Mengenal Kesesatan Aqidah Tasybih

Sebelumnya telah kita mengenal mengenai penyimpangan aqidah yang diantaranya adalah aqidah tajsim (jisim) atau mujassimah, yaitu aqidah yang menganggap Allah memiliki anggota tubuh dan sifat seperti manusia, sedangkan aqidah berikut hampir mirip, yaitu pembahasan mengenai aqidah Tasybih yaitu menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya.

Tulisan yang disarikan dari tulisan al-Imam al-Hafizh Abdurrahman ibn Abi al-Hasan al-Jauzi atau yang lebih kita kenal dengan nama Imam Ibn al-Jauzi. Semoga melalui tulisan ini ummat mengetahui dan mengenali kesesatan aqidah tasybih.

Waspadai Ajaran Salafi Wahabi ..!!

al-Hafizh Ibn al-Jauzi menuliskan bahwa sebab kerancuan sebagian orang yang mengaku bermadzhab Hanbali dalam aqidah mereka hingga mereka dicap sebagai golongan yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya atau ahl al-tasybîh, adalah karena beberapa hal berikut;

Pertama: Mereka selalu menamakan setiap teks yang dinisbatkan kepada Allah sebagai sifat-sifatnya (Akhbar al-Shifat). Padahal tidak semua teks yang dinisbatkan kepada Allâh merupakan sifat-sifat-Nya. Bisa jadi penisbatan tersebut hanya penisbatan mudlaf dan mudlaf ilaih. Dan tidak semua nisbat idlafah semacam ini bermakna sifat.

Seperti dalam firman Allah S.w.t tentang Nabi Adam A.s; "Wa Nafakhtu Fîhi Min Rûhî…". (QS. Shad: 72). Ayat ini maknannya bukan berarti Allah memiliki sifat ruh yang kemudian sebagian ruh tersebut ditiupkan kepada Nabi Adam A.s. Tapi makna ayat yang dimaksud adalah idlafah tasyrîf, artinya ruh tersebut adalah ruh yang dimuliakan oleh Allah. Dengan demikian, jelas salah bila setiap ayat dalam bentuk mudlaf dan mudlaf ilaih dianggap sebagai pengertian sifat.

Ke-dua: Mereka selalu berkata bahwa teks-teks Al-Qur’an atau Hadits tersebut adalah bagian dari teks-teks mutasyabihat yang tidak diketahui maknanya kecuali oleh Allah S.w.t. Kemudian mereka berkata; "Kewajiban kita hanya memaknai dan memberlakukan teks-teks tersebut sesuai zhahirnya".

Pernyataan mereka ini adalah pernyataan yang 'sangat aneh'. Mereka mengatakan bahwa teks-teks tersebut tidak diketahui oleh siapapun kecuali oleh Allah, namun pada saat yang sama mereka memaknai teks-teks tersebut dengan makna zhahirnya. Padahal lafazh “yad” dalam bahasa Arab makna zhahirnya adalah tangan, yang berupa jari-jemari, daging, tulang darah dan lainnya. Kemudian lafazh “’ain” makna zhahirnya tidak lain adalah mata. Juga lafazh “istawa” makna zhahirnya adalah duduk dan bertempat. Atau lafazh “yanzil” yang makna zhahirnya adalah turun dalam arti berpindah tempat dari atas ke bawah.

Apakah makna-makna zhahir semacam ini sesuai bagi keagungan Allah?! Bila tidak, lantas mengapa dikatakan bahwa kita harus memberlakukannya sesuai makna zhahirnya?!

Ke-tiga: Mereka selalu menetapkan sifat-sifat bagi Allâh dengan sekehendak mereka sendiri. Setiap teks yang ada kaitannya dengan Allah seringkali diklaim oleh mereka sebagai sifat-sifat-Nya. Padahal sifat-sifat bagi Allah tidak boleh ditetapkan kecuali dengan adanya dalil-dalil yang pasti atas hal tersebut.

Ke-empat: Mereka tidak membeda-bedakan dalam menetapkan sifat bagi Allah antara Hadits yang mashur dengan hadits yang tidak shahih. Hadits yang mashur contohnya hadîts al-nuzul; “Yanzil Rabbunâ Ilâ al-Samâ’ al-Dunyâ…”. Contoh hadits yang tidak shahih seperti hadits yang mengatakan: “Raitu Rabbî Fî Ahsan al-Shûrah…”. Mereka memandang bahwa kedua hadits tersebut merupakan hadits-hadist tentang sifat Allah. Dan karenanya mereka kemudian menetapkan dengan landasan dua hadits tersebut adanya sifat “turun” dan “bentuk” bagi Allah.

Ke-lima: Mereka tidak membeda-bedakan antara hadits marfû' yang bersambung hingga Rasulullah S.a.w dan hadits mauquf yang hanya bersambung sampai kepada para sahabat, bahkan juga membedakannya dengan hadits maqthu' yang hanya bersambung hingga tabi’in saja. Baik hadits marfu', hadits mauquf atau hadits maqthu', oleh mereka dapat dijadikan dalil dalam menetapkan sifat-sifat bagi Allah.

Ke-enam: Yang aneh dari mereka, beberapa teks Al Qur’an atau Hadits yang terkait dengan masalah ini dipahami dengan takwil, namun dalam teks-teks lain mereka memaknainya dengan makna-makna zhahir.

Ini menunjukkan bahwa mereka tidak memiliki keteguhan keyakinan. Seperti sebuah hadits yang berbunyi; “Wa Man Atanî Yamsyî, Ataituh Harwalah…”, mereka memaknai hadits ini dengan mentakwilnya. Maksud kandungan hadits ini, menurut mereka sebagai perumpamaan atau pendekatan kenikmatan kenikmatan dan karunia yang dianugerahkan oleh Allah S.w.t kepada hamba-hamba-Nya. Lantas di mana konsistensi mereka dalam memegang makna zhahir teks?! Padahal jelas secara zhahir makna hadits tersebut: “Siapa yang mendatangi-Ku dengan berjalan, maka Aku akan mendatanginya dengan berlari kecil…”.

Ke-tujuh: Mereka seringkali memberlakukan makna-makna indrawi dalam memahami teks-teks tersebut. Ini ditandai dengan adalanya lafazh-lafazh yang sering kali mereka tambahkan terhadap teks-teks tersebut. Seperti seringkali mereka berkata; “Yanzil Bi Dzatih…” (Allah turun dengan Dzat-Nya), “Yanzil Wa Yatahawwal…” (Allah turun dan bergerak), “Istawa Bi Ma’na al-Haqîqah…” (Allah benar-benar bertempat/bersemayam) dan tambahan lafazh lainnya. Lalu untuk mengecoh orang-orang awam mereka berkata; “La Kama Na’qil…” (Tidak seperti yang kita pikirkan). Terkadang mereka juga berkata; “Lahu Yad La Ka al-Aidî…” (Allah memilki tangan tapi tidak seperti semua tangan), “Lahu ‘Ain La Kasa’ir al-A’yun…” (Allah punya mata tapi tidak seperti setiap mata), “Lahu Qadam La Kasa’ir al-Aqdam…” (Allah memiliki kaki tapi tidak seperti setiap kaki). Yang tersisa bagi mereka adalah untuk mengatakan; “Huwa Insan La Kasa’ir al-Nas…” (Allah adalah manusia tatapi tidak seperti seluruh manusia). Adakah tauhid dalam keyakinan orang-orang semacam ini??.

(Penjelasan lebih luas lihat Ibn al-Jauzi, Daf’u Syubah at-Tasybih Bi Akaff at-Tanzih, h. 11-12).

sumber: suaraaswaja.com

Catatan Penting;

Ibn al-Jauzi adalah al-Imam al-Hafizh Abdurrahman ibn Abi al-Hasan al-Jauzi (w 597 H), Imam Ahlussunnah terkemuka, ahli hadits, ahli tafsir, dan seorang teolog (ahli ushul) terdepan. Beliau bermadzhab Hanbali, dan apa yang beliau tuliskan dalam karya beliau di atas adalah keyakinan para ulama madzhab Hanbli terkemuka. Adapaun orang-orang Wahabi bahwa mereka mengaku bermadzhab Hanbali adalah 'Bohong Besar'! ....baik di dalam aqidah maupun fiqih, kaum Wahabi ini bukan di atas madzhab Hanbali, madzhab mereka adalah madzhab Wahabi..!!! (red: serkarang mengaku Salafi).

Hati-hati awas salah..!, beda antara Ibn al-Jauzi dengan Ibn Qayyim al-Jauziyyah. Adapun ibn Qayyim al-Jauziyyah ini adalah Muhammad ibn Abi Bakr az-Zar’i (w 751 H) murid dari Ibn Taimiyah yang dalam keyakinannya persis sama dengan Ibn Taimiyah sendiri. Keduanya jauh berbeda, yang pertama (Ibn al-Jauzi) adalah Imam Ahlussunnah terkemuka, sementara yang kedua (Ibn Qayyim al-Jauziyyah) adalah murid Ibn Taimiyah; yang dalam keyakinannya persis sama dengan kayakinan tasybih Ibn Taimiyah.

Ingat...!, Aqidah mayoritas umat Islam, kaum Ahlussunnah wal Jama'ah adalah Allah Ada Tanpa Tempat dan Tanpa Arah, dan Allah itu tidak duduk, tidak bersemayam di ‘Arasy, tidak memiliki organ tubuh dan sifat seperti manusia, .. sesuai dengan yang di ajarkan Rasulullah S.a.w, para Sahabatnya R.a serta para Ulama Salaf (dahulu) yang shaleh.

Wallahu Warasuluhu A'lam. Wassalam
Previous
Next Post »

1 Komentar:

Write Komentar
21 Mei, 2013 delete

Padat jelas.. syukron

Reply
avatar