Jangan Menjadi Orang yang Lalai

Selalu mengingat Allah SWT adalah salah satu perkara yang sangat ditekankan dalam ajaran Islam. Sangat banyak ayat Al-Qur’an dan hadits Nabi yang memerintahkan kita untuk senantiasa ingat kepada Allah dan tidak menjadi orang yang lalai dari mengingat-Nya.

Salah satu manfaat terpenting dari selalu mengingat Allah adalah perasaan selalu diawasi oleh Allah sehingga orang yang demikian akan menjaga segala tindak tanduknya, ucapan dan perbuatannya, bahkan bisikan-bisikan hatinya. Marilah kita perhatikan penjelasan hikmah dari kitab Hidayah Al-Adzkiya’ berikut ini, untuk kita renungkan dan praktekkan.

"Orang yang tidak memiliki kesibukan dunia dengan meninggalkan dunia me­reka, tidaklah hal itu membatalkan. Maka dengan mengabdi kepada Tuhan Yang Maha Tinggi, ia merasa nik­mat menyibukkan diri dengan shalatnya dan membaca Al-Qur’an. Apabila datang rasa jemu melakukan shalat, bacalah Al-Qur’an dengan pe­rasaan takut lagi renungkanlah. Apabila bosan membaca Al-Qur’an, beralihlah kepada berdzikir dengan hati dan lidah yang sempurna. Kemudian ingatlah dengan hati, yakni selalu mengawasi hatinya. Janganlah sibuk dengan bicara kepada diri sendiri yang melalaikan. Karena bicara kepada diri sendiri itu seperti perkataan dengan lisan. Hati menjadi keras karenanya, maka janganlah engkau menjadi orang yang lalai".

Syarah Hikmah
Apabila seseorang tidak sibuk de­ngan dunia karena tidak mempunyai atau tidak perlu mencari nafkah, tidak se­patutnya ia berhenti dari ibadah-ibadah, karena sesungguhnya hal itu merupakan kerugian yang nyata, di dunia dan akhirat. Bahkan selayaknya ia menyibuk­kan diri dengan melakukan shalat sun­nah, karena shalat sunnah itu adalah ibadah-ibadah tubuh yang paling utama setelah beriman.

Apabila engkau jenuh shalat, bacalah Al-Qur’an, berdasarkan sabda Nabi SAW, “Ibadah umatku yang paling utama adalah membaca Al-Qur’an.” (HR At-Tirmidzi). Hal itu karena, bagi pembaca Al-Qur’an, untuk setiap huruf yang di­baca­nya, ia mendapatkan 10 kebaikan, dan karena orang yang membaca Al-Qur’an itu sedang bermunajat kepada Tuhannya, dan karena Al-Qur’an adalah sumber ilmu-ilmu dan induk semua ilmu.

Maka sibuk membaca Al-Qur’an itu lebih utama daripada sibuk dengan se­mua dzikir yang lain, kecuali dzikir yang telah disebutkan oleh Nabi SAW bahwa dalam dzikir tersebut ada sesuatu yang khusus, sebagaimana keterangan yang disebutkan Syaikh Al-Azizi. Apabila eng­kau jenuh membaca Al-Qur’an, berdzi­kir­lah dengan hatimu dan lidahmu ber­sama-sama.

Kemudian ingatlah kepada Allah di hatimu, yaitu merasa senantiasa di­awasi Allah Ta‘ala, hingga seakan-akan ia ada hadapan-Nya. Berdzikir adalah jalan pa­ling dekat menuju Allah Ta‘ala, dan ber­dzikir merupakan ilmu menge­nai adanya kewalian. Sebagaimana seorang ulama berkata, “Dzikir adalah kewalian yang ter­sebar. Maka siapa saja yang menda­pat pertolongan untuk berdzikir, berarti ia te­lah dianugerahi kewalian yang ter­sebar itu; dan siapa yang kurang dzi­kirnya, sung­guh ia telah diasingkan.”

Semua perangai yang terpuji itu kem­bali kepada dzikir, dan sumber pe­rangai terpuji itu dari berdzikir. Keuta­ma­an-ke­utamaan berdzikir tidak terhi­tung ba­nyaknya dan cukup bagimu dalil menge­nai keutamaan-keutamaan itu firman Allah Ta‘ala yang artinya, “Karena itu ingat­lah kamu kepada-Ku, niscaya Aku ingat (pula) kepadamu….” (QS Al-Ba­qarah: 152). Dan fiman Allah Ta‘ala da­lam hadits qudsi yang diriwayatkan oleh Rasulullah SAW dari Allah, “Aku menu­rut persangkaan hamba-Ku ke­pada-Ku, dan Aku akan bersamanya ketika ia meng­ingat-Ku. Jika ia meng­ingat-Ku da­lam hatinya, Aku akan meng­ingatnya da­lam Dzat-Ku. Dan jika ia mengingat-Ku di satu alam, Aku meng­ingatnya di satu alam yang lebih baik dari itu. Dan jika ia mendekat kepada-Ku sejengkal, niscaya Aku mendekat ke­padanya se­hasta; dan jika ia mendekat kepada-Ku sehasta, niscaya Aku men­dekat ke­pada­nya satu depa; dan jika ia menda­tangi-Ku dengan berjalan, nis­caya Aku mendatanginya dengan ber­gegas.”

Seorang ulama berkata, “Di antara keistimewaan berdzikir adalah bahwa berdzikir itu tidak tertentu pada satu wak­tu saja. Maka tidak satu waktu pun me­lain­kan pasti seorang hamba dituntut un­tuk berdzikir. Adakalanya wajib, ada­kalanya sunnah. Berbeda dengan ke­taatan-ketaatan yang lain.” Ibnu Abbas mengatakan, “Allah tidak mewajibkan hamba-hamba-Nya dengan suatu kewa­jiban melainkan Dia membuat batasan tertentu untuknya. Kemudian Dia mem­berikan keringanan pelakunya di saat udzur (mengalami kendala); lain halnya dengan berdzikir, karena Dia tidak mem­buat batasan tertentu untuknya yang akan berakhir pada batasan tersebut. Dan Allah tidak memberi keringanan ke­pada seseorang untuk meninggalkan­nya, kecuali akalnya terkalahkan. Dan Allah memerintahkan mereka untuk meng­ingat-Nya pada seluruh kondisi me­reka.”

Allah Ta‘ala berfirman yang artinya, “…ingatlah Allah di waktu berdiri, di waktu duduk, dan di waktu berbaring…” (QS An-Nisa’: 103). Dan Allah Ta‘ala berfirman yang artinya, “Hai orang-orang yang beriman, berdzikirlah (dengan me­nyebut nama) Allah, dzikir yang seba­nyak-banyaknya.” (QS Al-Ahzab: 41). Yakni di malam hari dan siang hari, di da­rat dan laut, di perjalanan dan di ke­diam­an, saat kaya dan miskin, saat se­hat dan sakit, secara diam-diam dan te­rang-terangan.

Mujahid berkata, “Seorang hamba hendaknya banyak berdzikir. Maka se­patutnya bagi seorang hamba memper­banyak dzikir di setiap kondisi dan meng­habiskan seluruh waktunya dalam ber­dzikir, dan tidak melalaikannya. Tidak bo­leh ia meninggalkannya meskipun ada sesuatu yang melalaikannya, karena me­ninggalkannya dan lalai darinya lebih berat (lebih besar salahnya) daripada lalai dalam berdzikir. Artinya, meskipun hatinya lalai, ia harus tetap berdzikir. Maka wajib baginya mengingat Allah Ta`ala dengan lidahnya meskipun hati­nya lalai dalam dzikirnya.

Mudah-mudahan saja dzikirnya yang disertai kelalaian itu akan meningkat­kan­nya kepada berdzikir yang disertai ke­sadaran penuh. Tingkatan ini adalah si­fat orang-orang yang berakal. Dan se­moga saja dzikirnya yang disertai ke­sadaran penuh akan mengangkatnya kepada berdzikir disertai hati yang hadir. Tingkatan berdzikir ini adalah sifat para ulama. Dan semoga saja dzikirnya yang disertai hati yang hadir akan mening­kat­kannya kepada berdzikir disertai ketiada­an terhadap segala sesuatu selain Allah. Tingkatan ini adalah tingkatan ‘arifin muhaqqiqin (orang-orang yang telah mencapai ma‘rifat lagi mengetahui de­ngan terperinci) di antara para wali Allah. Dan pada kedudukan ini berdzikir de­ngan lidah terputus (tidak perlu lagi).”

Syaikh Abu Al-Abbas bin Al-Banna’ berkata, “Di antara berdzikir yang paling baik adalah berdzikir yang dapat mem­bangkitkan lintasan-lintasan hati yang datang dari Allah Ta`ala. Ini adalah dzikir khafiy (dzikir yang tersembunyi, tidak terdengar), menurut ulama ahli tasawuf, yang dilakukan terus-menerus.” Demiki­an penuturan Syaikh Yusuf As-Sun­bulawini.

Dan janganlah engkau sibuk dengan bisikan-bisikan jiwamu, karena hal itu sama seperti ucapan dengan lisan da­lam hal kekeliruan dan maksiat. Apabila bisikan-bisikan jiwa ini mendatangimu, tolaklah dengan berpaling darinya, dan sibukkan dengan hal-hal semacam me­mikirkan ciptaan-ciptaan Allah Ta‘ala. Sungguh telah datang keterangan dalam sebuah hadits, “Berpikir sesaat lebih baik dibandingkan beribadah selama 70 tahun.” Demikian keterangan Syaikh Yusuf As-Sunbulawini.

Kitab Hidayah Al-Adzkiya’ - Syaikh Zainuddin Al-Malibari
pensyarah K.H. Saifuddin Amsir
Previous
Next Post »