Segala puji bagi Allah S.w.t, yang telah memperindah rupa manusia dengan keindahan bentuk dan ukurannya dan melimpahkan urusan perbaikan budi pekerti pada kesungguhan dan kesiapan hamba. Shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada pemimpin kita Nabi Muhammad S.a.w, hamba Allah, Nabi-Nya, kekasih-Nya, penyebar kabar gembira dan peringatan dari-Nya; juga kepada Keluarganya dan para Sahabatnya, yang telah membersihkan wajah Islam dari kegelapan dan kekelaman, kekafiran. Amma Ba’du.
Adapun budi yang baik adalah watak pemimpin para rasul (Nabi Muhammad S.a.w), amalan utama orang-orang yang lurus hatinya, separuh dari agama, dan buah dari penempaan diri orang-orang yang bertakwa.
Adapun perangai yang buruk adalah racun pembunuh dan perusak, kehinaan yang mempermalukan, serta keburukan yang menjauhkan seseorang dari sisi Sang Penguasa alam semesta. Perangai yang buruk adalah penyakit bagi hati.
Adapun perangai yang buruk adalah racun pembunuh dan perusak, kehinaan yang mempermalukan, serta keburukan yang menjauhkan seseorang dari sisi Sang Penguasa alam semesta. Perangai yang buruk adalah penyakit bagi hati.
Minat para dokter untuk menguasai ilmu pengobatan tubuh sangat tinggi, padahal dampak dari gagalnya pengobatan tubuh hanyalah hilangnya kehidupan yang bersifat fana. Karena itu, perhatian pada pengobatan penyakit hati, yang bisa berdampak pada hilangnya kehidupan yang kekal, tentu lebih diperlukan. Allah S.w.t telah berfirman:
"Sungguh beruntung orang yang menyucikannya (jiwa), dan sungguh merugi orang yang mengotorinya". (QS Al-Syams [91]: 9-10).
"Sungguh beruntung orang yang menyucikannya (jiwa), dan sungguh merugi orang yang mengotorinya". (QS Al-Syams [91]: 9-10).
Jadi, dengan mengobati penyakit hati, jiwa menjadi bersih; dan dengan mengabaikan pengobatan hati, jiwa menjadi kotor.
Hanya Rasulullah S.a.w yang mempunyai kesempurnaan budi pekerti, karena itu orang yang paling dekat dengan Allah adalah orang yang mengikuti Rasulullah dengan budi pekerti yang baik
Keutamaan Budi Pekerti Yang Baik
Allah telah berfirman kepada Nabi Muhammad Sa.w, seraya memujinya dan memperlihatkan nikmat-Nya kepada Beliau, "Sesungguhnya engkau benar-benar berbudi pekerti yang luhur" (QS Al-Qalam: 4).
Seorang lelaki bertanya kepada Rasulullah S.a.w tentang budi pekerti yang baik, Beliau pun membaca firman Allah, "Jadilah pemaaf, suruh orang mengerjakan yang makruf, dan jangan engkau pedulikan orang-orang yang bodoh" (QS Al-A’raf [7]: 199). Kemudian Beliau S.a.w bersabda, “Budi yang baik ialah menyambung silaturahmi kepada orang yang memutuskannya darimu, memberi kepada orang yang tidak mau memberi kepadamu, dan memaafkan orang yang menzalimimu.”.
Seorang lelaki bertanya kepada Rasulullah S.a.w tentang budi pekerti yang baik, Beliau pun membaca firman Allah, "Jadilah pemaaf, suruh orang mengerjakan yang makruf, dan jangan engkau pedulikan orang-orang yang bodoh" (QS Al-A’raf [7]: 199). Kemudian Beliau S.a.w bersabda, “Budi yang baik ialah menyambung silaturahmi kepada orang yang memutuskannya darimu, memberi kepada orang yang tidak mau memberi kepadamu, dan memaafkan orang yang menzalimimu.”.
Rasulullah S.a.w pun telah bersabda, “Perkara yang paling berat ketika ditimbang di Mizan pada Hari Kiamat nanti adalah ketakwaan kepada Allah dan budi pekerti yang baik.”. Riwayat yang lain mengggunakan redaksi, “Perkara yang paling berat ketika ditimbang di Mizan adalah budi pekerti yang baik.”. Beliau pun bersabda, “Sesungguhnya engkau tidak akan mampu menolong semua orang dengan hartamu maka bantulah mereka dengan wajah yang ceria dan budi pekerti yang baik.”. Sang Nabi S.a.w pun pernah bersabda, “Sungguh, seorang hamba bisa mencapai derajat yang tinggi dan kedudukan yang mulia di akhirat dengan bekal budi pekerti yang baik meskipun ia lemah dalam beribadah.”.
Hasan Al-Bashri menyatakan, “Barang siapa berperangai buruk, ia menyiksa dirinya sendiri.”. Anas bin Malik R.a mengatakan, “Seseorang bisa mencapai derajat yang tinggi dengan budi pekerti yang baik meskipun ia bukan ahli ibadah. Sebaliknya, meskipun gemar beribadah, seseorang bisa terdampar pada kedudukan yang paling rendah karena perangainya yang buruk.”.
Al-Kanani mengatakan, “Tasawuf adalah soal budi pekerti. Maka, barang siapa memiliki budi pekerti yang lebih baik daripada dirimu, berarti tasawufnya lebih baik daripada tasawufmu.”. Ibnu Abbas mengutarakan, “Setiap bangunan mempunyai fondasi, dan fondasi Islam adalah budi pekerti yang baik.”. Atha’ menyatakan, “Tidak ada orang yang berkedudukan tinggi, kecuali karena budi pekertinya yang baik.”. Dan, hanya Rasulullah S.a.w yang mempunyai kesempurnaan budi pekerti, karena itu, orang yang paling dekat dengan Allah adalah orang yang mengikuti Rasulullah dengan budi pekerti yang baik.
Al-Kanani mengatakan, “Tasawuf adalah soal budi pekerti. Maka, barang siapa memiliki budi pekerti yang lebih baik daripada dirimu, berarti tasawufnya lebih baik daripada tasawufmu.”. Ibnu Abbas mengutarakan, “Setiap bangunan mempunyai fondasi, dan fondasi Islam adalah budi pekerti yang baik.”. Atha’ menyatakan, “Tidak ada orang yang berkedudukan tinggi, kecuali karena budi pekertinya yang baik.”. Dan, hanya Rasulullah S.a.w yang mempunyai kesempurnaan budi pekerti, karena itu, orang yang paling dekat dengan Allah adalah orang yang mengikuti Rasulullah dengan budi pekerti yang baik.
Semakin dekat derajat budi pekerti seseorang dengan Rasulullah, berarti semakin dekat ia dengan Allah S.w.t
Penjelasan Mengenai Budi Pekerti Yang Baik
Kata khuluq (budi pekerti) dan khalq (bentuk tubuh) bisa digunakan secara bersamaan. Misalnya, hasana al-khuluqu wa al-khalqu. Artinya, sisi batiniah dan lahiriahnya baik. Jadi, yang dimaksud dengan khalq adalah tubuh yang kasat mata, sedangkan khuluq adalah sisi bathiniah seseorang. Dengan kata lain, budi pekerti adalah suatu sifat yang sudah menancap kuat pada jiwa seseorang, yang darinya timbul berbagai perilaku dengan mudah. Jika yang muncul adalah perilaku-perilaku yang baik, sifat itu dinamakan budi pekerti yang baik. Jika yang lahir adalah perilaku-perilaku yang buruk, sifat itu dinamakan budi pekerti yang buruk.
Ada empat hal yang terkait dengan budi pekerti, yaitu:
1). Perilaku baik dan buruk
2). Kekuatan untuk melakukan perilaku baik atau buruk
3). Pengetahuan tentang dua jenis perilaku tersebut
4). Kondisi kejiwaan yang mengarah pada salah satu di antara dua budi pekerti tersebut.
Yang dinamakan budi pekerti tidaklah terbatas pada perilaku itu sendiri. Bisa jadi seseorang berperilaku dermawan, tetapi faktanya ia tidak mau bersedekah saat sedang dihinggapi kemiskinan atau ada halangan. Budi pekerti adalah unsur yang keempat yang tersebut di atas. Budi pekerti adalah kondisi pada jiwa seseorang, yang karena kondisi itu ia siap melahirkan perbuatan. Dengan kata lain, budi pekerti merupakan keadaan pada jiwa dan bathiniah seseorang.
1). Perilaku baik dan buruk
2). Kekuatan untuk melakukan perilaku baik atau buruk
3). Pengetahuan tentang dua jenis perilaku tersebut
4). Kondisi kejiwaan yang mengarah pada salah satu di antara dua budi pekerti tersebut.
Yang dinamakan budi pekerti tidaklah terbatas pada perilaku itu sendiri. Bisa jadi seseorang berperilaku dermawan, tetapi faktanya ia tidak mau bersedekah saat sedang dihinggapi kemiskinan atau ada halangan. Budi pekerti adalah unsur yang keempat yang tersebut di atas. Budi pekerti adalah kondisi pada jiwa seseorang, yang karena kondisi itu ia siap melahirkan perbuatan. Dengan kata lain, budi pekerti merupakan keadaan pada jiwa dan bathiniah seseorang.
Bentuk lahiriah wajah seseorang tidak bisa dikatakan cantik, kecuali jika kedua mata, hidung, mulut, dan pipinya indah secara keseluruhan. Demikian pula kecantikan batin tidak bisa terwujud, kecuali jika empat unsur pada diri seseorang bersifat baik secara keseluruhan. Jika empat unsur itu baik, terwujudlah apa yang dinamakan budi pekerti yang baik. Empat unsur itu adalah ilmu, amarah, nafsu, dan keseimbangan di antara tiga unsur tersebut.
Ilmu bisa dikatakan baik jika ia mampu dengan mudah membedakan antara kejujuran dan kebohongan dalam ucapan, kebenaran dan kebathilan dalam keyakinan, serta kebaikan dan keburukan dalam perbuatan. Ilmu yang baik akan berbuah hikmah. Barang siapa diberi hikmah, sesungguhnya dia telah diberi kebaikan yang banyak. (QS Al-Baqarah [2]: 269).
Amarah bisa dikatakan baik jika naik dan turunnya selaras dengan tuntutan hikmah. Begitu juga nafsu bisa dikatakan baik jika mengikuti bimbingan hikmah, yaitu petunjuk nalar dan syariat. Adapun yang dimaksud dengan keseimbangan di antara tiga unsur ialah terkendalinya nafsu dan amarah di bawah petunjuk nalar dan syariat.
Induk dari berbagai budi pekerti yang baik ada empat, yaitu Hikmah, Syaja’ah, ‘Iffah, dan ‘Adalah.
Induk dari berbagai budi pekerti yang baik ada empat, yaitu Hikmah, Syaja’ah, ‘Iffah, dan ‘Adalah.
Dengan adanya keseimbangan dalam menggunakan kekuatan nalar, akan muncul kecakapan dalam mengorganisasi, kejernihan pikiran dan pandangan, intuisi yang benar, kecakapan dalam mengerjakan berbagai pekerjaan, dan kecerdasan dalam melihat berbagai rahasia hati. Namun jika nalar digunakan kelewat batas, akan timbul sifat kedurjanaan, kelicikan, kecurangan, dan kemunafikan. Adapun jika nalar diremehkan, akan lahir watak bebal, ketakutan untuk mencoba sesuatu, kedunguan, dan kerusakan nalar.
Dengan adanya syaja’ah, akan muncul sifat kemurahan hati, penolong, kesatria, rendah hati, ketegaran, kesabaran, keteguhan hati, pengendalian emosi, kehormatan diri, ketenangan diri, dan sebagainya. Namun jika syajd’ah tersebut melampaui batas, akan lahir sikap sembrono, pongah, tinggi hati, mudah marah, sombong, dan bangga diri. Adapun jika syaja’ah dikesampingkan, yang akan muncul adalah kehinaan, kenistaan, ketakutan, kerendahan diri, dan rasa ; gentar dalam memperjuangkan hak.
Adapun dengan adanya ‘iffah, akan terlahir sifat kedermawanan, rasa malu, kesabaran, toleransi, qana ‘ah, wara’, kelembutan, keringanan tangan, kesantunan, dan kekayaan hati. Akan tetapi jika ‘iffah terlalu berlebihan atau diabaikan, yang akan lahir justru sifat tamak, rakus, tidak tahu malu, boros, kemubaziran, pelit, riya, dengki, melakukan hal-hal yang sia-sia, senang atas kesusahan dan kemiskinan orang lain, menghinakan diri di depan orang kaya, suka menghina orang miskin, dan sebagainya.
Dengan demikian, pangkal dari segala keluhuran budi pekerti adalah hikmah, syaja’ah, ‘iffah, dan ‘adalah. Adapun sifat-sifat yang lain merupakan cabang-cabangnya saja.
Tidak ada seorang pun yang berhasil mencapai kesempurnaan budi pekerti, yaitu keseimbangan dalam empat induk budi pekerti sebagaimana yang telah disebutkan, kecuali Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam. Adapun manusia selain Beliau berbeda-beda derajat kedekatan mereka dengan budi pekerti Beliau.
Semakin dekat derajat budi pekerti seseorang dengan Rasulullah, berarti semakin dekat ia dengan Allah S.w.t.
Semakin dekat derajat budi pekerti seseorang dengan Rasulullah, berarti semakin dekat ia dengan Allah S.w.t.
Al-Quran telah memberi isyarat mengenai empat induk budi pekerti tersebut. Allah berfirman, Sesungguhnya orang-orang mukmin yang sebenarnya adalah mereka yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka yang berjihad dengan harta dan jiwanya di jalan Allah. Mereka itulah orang-orang yang benar (QS Al-Hujurat [49]: 15). Keimanan kepada Allah dan Rasulullah tanpa keraguan adalah kekuatan keyakinan dan buah dari penalaran serta puncak dari kebijaksanaan. Perjuangan dengan harta benda merupakan sikap kedermawanan yang bersumber dari pengendalian terhadap kekuatan nafsu. Adapun jihad dengan jiwa merupakan sifat keberanian yang bertolak dari penggunaan kekuatan amarah secara seimbang dan sesuai dengan petunjuk nalar. Allah Swt. menggambarkan karakter para sahabat dengan firman-Nya, (Orang-orang yang bersama Nabi) bersikap tegas kepada orang-orang kafir dan penuh kasih kepada sesama mereka (QS Al-Fath [48]: 29). Dengan maksud memberikan isyarat bahwa sikap keras ada tempatnya dan sikap lembut pun ada tempatnya tersendiri.
Yang dimaksud dengan “mengubah budi pekerti menjadi baik” bukanlah mematikan elemen amarah dan nafsu secara total, melainkan meluruskan dan memperbaiki keduanya, dan dengan mengembalikan elemen amarah dan nafsu pada titik keseimbangan
Budi Pekerti Bisa Berubah
Seandainya budi pekerti tidak bisa berubah, tidak ada gunanya lagi nasihat, pengarahan, dan pendidikan. Lagi pula Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Aalihi wa Shahbihi wa Salam pernah bersabda, “Sesungguhnya aku diutus untuk memperbaiki budi pekerti.”.
Sesungguhnya amarah dan nafsu bisa dipengaruhi dengan pilihan. Jika hendak melenyapkan dan mematikan keduanya, tentu saja kita tidak bisa. Namun, kita bisa mengarahkan dan mengatur keduanya dengan latihan dan penempaan diri. Sebagai perumpamaan, biji apel maupun kurma bukanlah apel atau kurma itu sendiri. Biji kurma ditakdirkan untuk bisa berubah menjadi pohon kurma jika dirawat dengan baik. Adapun biji apel sudah digariskan tidak bisa menjadi pohon apel meskipun telah ditanam dan dirawat dengan baik. Jadi, ada hal yang mungkin diubah dan ada hal yang tidak mungkin diubah. Salah satu hal yang mungkin diubah dan diperbaiki ialah budi pekerti.
Watak dasar manusia mempunyai tingkat kesulitan yang berbeda-beda untuk dipengaruhi dan diubah. Perbedaan itu ditentukan oleh perbedaan kekuatan naluri dasar (baca: amarah dan nafsu) seseorang dan seberapa kuat ia dipengaruhi oleh perilaku yang sering dilakukannya.
~ Orang yang tidak bisa membedakan kebenaran dari kebathilan dan kemuliaan dari kehinaan, bisa dengan cepat diperbaiki budi pekertinya. Ia hanya memerlukan seorang guru dan pembimbing.
~ Orang yang sudah bisa membedakan antara kebenaran dan kebatilan, tetapi tidak terbiasa mengerjakan kebaikan dan malah tunduk pada hawa nafsunya, lebih sulit untuk diluruskan budi pekertinya. Untuk mengubahnya, apa yang sudah tertanam kuat di jiwanya harus dicabut terlebih dulu. Setelah itu, harus ditanamkan pada dirinya kebiasaan melakukan perbuatan-perbuatan yang baik.
~ Orang yang meyakini perilaku buruk sebagai kemuliaan dan terbiasa melakukan keburukan, hampir tidak bisa diperbaiki budi pekertinya. Kita hanya bisa berharap agar ia bisa menjadi baik, tetapi hal itu termasuk kejadian langka.
~ Orang yang paling sulit untuk diperbaiki budi pekertinya adalah orang yang tumbuh bersama nilai-nilai yang salah, terbiasa melakukan perilaku buruk, dengan memandang keburukan sebagai keutamaan dan membanggakannya, serta menganggap hal itu bisa meninggikan derajatnya.
Orang model pertama dinamakan orang bodoh. Orang kedua bodoh dan sesat. Orang ketiga bodoh, sesat, dan fasik. Adapun orang keempat adalah orang bodoh, sesat, fasik, dan jahat.
Yang dimaksud dengan “mengubah budi pekerti menjadi baik” bukanlah mematikan elemen amarah dan nafsu secara total, melainkan meluruskan dan memperbaiki keduanya. Allah Swt. telah berfirman, (Orang-orang yang bersama Nabi) bersikap tegas kepada orang-orang kafir dan penuh kasih kepada sesama mereka (QS Al-Fath [48]: 29). Ketegasan di sini tiada lain bersumber dari elemen amarah. Seandainya amarah disingkirkan, tentu tidak ada syariat yang bernama jihad. Allah pun telah menyatakan bahwa salah satu ciri orang yang beriman ialah, Orang-orang yang menahan amarahnya (QS Ali ‘Imran [3]: 134). Allah tidak mengatakan orang-orang yang menghilangkan amarahnya.
Dengan demikian, yang dimaksud dengan perbaikan budi pekerti adalah mengembalikan elemen amarah dan nafsu pada titik keseimbangan.
Allah S.w.t. juga berfirman, Dan (termasuk hamba-hamba Tuhan Yang Maha Pengasih adalah) orang-orang yang apabila menginfakkan (harta), mereka tidak berlebihan dan tidak (pula) kikir, tetapi di antara keduanya secara wajar (QS Al-Furqan [25]: 67). Dan janganlah engkau jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan jangan (pula) engkau terlalu mengulurkannya (sangat pemurah) (QS Al-Isra’ [17]: 29). Makan dan minumlah kalian, tetapijangan berlebihan (QS Al-A’raf [7]: 31). Mengenai amarah, Allah pun berfirman, (Orang-orang yang bersama Nabi) bersikap tegas kepada orang-orang kafir dan penuh kasih kepada sesama mereka (QS Al-Fath [48]: 29). Demikian pula kedermawanan berada di antara pemborosan dan kekikiran, keberanian di antara kegentaran dan kesembronoan, dan’iffah di antara ketamakan dan kebekuan (tidak bernafsu). Jadi, semua sifat baik berada di tengah, sedangkan semua sifat yang berada di dua sisi ekstrem merupakan sifat yang tercela.
Dengan demikian, yang dimaksud dengan perbaikan budi pekerti adalah mengembalikan elemen amarah dan nafsu pada titik keseimbangan.
Allah S.w.t. juga berfirman, Dan (termasuk hamba-hamba Tuhan Yang Maha Pengasih adalah) orang-orang yang apabila menginfakkan (harta), mereka tidak berlebihan dan tidak (pula) kikir, tetapi di antara keduanya secara wajar (QS Al-Furqan [25]: 67). Dan janganlah engkau jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan jangan (pula) engkau terlalu mengulurkannya (sangat pemurah) (QS Al-Isra’ [17]: 29). Makan dan minumlah kalian, tetapijangan berlebihan (QS Al-A’raf [7]: 31). Mengenai amarah, Allah pun berfirman, (Orang-orang yang bersama Nabi) bersikap tegas kepada orang-orang kafir dan penuh kasih kepada sesama mereka (QS Al-Fath [48]: 29). Demikian pula kedermawanan berada di antara pemborosan dan kekikiran, keberanian di antara kegentaran dan kesembronoan, dan’iffah di antara ketamakan dan kebekuan (tidak bernafsu). Jadi, semua sifat baik berada di tengah, sedangkan semua sifat yang berada di dua sisi ekstrem merupakan sifat yang tercela.
Hanya saja, seorang guru ruhani dalam membimbing murid-muridnya diharuskan untuk menistakan perilaku emosional dan kikir secara mutlak. Tujuannya, agar para murid tidak menyisakan kebakhilan dan kemarahan. Jika mereka berusaha dengan sungguh-sungguh untuk melenyapkan kebakhilan dan kemarahan, tentu tidak mudah bagi mereka untuk melenyapkan keduanya. Dengan begitu, mereka akan kembali pada titik tengah.
Puncak dari budi pekerti adalah tercerabutnya kecintaan pada dunia dan tertanamnya kecintaan kepada Allah S.w.t. di dalam jiwa
Cara Memperoleh Budi Pekerti Yang Baik
Engkau sudah tahu bahwa budi pekerti yang luhur berasal dari keseimbangan kekuatan nalar, kesempurnaan kebijakan, keseimbangan elemen amarah dan nafsu, serta ketundukan kedua elemen tersebut pada syariat dan nalar. Keseimbangan berbagai unsur tersebut bisa diperoleh dengan dua cara:
1). Melalui anugerah llahi dan kesempurnaan fitrah.
2). Melalui pelatihanan dan penempaan diri, yaitu dengan membiasakan diri mengerjakan perbuatan-perbuatan baik. Maka, siapa yang ingin memiliki sifat dermawan, ia harus memaksakan diri untuk mengerjakan perilaku-perilaku dermawan, yaitu menyedekahkan harta benda. Tidak hanya itu, ia pun harus memaksakan diri untuk melakukannya secara terus-menerus sehingga menjadi terbiasa dan menjadi mudah baginya untuk melakukannya. Begitu pula jika ada orang yang ingin mempunyai sifat rendah hati. Ia harus membiasakan dirinya untuk mempraktikkan berbagai perilaku orang-orang yang rendah hati sehingga perilaku-perilaku itu menjadi sifat yang melekat pada dirinya.
1). Melalui anugerah llahi dan kesempurnaan fitrah.
2). Melalui pelatihanan dan penempaan diri, yaitu dengan membiasakan diri mengerjakan perbuatan-perbuatan baik. Maka, siapa yang ingin memiliki sifat dermawan, ia harus memaksakan diri untuk mengerjakan perilaku-perilaku dermawan, yaitu menyedekahkan harta benda. Tidak hanya itu, ia pun harus memaksakan diri untuk melakukannya secara terus-menerus sehingga menjadi terbiasa dan menjadi mudah baginya untuk melakukannya. Begitu pula jika ada orang yang ingin mempunyai sifat rendah hati. Ia harus membiasakan dirinya untuk mempraktikkan berbagai perilaku orang-orang yang rendah hati sehingga perilaku-perilaku itu menjadi sifat yang melekat pada dirinya.
Semua budi pekerti yang terpuji bisa diperoleh dengan cara demikian. Allah S.w.t. berfirman di dalam bab shalat, Dan (shalat) itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyuk (QS Al-Baqarah [2]: 45). Rasulullah S.a.w pun bersabda, “Beribadahlah kepada Allah dalam keadaan senang. Jika tidak bisa, pada kesabaran dalam menjalankan apa yang tidak kau sukai (baca: ibadah) terdapat banyak kebajikan.”.
Maksud dari semua ibadah tiada lain ialah untuk memberi kesan di dalam hati. Hal tersebut hanya bisa menjadi kuat dengan banyaknya pengulangan. Adapun puncak dari budi pekerti adalah tercerabutnya kecintaan pada dunia dan tertanamnya kecintaan kepada Allah S.w.t. di dalam jiwa. Jika jiwa bisa menikmati kebathilan dan senantiasa berhasrat padanya karena kebiasaan, mengapa jiwa tidak bisa pula menikmati kebenaran jika sudah dikembalikan padanya dan beristiqamah melakukan kebaikan?
Engkau sudah tahu bahwa budi pekerti yang baik terkadang merupakan bawaan sejak lahir atau fitrah, terkadang muncul karena pembiasaan dalam melakukan kebaikan, dan terkadang datang setelah seseorang melihat perilaku orang-orang yang berbudi luhur dan berteman dengan mereka. Maka, jika pada diri seseorang telah berkumpul budi pekerti yang terpuji karena fitrahnya memang demikian, karena pembiasaan, dan karena pembelajaran, sungguh ia telah sampai pada puncak keutamaan. Dan barang siapa secara fitrah berbudi pekerti buruk, berteman dengan orang-orang berperangai buruk, lalu belajar keburukan dari mereka, sehingga terbiasa dengan tindak keburukan dan menikmatinya, sungguh ia telah berada di tempat yang paling jauh dari Allah S.w.t.
Di antara dua kedudukan itu, terdapat orang-orang dengan kedudukan yang berbeda-beda. Kedekatan dan kejauhan mereka dari Allah berbeda-beda sesuai dengan budi pekerti mereka masing-masing. Maka barang siapa mengerjakan kebaikan seberat zarrah, niscaya dia akan melihat (balasan)nya; dan barangsiapa mengerjakan keburukan seberat zarrah, niscaya dia akan melihat (balasan)nya (QS Al-Zalzalah [99]: 7-8). Kami tidak menzalimi mereka, justru merekalah yang menzalimi diri mereka sendiri (QS Al-Nahl [16]: 118).
Secara umum, cara untuk memperbaiki budi pekerti adalah dengan melakukan sifat-sifat yang berlawanan dengan keinginan hawa nafsu
Perincian Cara Memperbaiki Budi Pekerti
Dalam hal penyembuhan, jiwa bagaikan badan. Penyembuhan jiwa dilakukan dengan membersihkan sifat-sifat hina dan menghadirkan sifat-sifat mulia, sedangkan penyembuhan badan dengan membersihkan berbagai penyakit dan mengupayakan kebugaran badan. Secara fitrah, tubuh manusia berada dalam keseimbangan di antara elemen-elemen di dalamnya, tetapi tubuh kemudian bisa menjadi sakit karena pengaruh makanan, udara, dan lingkungannya. Seorang anak pun demikian. Setiap bayi dilahirkan dengan fitrahnya, tetapi ayah dan ibunya yang membuatnya menjadi pemeluk Yahudi, Nasrani, atau Majusi. Tubuh pun pada awalnya tidak diciptakan dalam kondisi yang sempurna. Ia bisa menjadi sempurna dan kuat hanya setelah tumbuh, memperoleh pendidikan, dan mendapatkan asupan makanan. jiwa pun seperti itu. Ia diciptakan dalam potensi untuk bisa menjadi. sempurna. Ia hanya bisa menjadi sempurna dengan pendidikan, budi pekerti yang baik, dan asupan ilmu.
Seorang guru panutan yang hendak menyembuhkan jiwa para murid dan memperbaiki kondisi hati mereka hendaknya tidak tergesa-gesa dalam merekomendasikan latihan dan amalan kepada murid-muridnya selagi belum mengetahui budi pekerti dan penyakit mereka. Ia hendaknya mengobati penyakit hati dan jiwa mereka setelah terlebih dahulu memeriksa penyakit mereka, keadaan mereka, dan seberapa besar kekuatan mereka untuk melakukan penempaan diri.
Jika seorang murid masih pemula dan belum mengerti dasar-dasar syariat, hendaknya sang guru terlebih dahulu mengajarkan kepadanya bab tentang bersuci, shalat, dan berbagai ibadah ragawi lainnya. Jika seorang murid berkecimpung dalam dunia haram atau kemaksiatan, sang guru hendaknya terlebih dahulu memerintahkannya untuk meninggalkan dunia haram atau kemaksiatan tersebut. Apabila seorang murid sudah menjalankan ibadah-ibadah ragawi dengan baik dan meninggalkan kemaksiatan-kemaksiatan lahiriah, barulah sang guru bisa memperhatikan sisi batiniahnya guna mengetahui budi pekerti dan penyakit-penyakit di hatinya. Setelah itu sang guru hendaknya secara bertahap membersihkan hati sang murid dari virus-virus batin dan merawatnya.
Salah satu rahasia penempaan diri: jika seorang murid kesulitan meninggalkan suatu sifat buruk, seorang guru tidak boleh langsung memberikan terapi berupa kebalikan dari sifat itu secara seketika. Ia hendaknya membawa sang murid dari sifat buruk itu ke sifat buruk lain yang 'lebih ringan' terlebih dahulu. Hal ini sebagaimana anak-anak di sekolah. Pada awalnya mereka didorong untuk menyukai permainan, kemudian didorong untuk menyukai kerapian dan keindahan berpakaian, kemudian didorong untuk menjadi pemimpin dan mendapatkan kedudukan, baru kemudian didorong untuk mencintai akhirat.
Ada sebagian orang berlatih untuk membiasakan diri bersabar dengan menyewa seseorang untuk mencacinya di depan khalayak. Ia memaksakan diri bersabar dan menahan amarah sehingga bersabar menjadi biasa baginya. Sebagian yang lain merasa dirinya penakut, lantas ia ingin mempunyai sifat pemberani. Ia pun naik perahu di laut pada musim dingin, ketika gelombang sedang bergejolak.
Secara umum, cara untuk memperbaiki budi pekerti adalah dengan melakukan sifat-sifat yang berlawanan dengan keinginan hawa nafsu. Hal ini telah Allah jelaskan secara global dalam satu kalimat-Nya, Adapun orang-orang yang takut pada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari (keinginan) hawa nafsunya, sesungguhnya surga adalah tempat tinggal(nya) (QS AI-Nazi’at [79]: 40-41).
Adapun pokok terpenting dalam upaya memperbaiki budi pekerti adalah komitmen terhadap apa yang telah ditekadkan. Jika seseorang sudah berkomitmen untuk meninggalkan suatu sifat yang buruk, tetapi hal-hal yang bisa menggagalkan komitmen tersebut begitu banyak dan mudah maka hendaknya ia bersabar dan tetap meneruskan komitmennya. Jika seseorang terbiasa membatalkan komitmennya, jiwanya menjadi lemah, lalu rusak.
Cobaan pertama dan utama yang dihadapi budi pekerti yang baik adalah kesabaran dalam menerima perlakuan buruk dan ketegaran dalam menghadapi perilaku kasar. Barang siapa mengeluhkan keburukan budi pekerti orang lain, itu menunjukkan keburukan budi pekertinya sendiri
Tanda-tanda Budi Pekerti Yang Baik
Sebagian orang yang telah berjuang untuk menempa diri dengan perjuangan kecil berupa menjauhi dosa-dosa besar, terkadang beranggapan bahwa mereka telah berhasil memperbaiki budi pekerti mereka. Oleh sebab itu, tanda-tanda budi pekerti yang baik perlu dijelaskan di sini..
Sesungguhnya budi pekerti yang baik ialah iman. Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam telah bersabda, “Tidak sempurna iman seseorang di antara kalian sebelum ia mampu mencintai saudaranya sebagaimana mencintai dirinya sendiri.”. Beliau juga menyatakan, “Barang siapa beriman kepada Allah dan rasuI-Nya, hendaknya ia memuliakan tamunya; dan barang siapa beriman kepada Allah dan rasul-Nya, hendaknya ia mengucapkan perkataan yang baik atau diam saja” Sabdanya yang lain, “Jika engkau menemukan orang yang diberi anugerah kezuhudan terhadap dunia dan sedikit bicara, mendekatlah kepadanya. Sesungguhnya ia memancarkan hikmah.” Rasulullah juga bersabda, “Barang siapa merasa senang dengan kebaikannya dan merasa susah dengan keburukannya, sesungguhnya ia seorang mukmin.”.
Cobaan pertama dan utama yang dihadapi budi pekerti yang baik adalah kesabaran dalam menerima perlakuan buruk dan ketegaran dalam menghadapi perilaku kasar. Barang siapa mengeluhkan keburukan budi pekerti orang lain, itu menunjukkan keburukan budi pekertinya sendiri. Pada suatu hari Rasulullah S.a.w berjalan bersama Anas R.a. Beliau mengenakan selendang Najran yang pinggiran kainnya kasar. Lalu bertemulah mereka dengan seorang Arab badui dan orang itu tiba-tiba menarik dengan keras selendang di leher Rasul. Anas R.a. menceritakan, “Aku melihat leher Rasulullah S.a.w, tampak selendang itu meninggalkan bekas di leher Beliau karena kerasnya tarikan orang badui tersebut. Orang itu lalu mengatakan, ‘Wahai Muhammad. Beri aku harta Allah yang ada padamu.’ Baginda Rasul lantas menoleh kepadanya dan tertawa. Kemudian Beliau memerintahkanku untuk memberinya sesuatu.”.
Pada suatu hari, Ibrahim bin Adham pergi ke kawasan gurun. Lalu datanglah seorang tentara kepadanya seraya bertanya, “Apakah engkau seorang hamba?” Ia menjawab, “Ya.” Tentara itu kembali bertanya, “Di manakah permukiman?” Ibrahim menunjuk pada tanah kuburan. Tentara itu mengatakan, “Maksudku tanah permukiman.” Ia menjawab, “Ya, itu tanah permukiman.” Jawaban Ibrahim membuat marah sang tentara. Lalu tentara itu mencambuk kepala Ibrahim bin Adham hingga kepalanya berdarah. Lantas ia membawa Ibrahim ke negerinya. Di sana, sang tentara disambut oleh teman-temannya. Mereka bertanya, “Ada apa?” Sang tentara lalu menceritakan kepada mereka apa yang telah terjadi. Mereka pun memberitahukan, “Ini adalah Ibrahim bin Adham.” Sang tentara itu lantas buru-buru turun dari kudanya, lalu mencium kedua tangan dan kaki Ibrahim, seraya meminta maaf. Setelah itu ditanyakan kepada Ibrahim, “Mengapa Anda katakan kepadanya bahwa Anda seorang hamba sahaya?” Ibrahim menjawab, “Dia tidak menanyakan kepadaku, hamba siapakah aku. Dia hanya menanyakan, apakah aku hamba. Maka aku pun mengiyakan karena aku memang hamba Allah. Ketika ia memukul kepalaku, aku memohon kepada Allah surga untuknya.” Lalu ditanyakan kepada Ibrahim, “Mengapa Anda mintakan surga untuknya, padahal dia menzalimimu?” Ibrahim menjawab, “Karena aku tahu bahwa aku mendapatkan pahala atas apa yang ia lakukan terhadapku. Aku tidak ingin diriku mendapatkan pahala karena dia, sementara pada saat yang sama dia mendapatkan dosa karena (menyakiti) aku.”
Sahal At-Tustari pernah ditanya tentang budi pekerti yang baik. Ia menjawab, “Setidaknya, budi pekerti yang baik adalah bersikap tegar dalam menghadapi perlakuan buruk, tidak mengharap balasan atas kebaikan, serta mengasihi orang yang berbuat zalim dan memintakan ampun untuknya.”
Diriwayatkan bahwa jika Uwais Al-Qarni terlihat oleh anak-anak kecil, ia akan dilempari dengan bebatuan oleh mereka. Jika sudah demikian, ia akan berkata kepada mereka, “Wahai saudara-saudaraku. Jika kalian memang harus melempariku, lempari aku dengan bebatuan kecil saja, jangan lukai betisku hingga mencegahku untuk melaksanakan shalat.”
Seorang lelaki mencaci maki Ahnaf bin Qais, tetapi Ahnaf tidak menggubrisnya. Lelaki itu pun membuntuti Ahnaf. Ketika sudah dekat dengan perkampungan, Ahnaf berhenti. Kepada lelaki itu ia berkata, “Jika di hatimu masih ada hal yang ingin kausampaikan, katakan saja di sini agar orang-orang bodoh dari kampung di depan tidak mendengar caci makimu. Jika sampai mendengarnya, mereka bisa menyakitimu.”.
Dikisahkan bahwa Sayyidina Ali ~semoga Allah memuliakannya~ memanggil budak lelakinya, tetapi budak itu tidak menghiraukan. Sayyidina Ali pun menyerunya hingga tiga kali, tetapi tetap saja budak itu mengabaikan. Maka bangkitlah Sayyidina Ali mendatanginya. Ternyata budak itu sedang berbaring. Sayyidina Ali bertanya, “Tidakkah kaudengar seruanku?” Si budak menjawab, “Ya, aku mendengarnya.” Sayyidina Ali kembali bertanya, “Lalu apa sebabnya engkau tidak menjawab panggilanku?” Si budak menjawab, “Saya tidak takut akan Anda hukum. Karenanya, saya malas menjawab seruan Anda.” Lalu berkatalah Sayyidina Ali, “Pergilah. Engkau sekarang merdeka karena Allah.”.
Seorang perempuan memanggil Malik bin Dinar dengan seruan, “Wahai tukang pamer.” Malik bin Dinar membalas, “Hai perempuan. Sungguh engkau telah mengetahui namaku, padahal penduduk Basrah tidak mengetahuinya.”.
Dikisahkan bahwa Yahya bin Ziyad mempunyai seorang budak yang buruk perangainya. Lalu ia ditanya, “Mengapa tidak kau lepaskan saja budakmu itu?” Yahya menjawab, “Agar aku bisa belajar bersikap sabar darinya.”.
اَللَّÙ‡ُÙ…َّ صَÙ„ِّ عَÙ„َÙ‰ سَÙŠِّدِÙ†َا Ù…ُØَÙ…َّدٍ ÙˆَاَÙ„ِÙ‡ِ ÙˆَصَØْبِÙ‡ِ ÙˆَسَÙ„ِّÙ…ْ
~ Al Habib Umar bin Hafidz ~
Ringkasan Bab Mukhlikat Ihya ‘Ulum al-Din, Bab Kedua dari Kuarter al-Muhlikat
Sumber: www.alhabibahmadnoveljindan.org
Baca juga: Keajaiban-keajaiban Hati
EmoticonEmoticon