yang engkau hin­dari, kesejahteraan apa yang engkau syukuri, dan cobaan apa yang engkau ingat.”

Penjelasan Pengasuh
Perhatikanlah bagaimana Asy-Syafi‘i menyebutkan hakikat riya’ dan pengobatan terhadap ujub, yang kedua­nya (riya’ dan ujub) termasuk penyakit-penyakit hati yang terbesar.

Asy-Syafi‘i juga pernah mengatakan, “Barang siapa yang dirinya tidak terjaga (dari hal-hal tercela), ilmunya tak akan bermanfaat baginya.” Beliau juga mengatakan, “Barang siapa yang taat kepada Allah dengan ilmu, rahasia ilmu itu akan bermanfaat baginya.” Dalam kesempatan lain beliau mengatakan, “Setiap orang memiliki pecinta dan pembenci. Karena demikian, jadilah engkau bersama orang-orang yang taat kepada Allah. “

Setelah itu pengarang mengatakan:
Dan hal yang menunjukkan bahwa ilmu fiqih dan munazharah (diskusi ilmiyah) yang dijalaninya hanyalah semata mengharapkan keridhaan Allah SWT adalah bahwa beliau pernah mengatakan, “Aku menginginkan agar manusia mengambil manfaat dari ilmu ini dan tak ada yang dinisbahkan kepadaku sedikit pun darinya.” Ini merupakan bukti yang pasti bahwa dengan ilmunya beliau tidak meng­inginkan ketenaran di tengah-tengah manusia dan harta benda yang memper­dayakan.

Beliau juga pernah mengatakan, “Ti­dak sekali-kali aku bermunazharah dengan seseorang lalu aku menginginkan dia keliru, dan tidak sekali-kali aku berbi­cara kepada seseorang melainkan aku menginginkan semoga dia mendapat tau­fik, bimbingan, dan pertolongan serta men­dapat pemeliharaan dan perlindung­an dari Allah SWT. Dan tidak sekali-kali aku berbicara kepada seseorang melain­kan aku menginginkan agar Allah mene­rangkan kebenaran melalui lisannya atau melalui lisanku.”

Ahmad bin Hanbal pernah mengata­kan, “Tidak sekali-kali aku melakukan sha­lat selama empat puluh tahun melain­kan aku selalu berdoa untuk Asy-Syafi`i.”

Penjelasan Pengasuh
Karena sangat banyak dan sering­nya Imam Ahmad bin Hanbal mendoa­kan Imam Syafi‘i, suatu ketika Imam Ah­mad ditanya oleh anaknya, “Asy-Syafi‘i itu orang seperti apa sehingga Ayah mendoakannya sampai demikian?”

Imam Ahmad menjawab, “Wahai anakku, Asy-Syafi`i itu bagaikan mata­hari bagi dunia dan bagaikan afiat bagi manusia.”

Perhatikanlah, apakah ada orang yang seperti kedua tokoh ini (Imam Syafi‘i dan Imam Ahmad)?

Al-Mursyid Al-Amin Karya Al-Ghazali - Diasuh oleh: K.H. Saifuddin Amsir - alKisah

Previous
Next Post »