Mengagungkan Rasulullah S.A.W - Sebuah Hakikat Kemurnian Tauhid

Tiada se­orang pun yang lebih aku cintai daripada Rasulullah S.a.w, dan tiada seorang pun lebih agung di mataku daripada Beliau S.a.w


Dalam kisah Nabi Ibrahim dan putranya Nabi Ismail Alaihis Salam, di antara inti makna penting yang terkandung di dalamnya ada­lah sebuah kemurnian tauhid dan hakikat iman itu sendiri. Bahwa, dalam hal ibadah kepada Allah S.w.t, Nabi Ibrahim tidak menimbang perkara agama de­ngan pikirannya, melainkan semata-mata tunduk dan pasrah terhadap ke­hendak dan perintah Allah S.w.t. Bahkan di saat pikiran dan akal 'sempit' manusia tidak bisa menerima bila harus membunuh (menyembelih) putranya sendiri, Nabi Ibrahim me­nafikan semua itu dan sepenuhnya tun­duk patuh kepada perintah Allah S.w.t.

Bila itu adalah perintah Allah, tidak ada celah sedikit pun bagi akal untuk menim­bangnya selain patuh dan tunduk ke­pada Yang Maha Pemberi perintah. Ka­rena yang demikian itulah inti dan haki­kat kemurnian tauhid yang sesungguh­nya. Karena, bila dalam hal ini akal sem­pit manusia masuk, maka sesungguhnya dia tengah mencontoh perilaku makhluk Allah yang pertama kali menimbang-nimbang perkara agama hanya dengan akal pikirannya, yakni Iblis, yang karena perbuatannya itu Iblis terusir dari rahmat Allah S.w.t. Na‘udzu billah min dzalik.

Untuk lebih memahami dari makna-mak­na kemurnian tauhid dan hakikat iman, marilah kita menyimak apa yang dituturkan oleh Sayyidina Al Habib Ali Al-Jufri dalam salah satu majelisnya.

Kita meng­agungkan Nabi S.a.w karena Allah telah mengagungkan Nabi S.a.w dan meme­rintahkan hamba-hamba-Nya untuk mengagungkan Beliau S.a.w

Setelah Allah S.w.t menciptakan Adam A.s dari tanah dan meniupkan ke­padanya ruh dari sisi-Nya dan memerin­tahkan para malaikat supaya bersujud kepada Adam, timbullah dua bentuk ke­samaran. Yaitu, pertama, kesamaran yang berasal dari dzat yang tidak ter­dapat padanya kesombongan (al-kibr) akan tetapi ingin memahami sesuatu, me­reka adalah para Malaikat. Dan, ke­dua, kesamaran yang berasal dari dzat yang padanya terdapat kesombongan, yakni Iblis.

Para malaikat berkata, sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an, “Mereka ber­kata, ‘Mengapa Engkau hendak men­jadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan me­numpahkan darah, padahal kami se­nantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?’.”. (QS Al-Baqarah: 30).

Ini adalah pertanyaan untuk mencari penjelasan. Perkataan itu diucapkan oleh para malaikat karena merasa samar dalam perkara tersebut.

Para malaikat adalah makhluk Allah S.w.t yang sepenuhnya beribadah ke­pada Allah dan bertasbih kepada-Nya. Mereka makhluk yang tercipta dari caha­ya, yang tidak pernah mendurhakai Allah dalam segala hal yang diperintahkan-Nya dan senantiasa menunaikan apa yang diperintahkan kepada mereka.

Tiba-tiba Allah ciptakan satu makhluk yang terbuat dari tanah, belum pernah satu kali pun sujud kepada-Nya, dan ti­dak pula tampak adanya keutamaan dan keistimewaannya dibanding mereka, para malaikat. Dalam kondisi semacam itu, Allah justru berfirman kepada me­reka, “Sujudlah kalian kepadanya (Sesungguhnya Aku telah menjadikan se­orang khalifah di muka bumi).”.

Malaikat berkata, “Bagaimana mung­kin wujud seperti itu disebut khalifah (wa­kil Allah)? Padahal kami senantiasa ber­sujud dan menunaikan segala perintah?

Allah S.w.t berfirman, “Sesungguh­nya Aku lebih mengetahui segala apa yang tidak kalian ketahui.” (QS Al-Baqarah: 30).

Mendapat jawaban dari Allah S.w.t semacam itu, para malaikat pun berhenti sampai batas itu. “Benar, Maha Suci Eng­kau. Engkau Maha Mengetahui segala apa yang kami tidak ketahui.”. Maka sele­sailah masalahnya.

Sedangkan Iblis memiliki kesom­bong­an di dalam dirinya. Ia menisbahkan segala perbuatan dan ibadahnya kepa­da dirinya sendiri dan tidak kepada taufiq Allah S.w.t. Ia memandang bahwa diri­nya lebih mulia dari selainnya.

Kala itu Iblis berkata, “Bagaimana mung­kin, ia tercipta dari tanah, dan Eng­kau ingin aku sujud kepadanya?

Allah berfirman, “Apakah yang meng­halangimu untuk bersujud (kepada Adam) di waktu Aku menyuruhmu?” (QS Al-A`raf: 12).

Menjawablah Iblis, “Aku lebih baik daripadanya.” (QS Al-A`raf: 12).

Iblis membanding-bandingkan diri­nya dengan Adam. “Engkau ciptakan aku dari api sedang dia Engkau ciptakan dari tanah.” (QS Al-A`raf: 12).

Allah berfirman, “Turunlah engkau dari surga itu....” (QS Al-A`raf: 13).

Perhatikan!.. Di sini permasalahan sesungguhnya berasal dari dalam diri Iblis yang kemudian menjadi tabiat. Apa tabiatnya?.. Yakni menolak sujud, men­durhakai Allah S.w.t, dan tidak melak­sanakan perintah Allah S.w.t.

Tabiat ini telah mencegah Iblis dari me­lakukan apa yang diperintahkan ke­padanya. Setelah itu keluarlah darinya ucapan, “Aku lebih baik darinya.”. Sete­lahnya muncul lagi sikap untuk menetap­kan dirinya dalam kebathilan dan kedur­hakaan. “Demi kekuasaan Engkau, aku akan menyesatkan mereka semuanya.” (QS Shaad: 82).

Kepada siapa Iblis berkata demiki­an?.. Iblis berkata demikian kepada Tu­han, Yang Maha Agung. Maha Suci Allah dan Maha Tinggi. Siapa yang dia ten­tang?!.. yang dia tantang adalah Allah S.w.t.

Demikianlah Iblis, yang karena kesungguhan ibadahnya kepada Allah sampai dijuluki thawus al-malaikah (mah­kota para malaikat) harus terusir dari rahmat Allah S.w.t selama-lamanya karena dia telah menimbang perkara agama dengan kesempitan akal pikiran­nya, sehingga lahir di dalam hatinya sifat ujub, yang kemudian berkembang men­jadi takabur, dan berkembang lagi men­jadi hasad, dan seterusnya hingga men­jadi makhluk terlaknat karena telah menobatkan dirinya sebagai penentang, pendurhaka, dan pengingkar sejati ter­hadap Allah S.w.t, Tuhan Penciptanya. Naudzu billah mindzalik.

Berkaitan dengan makna-makna ini, banyak di kalangan umat Islam, baik se­cara sadar maupun tidak, dan karena ke­bodohannya, telah menjerumuskan diri­nya ke jurang perilaku dan sikap yang di­pilih oleh Iblis dibanding memilih peri­laku dan sikap yang dipilih oleh para ma­laikat dan Nabi Ibrahim A.s dan hamba-hamba Allah yang shalih seperti mereka. Yakni, menimbang perkara-perkara aga­ma dengan kesempitan dan kepicikan akal pikiran mereka sendiri.

Di antara kesalahan sikap dan peri­laku keberagamaan yang sangat fatal itu adalah pandangan mereka yang meng­anggap pengagungan terhadap Nabi S.a.w dan para Shalihin dalam bentuk apapun sebagai perbuatan kufur dan syirik, (juga beranggapan) hal tersebut bukan hanya wajib dijauhi te­tapi juga harus diperangi pelakunya karena dianggap telah menyalahi syari’at Islam dan menyebarkan paham kufur dan syirik. Hal ini tidak lain semata-mata karena menurut akal dan pikiran mereka, bahwa Rasulullah S.a.w tidak lain hanyalah se­orang manusia biasa, sama seperti ma­nusia lainnya. Mengagungkan Nabi S.a.w berarti telah menyekutukan Allah S.w.t dengan makhluk, karena peng­agung­an semata-mata hanya ditujukan kepada Allah S.w.t.

Dalam hal ini, sesungguhnya mereka lupa dan bodoh terhadap makna bahwa sesungguhnya pengagungan terhadap Nabi S.a.w tidak lain semata-mata me­nunaikan perintah Allah S.w.t. Kita meng­agungkan Nabi S.a.w karena Allah telah mengagungkan Nabi S.a.w dan meme­rintahkan hamba-hamba-Nya untuk mengagungkan Beliau S.a.w. Mudahnya, bila kita mengagungkan Nabi S.a.w, berarti kita mengikuti jejak para malaikat, Nabi Ibrahim A.s, dan orang-orang yang meng­ikuti mereka, yang taat dan patuh kepada perintah Allah S.w.t. Dan bila kita ber­buat sebaliknya, dengan meremehkan makna keagungan yang telah Allah beri­kan kepada Nabi S.a.w, kita telah mengi­kuti jejak Iblis, yang terusir dari rahmat Allah karena menimbang perkara agama dengan akal pikirannya yang sempit. Na’udzu billah tsumma na’udzu billah.

Untuk lebih memahami makna peng­agungan antara makna adab dan iba­dah, yang keduanya merupakan hakikat sesungguhnya dari penghambaan dan ibadah kepada Allah S.w.t, mari kita re­nungi dan cermati apa yang diungkap­kan oleh Sayyidina Abuya Muhammad bin Alawi Al-Maliki, dalam kitabnya Ma­fahim yajib an-tushahhah.

Perkara agung yang harus diperhatikan de­ngan sebaik-baiknya ialah kewa­jib­an mengagungkan Nabi S.a.w dan me­ninggikan kedudukan Beliau S.a.w di atas sekalian makhluk

Abuya Sayyid Muhammad bin Alawi Al Maliki Al Hasani berkata, “Banyak orang salah da­lam memahami hakikat ta`zhim (penga­gungan) dan hakikat ibadah, sehingga mereka mencampur-adukkan antara ke­duanya secara jelas dan nyata. Mereka memandang segala bentuk pengagung­an adalah ibadah kepada Yang Maha Agung. Berdiri (menyambut), mencium tangan, menga­gungkan Nabi S.a.w dengan ucapan ‘Say­yidina dan Maulana’ (Penghulu dan Junjungan kami), berdiri di hadapan makam Beliau pada saat ziarah dengan pe­nuh adab dan rendah diri, dalam pan­dangan mereka semua itu adalah ghu­luw (perilaku berlebihan) yang mengarah kepada beribadah kepada selain Allah S.w.t, (dan juga dalam pan­dangan mereka) semua itu adalah kebodohan dan keingkaran yang tidak diridhai oleh Allah S.w.t, dan perbuatan tidak berdasar yang ditolak oleh ruh syari’at Islam.

Adalah Nabi Adam A.s manusia pertama dan hamba Allah pertama dari para ham­ba Allah yang shalih dari kalangan manusia. Allah perintahkan para malai­kat untuk bersujud kepadanya sebagai penghormatan dan pengagungan bagi­nya karena apa yang telah Allah anu­gerahkan kepadanya dari ilmu sekaligus juga sebagai pemberitahuan kepada mereka tentang kesuciannya di antara segenap makhluk-Nya.

Allah S.w.t berfirman, “Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para ma­laikat, ‘Sujudlah kalian semua kepada Adam, maka mereka pun bersujud, ke­cuali Iblis. Ia berkata: Apakah aku bersu­jud kepada makhluk yang Engkau cipta­kan dari tanah? Iblis berkata: Terang­kanlah kepadaku, inikah orangnya yang Engkau muliakan atas diriku?’.” (QS Al-Isra’: 61-62). Dan pada ayat yang lain Iblis berkata, “Aku lebih baik daripada­nya. Engkau ciptakan aku dari api se­dang dia Engkau ciptakan dari tanah.” (QS Al-A`raf: 12). Dan pada ayat yang lain lagi Allah S.w.t berfirman, “Maka ber­sujudlah seluruh malaikat itu bersama-sama kecuali Iblis. Dia enggan untuk (ikut bersujud) bersama mereka yang sujud itu.” (QS Al-Hijr: 30-31).

Di sini, para malaikat mengagungkan siapa yang Allah agungkan sedangkan Iblis menyombongkan diri dari sujud ke­pada makhluk (Nabi Adam A.s) yang di­ciptakan dari tanah. Iblis adalah makhluk pertama yang 'menimbang' perkara aga­ma hanya dengan pikirannya dan ber­kata, “Aku lebih baik darinya.” Dia mendasarkan pikirannya itu dengan dalil penciptaan dirinya yang tercipta dari api dan penciptaan Nabi Adam A.s yang berasal dari tanah. Dengan pendasaran semacam itu, Iblis menganggap remeh perkara penghormatan terhadap Nabi Adam dan menolak sujud kepada­nya. Dengan itu, Iblis adalah makhluk pertama yang menyombongkan dirinya. Ia tidak mengagungkan siapa yang Allah agungkan, sehingga Iblis diusir dari rah­mat Allah Sw.t karena kesombongan­nya terhadap hamba yang shalih ini (Nabi Adam Alaihi Salam). Dalam konteks ini, apa yang diperbuat Iblis itu sesungguhnya hakikat takabur (kesombongan) terhadap Allah S.w.t, karena sesungguhnya sujud kepada Nabi Adam itu tidak lain semata-mata karena perintah Allah S.w.t.

Dan sesungguhnya sujud kepada Nabi Adam di sini adalah pemuliaan dan penghormatan baginya yang diperin­tahkan atas mereka. Dan Iblis sesung­guhnya bagian dari hamba-hamba yang mentauhidkan Allah, tetapi sungguh tiada berguna baginya tauhidnya.

Di antara penjelasan yang mene­rangkan ihwal pengagungan terhadap para Shalihin adalah firman Allah S.w.t yang mengisahkan Nabi Yusuf A.s, “Dan ia menaikkan kedua ibu-bapaknya ke atas singgasana. Dan mereka semua merebahkan diri seraya bersujud kepada Yusuf.” (QS Yusuf: 100). Mereka, para saudara Nabi Yusuf, sujud kepada Nabi Yusuf sebagai penghormatan dan pengagungan baginya. Dan sujud para saudara Nabi Yusuf kepadanya dijelaskan dalam firman Allah S.w.t “Wa kharruu (dan mereka bersujud)”, yang su­jud semacam demikian dibolehkan da­lam syari’at mereka, atau seperti sujud­nya para malaikat kepada Nabi Adam sebagai bentuk penghormatan dan pengagungan serta menjalankan perintah Allah S.w.t, yang itu adalah tafsir dari mimpi Nabi Yusuf Alaihi Salam, sedangkan mimpi para Nabi adalah wahyu.

Adapun mengenai Nabi kita, Sayyi­dina Muhammad S.a.w, Allah S.w.t ber­firman pada hak Beliau S.a.w, “Sesung­guhnya Kami mengutusmu untuk jadi saksi dan pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan. Supaya kalian ber­iman kepada Allah dan Rasul-Nya, menguatkannya dan membesar­kan­nya....” (QS Al-Fath: 8-9).

Allah juga ber­firman, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mendahului Allah dan Rasul-Nya....” (QS Al-Hujarat: 1). Firman-Nya juga, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian meninggikan suara kalian lebih dari suara Nabi....” (QS Al-Hujarat: 2). Allah pun berfirman, “Ja­nganlah kalian jadikan panggilan Rasul di antara kalian seperti panggilan seba­hagian kalian kepada sebahagian yang lain....” (QS An-Nur: 63).


Allah S.w.t melarang untuk berbuat lancang di hadapan Beliau S.a.w, baik dengan ucapan maupun dengan adab yang buruk dengan mendahului Beliau S.a.w berkata-kata.

Abu Muhammad Makki berkata, “Yakni, jangan mendahului Beliau dalam pembicaraan, jangan berkata kasar ke­pada Beliau, dan jangan memanggil Be­liau seperti kalian memanggil sebagian kalian yang lain. Akan tetapi, agung­kan­lah Beliau, besarkan Beliau, dan panggil­lah Beliau dengan panggilan yang paling mulia yang Beliau sukai untuk dipanggil de­ngan panggilan itu, yaitu ‘Wahai Ra­sulullah... Wahai Nabi Allah...’. Yang demikian ini sebagaimana firman Allah S.w.t, ‘Janganlah kalian jadikan panggil­an Rasul di antara kalian seperti panggil­an sebahagian kalian kepada sebaha­gian yang lain...’ (QS An-Nur: 63).”, Ayat ini turun karena ada sekelompok orang yang mendatagi Nabi S.a.w dan berseru, “Hai Muhammad, keluarlah dan temui kami.”, Allah menghardik mereka dengan mensifati mereka dengan kejahilan dan menegaskan bahwa kebanyakan mere­ka tidak memiliki akal.

Amr bin ‘Ash R.a berkata, “Tiada se­orang pun yang lebih aku cintai daripada Rasulullah S.a.w dan tiada seorang pun lebih agung di mataku daripada Beliau S.a.w. Sungguh aku tiada sanggup untuk memenuhi pandangan mataku pada Beliau sebagai penggagunganku kepada Beliau S.a.w. Dan bila saja aku diminta untuk mensifati Beliau, sungguh aku tiada sanggup melakukannya, karena aku tidak dapat memenuhi pandangan mataku pada Beliau S.a.w.” (HR Muslim).

Urwah bin Mas‘ud berkata kepada orang-orang Quraisy: “Wahai segenap orang Quraisy, sungguh aku telah men­datangi Kisra di kerajaannya dan Kaisar di kerajaannya dan juga Najasyi di istananya. Demi Allah, aku tidak pernah sekali pun melihat seorang raja di tengah rakyatnya seperti Muhammad di antara para sahabatnya.”. Ungkapan ini dikata­kan oleh Urwah setelah ia datang ber­sama serombongan Quraisy mengha­dap Nabi S.a.w pada peristiwa Qadhiy­yah.

Urwah menyaksikan bagaimana penga­gungan para sahabat kepada Rasulullah S.a.w, yang tidaklah Rasulullah S.a.w ber­wudhu kecuali mereka berebut sisa air wudhu Nabi S.a.w, seolah mereka hen­dak saling membunuh untuk men­da­patkan bekas wudhu Beliau S.a.w, dan tidak pula Nabi S.a.w meludah atau membuang riak kecuali para Sahabat sa­ling berebut untuk mendapatkan ludah mu­lia Rasulullah S.a.w dan mengusap­kan­nya ke wajah dan badan mereka, ti­dak pula jatuh sehelai rambut pun dari rambut Rasulullah S.a.w kecuali mereka sa­ling berebut mendapatkannya. Jika Be­liau memerintahkan sesuatu, mereka bersegera menunaikan perintahnya. Bila Beliau berbicara, mereka merendahkan suara mereka di hadapan Beliau dan ti­dak menghadapkan pandangan mereka ke arah Beliau karena mengagungkan Beliau S.a.w....

Kesimpulannya, di sini terdapat dua perkara agung yang harus diperhatikan de­ngan sebaik-baiknya. Pertama, kewa­jib­an mengagungkan Nabi S.a.w dan me­ninggikan kedudukan Beliau S.a.w di atas sekalian makhluk. Kedua, memurnikan ke­tuhanan dan meyakini sepenuh hati bahwa Allah S.w.t Maha Esa pada dzat-Nya, sifat-sifat-Nya, dan pada perbuat­an-perbuatan-Nya dari sekalian makh­luk-Nya. Barang siapa meyakini adanya kebersekutuan makhluk pada Tuhan Yang Maha Pencipta S.w.t pada semua itu, ia telah berbuat syirik, seperti orang-orang musyrik yang meyakini adanya si­fat ketuhanan pada sekalian berhala dan kepatutannya untuk disembah. Dan ba­rang siapa yang merendahkan Nabi S.a.w pada sesuatu dari kedudukan Be­liau S.a.w, sungguh orang itu telah ber­buat maksiat atau bahkan kafir.

Adapun siapa yang berbuat semak­simal mungkin dalam mengagungkan Nabi S.a.w dengan berbagai macam ben­tuk pengagungan dan tidak mensifati Beliau S.a.w dengan sesuatu dari sifat-sifat Al-Bari (Yang Maha Pencipta) S.w.t, sungguh orang itu telah melakukan ke­be­naran dan telah menjaga sisi ketuhan­an dan risalah seluruhnya. Yang demiki­an itulah pandangan yang tiada ke-eks­treman di dalamnya.

Bila di dalam ungkapan kaum muk­minin terdapat penyandaran (isnad) se­suatu kepada selain Allah S.w.t, kita wa­jib memaknai ungkapan itu kepada ma­jaz ‘aqli (makna yang tidak sesungguh­nya, bukan makna hakiki) dan tidak ada jalan (thariq) untuk mengkafirkan mere­ka. Karena majaz aqli telah digunakan dalam Al-Qur’an.

اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَاَلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلِّمْ

Wassalamu Alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh



Baca juga: Suci Lahir dan Bathin
Previous
Next Post »