Berdzikir Menggunakan Tasbih

Tidak ada berita atau riwayat, baik dari salaf maupun khalaf, yang menyebutkan ada­nya larangan menggunakan tasbih, dan tidak ada pula yang memandangnya se­bagai perbuatan makruh atau tercela.

Islam adalah agama yang me­merint­ahkan para penganut­nya untuk selalu ber­dzikir kepada Allah S.w.t, sebagai sa­lah satu bentuk ibadah guna mendekat­kan diri kepada Allah.

Di dalam Al-Qur’an surah Ali Imran ayat 191, Allah S.w.t ber­firman yang artinya, “Yaitu orang-orang yang senantiasa mengingat Allah (ber­dzikir) sambil berdiri, duduk, dan ber­baring.”.

Begitu juga dengan firman-Nya dalam surah Al-Ahzab ayat 41 yang arti­nya, “Hai orang-orang yang beriman, ber­dzikirlah dengan menyebut nama Allah sebanyak-banyaknya dan bertas­bih­lah kepada-Nya di waktu pagi dan petang.”.

Sedangkan dalam surah Al-Jumu‘ah, Allah S.w.t berfirman yang artinya, “Ber­dzikirlah kamu kepada Allah dengan dzi­kir yang banyak, agar kalian mendapat­kan keberuntungan.”

Selanjutnya di dalam hadits riwayat Mus­lim diterangkan sebagai berikut, “Ra­sulullah S.a.w bersabda, ‘Barang siapa se­tiap selesai shalat membaca tasbih 33 kali, tahmid 33 kali, dan takbir 33 kali, lalu supa­ya cukup seratus ia membaca Lâ ilâha illallâhu wahdahû lâ syarika lah, lahul-mul­ku walahul-hamdu wahuwa `ala kulli syay-in qadîr, niscaya dihapuskan dosa-dosa­nya walaupun sebanyak buih di lautan’.”

Dari uraian hadits itu dapatlah di­ketahui adanya penetapan waktu dan jumlah dzikir, yakni usai shalat membaca Subhanallah sebanyak 33 kali, Alham­dulillah 33 kali, Allahu Akbar 33 kali, dan dilengkapi menjadi 100 dengan kalimat di atas.

Selain itu, terdapat pula hadits-hadits lain yang menerangkan keutamaan mem­baca dzikir dengan jumlah sepuluh atau seratus kali. Maka dengan adanya hadits-hadits yang menetapkan jumlah dzikir seperti itu, dengan sendirinya orang yang berdzikir perlu mengetahui jumlah dzikirnya secara pasti. Lalu cara apakah yang dapat ditempuh untuk itu?

Untuk menghitung jumlah dzikir, Islam tidak menetapkan cara tertentu. Hal itu diserahkan kepada masing-ma­sing orang yang berdzikir. Cara apa saja tidak dilarang, asal tidak bertentangan dengan Kitabullah dan sunnah Rasul­ullah S.a.w.

Banyak di antara kita yang berdzikir de­ngan tasbih, atau dengan alat-alat peng­hitung yang lain, Tasbih, yang da­lam bahasa Arabnya disebut subhah, adalah butiran-butiran yang dirangkai untuk menghitung banyaknya jumlah dzikir yang diucapkan oleh seseorang, baik dzikir dengan lidah maupun dzikir dengan hati.

Abu Daud, At-Tirmidzi, An-Nasai, dan Al-Hakim meriwayatkan sebuah hadits dari Ibnu Umar yang mengatakan bahwa Rasulullah S.a.w menghitung dzikirnya dengan jari-jari dan menyuruh para sahabatnya supaya mengikuti cara beliau. Para imam ahli hadits juga me­riwayatkan hadits dari seorang wanita Muhajirin yang mengatakan bahwa Rasulullah S.a.w bersabda, “Hendaklah kalian senantiasa berdzikir, bertahlil, dan bertaqdis. Janganlah sampai kalian lalai, karena nanti bisa melupakan tauhid. Hitunglah dzikir kalian dengan jari, ka­rena kelak jari-jari akan ditanya dan akan diminta berbicara.”

Namun perintah menghitung dengan jari tidak berarti melarang orang berdzikir dengan cara lain. At-Tirmidzi, Al-Hakim, dan Ath-Thabarani meriwayatkan se­buah hadits dari Shafiyah yang menga­ta­kan bahwa pada suatu saat Rasulullah SAW datang ke rumahnya. Beliau me­lihat 4.000 butir biji kurma yang biasa di­gunakan oleh Shafiyah untuk meng­hi­tung dzikir. Nabi S.a.w bertanya, “Hai bin­ti Huyay, apa itu?”, Shafiyah menjawab, “Itulah alat yang aku gunakan untuk menghitung dzikir.”, Nabi S.a.w bersabda, “Sesungguh­nya engkau dapat berdzikir lebih banyak dari itu!”, Shafiyah berkata, “Ya Rasulullah, ajarilah aku.”, Rasulullah kemudian berkata, “Ucap­kan­lah Subhanallah `adada khalqihi… (dan seterusnya).”

Abu Daud dan At-Tirmidzi meri­wa­yatkan sebuah hadits dari Sa‘ad bin Abi Waqqash yang mengatakan bahwa pada suatu hari Rasulullah singgah di rumah seorang wanita. Beliau melihat banyak batu kerikil yang biasa diguna­kan oleh wanita itu untuk menghitung dzikir. Beliau bertanya, “Maukah engkau kuberi tahu cara yang lebih mudah dari itu dan lebih afdhal? Sebut sajalah kali­mat-kalimat berikut:

"Subhânallâh sebanyak makhluk-Nya yang di langit. Subhânallâh sebanyak makhluk-Nya yang di bumi. Subhânallâh sebanyak ciptaan-Nya yang ada di antara itu. Allâhu Akbar seperti itu. Alhamdulillâh seperti itu. Lâ ilâha illallâh seperti itu, dan Lâ quwwata illâ billâh seperti itu".

Banyak sahabat Nabi S.a.w dan sala­fush shalih yang menggunakan biji kur­ma, batu-batu kerikil, buntelan-buntelan benang, dan sebagainya, untuk menghi­tung dzikir, dan ternyata tidak ada yang menyalahkan mereka.

Imam Ahmad bin Hanbal dalam Musnad-nya meriwayat­kan, seorang sahabat Nabi yang ber­nama Abu Shafiyah menghitung dzikir­nya dengan batu-batu kerikil. Abu Daud meriwayatkan bahwa Abu Hurairah me­miliki sebuah kantung berisi batu kerikil. Ia duduk bersimpuh di atas tempat tidur­nya ditunggui seorang hamba sahaya berkulit hitam. Abu Hurairah berdzikir dan menghitungnya dengan batu-batu kerikil yang ada di dalam kantung. Bila batu-batu kerikil itu telah habis diguna­kan, hamba sahayanya menyerahkan kembali batu-batu kerikil itu kepadanya. Abu Syaibah juga mengutip riwayat Ikrimah yang mengatakan bahwa Abu Hurairah mempunyai seutas benang dengan buntelan seribu buah. Ia baru tidur setelah berdzikir dua belas ribu kali.

Bentuk tasbih yang kita kenal seka­rang baru digunakan orang pada abad ke-2 Hijriyyah. Kemudian sejak abad ke-5 penggunaan tasbih makin meluas di kalangan muslimin, termasuk juga kaum wanitanya yang tekun berubadah. Tidak ada berita atau riwayat, baik dari salaf maupun khalaf, yang menyebutkan ada­nya larangan menggunakan tasbih, dan tidak ada pula yang memandangnya se­bagai perbuatan makruh atau tercela.

Berdasarkan riwayat-riwayat di atas, jelaslah bahwa menghitung dzikir de­ngan selain jari adalah boleh. Dan apa pun benda yang digunakan untuk meng­hitung dzikir, orang tetap menggunakan jari juga. Yang penting diingat, dalam berdzikir yang harus diperhatikan adalah kemantapan dan kekhusyu’an dalam hati, karena yang dipandang Allah ada­lah hati orang yang berdzikir, bukan pe­nampilan dan benda yang digunakan untuk berdzikir.

Wallahu A'lam
Previous
Next Post »