Keajaiban-keajaiban Hati

"Kemuliaan dan keutamaan manusia terletak pada kesiapannya untuk mengenal Allah S.w.t (makrifat)"

Bismillahirrahmanirrahim

Segala puji  bagi Allah, yang melihat segala rahasia sanubari dan mengetahui segala yang dipendam hati. Shalawat serta salam semoga dilimpahkan kepada Nabi Muhammad Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam, pemimpin para rasul dan pengumpul ajaran-ajaran agama-agama yang berserakan, dan juga kepada keluarganya yang bersih nan suci.

Kemuliaan dan keutamaan manusia terletak pada kesiapannya untuk mengenal Allah S.w.t (makrifat). Pengetahuan tersebut di dunia merupakan suatu keindahan, kesempurnaan, dan kebanggaan. Adapun di akhirat, ia adalah bekal dan simpanan untuk menghadapi hari pembalasan. Manusia bisa bersiap diri untuk mengenal Allah hanya dengan hatinya. Hati merupakan media untuk mengenal Allah, mendekat kepada-Nya, beramal untuk-Nya, dan bergerak menggapai-Nya. Hatilah yang akan disingkapkan berbagai rahasia (kasyaf) dari sisi-Nya. Adapun segenap anggota badan hanyalah pengikut, pembantu, dan alat bagi hati.egala puji bagi Allah, yang melihat segala rahasia sanubari dan mengetahui segala yang dipendam hati. Shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Nabi Muhammad, pemimpin para rasul dan pengumpul ajaran-ajaran agama yang berserakan, dan juga kepada keluarganya yang bersih nan suci.

Hati (qalb), jiwa (nafs), ruh (ruh), dan akal (‘aql) mempunyai satu makna yang sama, yaitu suatu substansi lembut, tidak kasat mata (lathifah), yang bersifat rabbani dan ruhani, yang merupakan esensi manusia dan media baginya untuk mengenal dan mengetahui. Substansi yang bisa mengenal dan mengetahui pada diri manusia ini, kadang dinamakan hati, ruh, akal, dan kadang pula jiwa.

Namun, kata hati kadang dimaksudkan untuk menyebut daging berbentuk semacam kerucut yang terletak di sisi kiri dada manusia. Hati dengan makna ini (baca: jantung) juga terdapat pada tubuh hewan dan ia berasal dari alam malakut dan syahadah.

Kata jiwa pun kadang dimaksudkan untuk menyebut suatu konsep yang mencakup semua potensi amarah dan nafsu yang ada pada diri manusia. Kata ruh juga kadang dimaksudkan untuk menyebut suatu substansi lembut yang bersumber dari rongga jantung lalu menyebar ke segenap organ tubuh melalui jaringan pembuluh darah.

Demikian pula kata akal, terkadang dimaksudkan untuk menyebut pengetahuan mengenai hakikat segala hal. Namun, jika yang dimaksud dengan akal adalah media untuk mencerap berbagai pengetahuan, itu adalah hati. Dengan demikian, empat kata tersebut mempunyai satu makna yang sama (musytarak), yaitu suatu substansi lembut, tidak kasat mata, yang bersifat rabbani dan ruhani, yang merupakan esensi manusia dan media baginya untuk mencerap dan mengetahui.

Bala Tentara Hati

Hati mempunyai bala tentara yang bisa dikelompokkan menjadi tiga pasukan.

Pasukan pertama adalah pasukan pendorong dan penyemangat, baik untuk mendatangkan manfaat yang diinginkan—sebagaimana yang dilakukan oleh prajurit yang bernama nafsu (syahwah)—maupun untuk menolak bahaya yang merusak—sebagaimana yang dilakukan oleh prajurit yang bernama amarah (ghadhab). Pasukan penyemangat ini dinamakan kehendak (iradah).

Pasukan kedua adalah penggerak anggota badan untuk mewujudkan apa yang diinginkan pasukan kehendak. Pasukan ini dinamakan kekuatan {qudrah).

Pasukan ketiga bertugas untuk mencerap dan mengetahui berbagai hal, laksana mata-mata. Mereka adalah indra penglihat, pendengar, pencium, perasa, dan peraba. Pasukan ini dinamakan ilmu dan pencerapan (indrak).

Keistimewaan Hati Manusia

Karena keistimewaannya, hati manusia memperoleh kemuliaan dan kedudukan yang tinggi serta kelayakan untuk mendekatkan diri kepada Allah. Keistimewaan ini dikarenakan ilmu dan kehendak yang dimilikinya.

Yang dimaksud dengan ilmu adalah pengetahuan mengenai berbagai hal yang bersifat duniawi maupun ukhrawi dan berbagai hakikat yang bersifat rasional. Pengetahuan ini bersifat metafisik, tidak kasat mata, dan tidak dimiliki oleh bangsa hewan.

Mengenai kehendak (iradah), jika seseorang melalui bantuan nalarnya mengetahui dampak dari suatu perbuatan dan jalan untuk meraih kemaslahatannya, akan muncul dari dalam dirinya suatu hasrat untuk meraih kemaslahatan tersebut serta hasrat untuk menempuh jalan kemaslahatan tersebut. Kehendak di sini berbeda dari kehendak nafsu dan kehendakyang dimiliki bangsa hewan. Bahkan ia berlawanan dengan tabiat nafsu itu sendiri. Contohnya, nafsu berkehendak meng-hindari operasi pembedahan, tetapi nalar justru menghendakinya.

Jadi, hati manusia diberi keistimewaan berupa ilmu dan kehendak, dua hal yang tidak dimiliki oleh bangsa hewan. Bahkan seorang anak kecil pada masa-masa awal pertumbuhannya pun belum memiliki kedua hal tersebut. Keduanya baru dimiliki anak sesudah mencapai usia baligh.

Dalam memperoleh ilmu dan kehendak, seorang manusia memiliki dua tahapan:

Pertama, jiwa seorang yang sudah dipenuhi dengan pengetahuan-pengetahuan aksiomatik tingkat dasar (‘ulum dharuriyyah awwaliy-yah), seperti pengetahuan bahwa segala sesuatu yang mustahil tidak mungkin terjadi dan bahwa segala sesuatu yang mungkin terjadi bisa terjadi dan bisa juga tidak terjadi. Maka pada tahap ini, seseorang belum memperoleh ilmu pengetahuan teoretis-spekulatif, tetapi hal tersebut bukan termasuk perkara yang mustahil. la seperti seorang anak yang baru mengerti tinta, pena, dan huruf-huruf tunggal (bukan berangkai) dalam dunia penulisan; maka dalam kondisi ini, ia sudah dekat dengan kemampuan menulis, tetapi belum menguasainya.

Kedua, seseorang memperoleh ilmu melalui pengalaman dan perenungan. Maka ilmu tersebut bagaikan simpanan baginya, yang bisa ia ambil kapan saja ia mau.

Para pemilik ilmu pada tahap kedua ini mempunyai tingkatan-tingkatan yang tak terbatas. Perbedaan tingkatan mereka antara lain ditentukan oleh banyak-sedikitnya ilmu mereka, kemuliaan dan kehinaan ilmu mereka, dan cara mendapatkannya. Karena sebagian orang mendapatkan ilmu melalui ilham dari Allah, sementara yang lain memperolehnya dengan belajar dan bersusah payah. Ada orang yang mendapatkan ilmu dengan cepat dan ada yang lambat. Jadi, tingkatan perolehan ilmu sangat banyak dan tak terbatas. Tingkatan tertinggi adalah tingkatan nabi, yang mana semua atau sebagian besar hakikat pengetahuan disingkapkan kepadanya tanpa harus belajar dan bersusah payah, tetapi melalui ilham Ilahi yang berlangsung sangat cepat.

Ilmu yang paling mulia adalah ilmu tentang Allah, sifat-sifat-Nya, dan perbuatan-perbuatan-Nya. Dengan ilmu itu manusia mencapai kesempurnaan. Dengan kesempurnaan itu ia akan mendapatkan kebahagiaan dan kebaikan di sisi Allah yang Maha Agung nan Sempurna. Tubuh manusia diciptakan sebagai kendaraan bagi jiwa, jiwa sebagai habitat bagi ilmu, dan ilmu menjadi tujuan dan keistimewaan manusia, yang karenanya ia diciptakan. Manusia berada pada kedudukan di antara hewan dan malaikat. Dari sisi bahwa ia makan dan berkembang biak, manusia adalah sejenis tumbuhan. Dari sisi bahwa ia bisa merasakan dengan indra dan bergerak, ia adalah sejenis binatang. Dilihat dari rupa dan bentuknya, manusia seperti lukisan yang dipahat di dinding. Namun, satu-satunya keistimewaan manusia adalah ia bisa mengetahui hakikat dari berbagai hal.

Barang siapa menggunakan semua anggota tubuh dan kekuatannya untuk mendapatkan ilmu dan beramal, sungguh ia telah menyerupai malaikat. Namun, barang siapa memalingkan perhatiannya terhadap berbagai kesenangan ragawi dan menurutinya, dan ia makan seperti makannya binatang maka ia telah jatuh ke dalam golongan hewan.

Adalah mungkin bagi manusia untuk menggunakan setiap anggota tubuh untuk sampai kepada Allah. Siapa yang menggunakannya untuk sampai kepada Allah, ia beruntung. Dan siapa yang menggunakannya untuk selain itu, sungguh ia telah merugi dan malang. Puncak kebahagiaan adalah jika seseorang menjadikan pertemuan dengan Allah sebagai tujuan, akhirat sebagai rumah tinggal, dunia sebagai rumah singgah, badan sebagai kendaraan, dan anggota badan sebagai alat bantu.

Sayyidina Ali—semoga Allah merindhai dan memuliakannya— memberikan perumpamaan menarik mengenai hati. Ia mengatakan, “Sesungguhnya Allah mempunyai bejana-bejana di bumi, yaitu hati. Maka hati yang paling Dia sukai adalah yang paling lembut, paling jernih, dan paling kokoh.” Kemudian Sayyidina Ali menjelaskan, “Yaitu yang paling kokoh dalam agamanya, paling jernih keyakinannya, dan paling lembut kepada saudaranya sesama Muslim.”. Penjelasan ini merujuk pada firman Allah Swt, (Orang-orang yang bersama Nabi) bersikap tegas kepada orang-orang kafir dan penuh kasih kepada sesama mereka (QS Al-Fath [48]: 29). Juga merujuk pada firman-Nya, “(Perumpamaan cahaya-Nya) seperti sebuah lubang yang tidak tembus yang di dalamnya ada pelita besar” (QS Al-Nuur [24]: 35). Ubai bin Ka’ab R.a. mengatakan bahwa itu merupakan perumpamaan bagi cahaya orang mukmin dan hatinya. Juga merujuk pada firman Allah, (Keadaan orang-orang kafir) seperti pekatnya kegelapan di lautan yang dalam. (QS An-Nur [24]: 40). Ini merupakan perumpamaan bagi hati orang munafik. Zaid bin Aslam mengatakan bahwa yang dimaksud dengan firman Allah, ”… di Lauhul Mahfuzh,” adalah hati orang mukmin. Sahal At-Tustari mengatakan, “Perumpamaan hati dan dada adalah laksana Arasy dan Kursi.” Jadi, inilah perumpamaan-perumpamaan bagi hati manusia.

Ringkasan Sifat-sifat Hati

Manusia secara fitrah mempunyai empat elemen sifat di dalam dirinya, yaitu binatang buas, hewan ternak, setan, dan rabbani.

Jika manusia dikuasai sifat amarah, ia mengambil sikap laksana binatang buas, seperti memusuhi, membenci, memukul, dan menghujat.

Jika dikuasai nafsu, ia mengambil sikap menyerupai hewan ternak, seperti rakus dan tamak.

Jika pada diri manusia terdapat sifat-sifat rabbani, sebagaimana difirmankan Allah, Katakanlah, ruh itu termasuk urusan Tuhanku (QS Al-Isra’ [17]: 85). Ia pun mendaku sifat-sifat ketuhanan pada dirinya; menginginkan berkuasa, diagungkan, diistimewakan, dan menjadi penguasa tunggal; melepaskan diri dari ketundukan dan kerendahan diri; dan menyukai upaya untuk mendapatkan ilmu.

Meskipun manusia berbeda dan lebih baik daripada hewan ternak karena mempunyai penalaran, yaitu kemampuan untuk membedakan yang baik dari yang buruk, bergabungnya amarah dan nafsu pada dirinya akan memunculkan sifat-sifat setan. Maka dengan sifat setan itu, ia pun menggunakan penalarannya untuk menciptakan berbagai bentuk keburukan dan mencapai berbagai tujuan dengan kelicikan, kecurangan, dan penipuan, serta menampakkan keburukan dalam rupa kebajikan. Itulah perilaku setan.

Seakan-akan di bawah kulit manusia terkumpul hal-hal berikut; babi sebagai nafsu, anjing sebagai amarah, setan yang menggelorakan nafsu babi dan amarah binatang buas, dan kebijaksanaan sebagai wujud dari nalar. Nalar diperintahkan untuk menolak tipu daya setan dengan cara membongkar penyamarannya, mematahkan nafsu babi dengan mempergunakan anjing untuk menguasainya, dan melawan kebuasan anjing dengan dengan memperalat babi untuk menundukkannya. Jika manusia kuasa melakukan hal ini, selamatlah ia, dan ia telah berada di atas jalan yang lurus. Namun, jika ia tidak kuasa mengekang dan menguasai babi dan anjing, merekalah yang akan memperalatnya. Jika sudah diperalat, manusia akan terus-menerus berpikir untuk mengenyangkan babi dan menyenangkan anjing sehingga ia senantiasa menjadi hamba keduanya. Inilah kondisi sebagian besar umat manusia. Sungguh mengherankan, jika ada orang yang mencela para penyembah berhala karena mereka menyembah batu. Padahal jika tirai yang menutupi hati dan hakikat dirinya dibukakan baginya, tahulah ia bahwa sesungguhnya ia berdiri tegak di depan babi, kadang bersujud kepadanya, dan kadang membungkuk, seraya menunggu petunjuk dan perintahnya. Atau ia akan melihat dirinya berdiri tegak di depan anjing buas, menyembahnya, menaatinya, dan patuh mendengarkan petuahnya. Inilah puncak kezaliman.

Kemudian, dengan menuruti nafsu 'babi' akan muncul sifat tidak punya rasa malu, gemar berbuat buruk, berlebih-lebihan, pelit, pamer, suka mengumbar nafsu, suka melakukan sesuatu yang tiada berguna, tamak, rakus, iri, dengki, suka mencaci maki, dan sebagainya.

Dengan mematuhi amarah 'anjing' akan lahir sifat lancang, sembrono, membuka aib, rasa sombong, tinggi hati, mudah marah, takabur, ujub, suka menghina, suka meremehkan, suka mencela sesama makhluk, suka membuat onar dan kezaliman, dan sebagainya.

Adapun ketaatan kepada 'setan', yaitu dengan menuruti kehendak nafsu dan amarah, akan memunculkan sifat licik, curang, tipu daya, sembrono, kepalsuan, suka menipu, dan sebagainya.

Sebaliknya, jika manusia bisa membalikkan keadaan tersebut dan menundukkan mereka di bawah kuasa elemen rabbani, niscaya pada hatinya akan bersemayam sifat-sifat rabbani, seperti keilmuan, kebijaksanaan, keyakinan, berpandangan holistik, mengetahui segala sesuatu sesuai hakikatnya, dan menguasai segala sesuatu dengan kekuatan ilmu dan mata batin. Ia pun lebih berhak untuk memimpin daripada makhluk-makhluk yang lain karena kesempurnaan ilmunya. Selain itu, ia tidak akan memerlukan lagi ketundukan kepada nafsu dan amarah.

Bilamana seseorang telah menundukkan elemen nafsu babi dan mengembalikannya pada keseimbangan, pada dirinya akan mewujud sifat-sifat mulia, seperti kesucian diri, qanaah, ketenangan, zuhud, warak, takwa, lapang dada, malu, kecerdasan batin, dan ringan tangan. Sementara itu, dengan mendisiplinkan elemen binatang buas atau amarah dan mengembalikannya pada tempat yang seharusnya, akan lahir sifat keberanian, kemurahan, kesatria, disiplin diri, kesabaran, keuletan, ketegaran, pemaaf, keteguhan hati, kemuliaan, kehormatan diri, ketenangan, dan sebagainya.

Dengan demikian, hati laksana cermin yang dikelilingi dan dipengaruhi oleh empat elemen tersebut. Pengaruh itu sampai pada hati secara terus-menerus tak terhentikan. Pengaruh yang baik akan membuat cermin semakin terang, bercahaya, dan bersinar. Adapun pengaruh yang buruk bagaikan asap gelap yang naik menyelimuti cermin hati dan lama-kelamaan membuatnya menjadi hitam dan suram, tersegel dan tertutup. Allah Swt. berfirman, Sekali-kali tidak! Bahkan apa yang mereka kerjakan itu telah menutupi hati mereka, QS Al-Muthaffifin (83): 14.

Perumpamaan Hati jika dihubungkan dengan Ilmu Pengetahuan

Cermin tidak bisa menampilkan gambar dari suatu objek dikarenakan lima hal. Pertama, karena kerusakan pada bentuknya. Misalnya, bijih besi sebelum dibentuk dan dipoles. Kedua, karena cermin tertutup oleh kotoran, karat dan debu. Ketiga, karena cermin dipalingkan dari arah keberadaan objek. Keempat, karena adanya penghalang di antara cermin dan objek. Kelima, karena cermin tidak tahu arah di mana objek itu berada.

Hati pun demikian, seperti cermin. Hakikat dari segala sesuatu  tidak bisa tampak di hati disebabkan lima hal:

Pertama, karena adanya kekurangan pada hati itu sendiri. Misalnya, hati anak kecil, yang tidak bisa mencerap beberapa jenis pengetahuan karena belum sempurna.

Kedua, hati tertutup oleh kotoran yang bertumpuk akibat banyak melakukan kemaksiatan dan menuruti nafsu. Maka, kepatuhan kepada Allah dan berpaling dari tuntutan nafsu adalah satu-satunya cara untuk membuat hati menjadi bersih. Allah Swt. berfirman, Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami, QS Al-Ankabut (29): 69.

Rasulullah S.a.w pun bersabda, “Siapa yang mengamalkan apa yang diketahuinya, Allah akan mewariskan kepadanya ilmu yang belum diketahuinya!“.

Ketiga, melenceng dari arah hakikat yang dicari. Karena itu, meskipun bersih, hati orang saleh pun tidak bisa melihat hakikat dengan jelas jika ia memang tidak hendak mencari hakikat itu dan tidak menghadap padanya. Barangkali seseorang mencurahkan segenap perhatiannya terhadap berbagai amal ibadah jasmani maupun sumber-sumber penghidupannya, tetapi ia mengabaikan keberadaan sifat-sifat rabbani dan hakikat-hakikat Ilahi yang tersamar. Maka yang akan tampak kepadanya hanyalah apa yang ia pikirkan, yaitu hal-hal yang dapat merusak amal, keburukan jiwa yang tersembunyi, dan keuntungan duniawi belaka.

Keempat, adanya hijab atau penghalang. Seseorang yang taat, mampu mengendalikan nafsunya, dan mencurahkan segenap perhatiannya hanya pada hakikat, terkadang tidak tersingkap baginya hakikat tersebut. Sebabnya, ia terhalang oleh keyakinan yang telah tertanam dalam dirinya sejak kecil melalui doktrin. Sebab ini pula yang membuat sebagian besar para ahli kalam dan orang-orang yang bermazhab secara fanatik terhalang dari hakikat. Bahkan sebagian besar orang-orang saleh pun terhalang oleh keyakinan-keyakinan yang didoktrinkan hingga melekat di hati mereka.

Kelima, tidak tahu arah yang benar untuk mencapai hakikat yang ingin dicari. Seorang pencari ilmu tidak mungkin bisa memperoleh suatu ilmu yang tidak diketahuinya, kecuali dengan mengingat pengetahuan-pengetahuan yang sesuai dengan ilmu yang ingin diperolehnya. Sebab, ilmu yang ingin diperolehnya itu bukan ilmu yang bersifat fitrah, ia tidak bisa diperoleh kecuali melalui jaringan ilmu-ilmu yang sudah dia peroleh sebelumnya. Bahkan, ilmu tersebut hanya bisa dihasilkan dengan menggabungkan dua pengetahuan yang selaras dan dikombinasikan sedemikian rupa.

Dengan demikian, ketidaktahuan terhadap pengetahuan-pengetahuan yang selaras dan cara mengombinasikannya adalah penghalang untuk memperoleh ilmu. Contohnya, cermin yang tidak tahu arah di mana objek berada, sebagaimana yang telah saya sebutkan. Contoh lain, ada seseorang ingin melihat bagian belakang kepalanya dengan cermin. Jika ia meletakkan cermin di depan wajahnya, berarti cermin tidak menghadap bagian belakang kepala, sehingga bagian belakang kepala tidak tampak. Jika ia menaruh cermin di sisi belakang kepala dan menghadap bagian belakang kepala, berarti ia menyimpangkan cermin dari pandangan matanya, sehingga ia tidak bisa melihat cermin. Oleh sebab itu, ia memerlukan cermin kedua untuk diletakkan di belakang kepala, sementara cermin yang pertama diletakk’an di depan matanya. Dengan begitu terjadi kombinasi antara kedua cermin. Objek bagian belakang dipantulkan oleh cermin kedua, lalu gambar objek pada cermin kedua dipantulkan oleh cermin yang berada di depan mata. Mata kemudian bisa melihat objek bagian belakang kepala. Begitu juga yang terjadi dalam proses pencarian ilmu, tetapi prosesnya lebih hebat daripada contoh yang telah saya sebutkan, karena adanya unsur pemalsuan dan penyimpangan.

Itulah sebab-sebab yang menghalangi hati untuk mengetahui hakikat. Kalau tidak ada penghalang-penghalang itu, niscaya semua hati secara alamiah bisa mengetahui hakikat karena hati merupakan pemberian Tuhan, mulia, dan siap untuk mengemban amanat. Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam bersabda, “Setiap anak yang lahir dilahirkan dalam keadaan fitrah (suci). Kedua orangtuanyalah yang membuatnya menjadi pemeluk Yahudi, Nasrani, maupun Majusi”.

Ath-Thabrani meriwayatkan dari Abu Atabah Al-Khaulani dan menisbatkannya kepada Nabi Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam, bahwa Beliau Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam pernah bersabda, “Sesungguhnya Allah memiliki bejana-bejana dari para penghuni bumi. Bejana-bejana Tuhanmu tersebut adalah hati hamba-hamba-Nya yang saleh.”.

Sebuah hadis menyebutkan bahwa Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam pernah ditanya, “Ya Rasulullah, siapakah orang yang paling baik?” Beliau menjawab, “Setiap mukmin yang hatinya makhmum’.’ Penanya bertanya lagi, “Apakah hati yang makhmum itu?” “Beliau menjelaskan, “Hati yang bertakwa dan bersih, yaitu hati yang di dalamnya tidak ada tipu daya, ketidak-adilan, penghianatan, maupun iri hati.”

Semua bentuk ketaatan dan amal kebajikan hanyalah dimaksudkan untuk membersihkan, menyucikan, dan membuat hati menjadi bersinar. Allah S.w.t. berfirman: "Sungguh beruntung orang yang menyucikannya (hati)". (QS Al-Syams [91]: 9).

~ Al Habib Umar bin Hafidz ~
Ringkasan Bab Mukhlikat Ihya ‘Ulum al-Din
www.alhabibahmadnoveljindan.org

Previous
Next Post »