Larangan Mengkafirkan Orang Islam

Berikut ini adalah beberapa pembahasan tentang Al Masail Al Khilafiyah yang kami kutip dari apa yang dirangkum oleh Syaikhuna Al ‘Allamah Al Habib Zain bin Ibrahim bin Sumait dalam kitabnya yang berjudul Al Ajwibah Al Gholiyah.

Kami kutip bahasan ini agar dapat diambil manfaat besar oleh segenap kaum muslimin. Mudah-mudahan Allah membimbing kita semua ke jalan yang diridhai-Nya. Aamiin.

Apa yang harus dilakukan oleh setiap orang Islam ketika terjadi perbedaan?

Jawab: Ketahuilah, bahwa Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Aalihi wa Shahbihi wa Salam, benar-benar telah memerintahkan menetapi golongan mayoritas umat Islam, ketika terjadi ikhtilaf (perselisihan). Beliau memberitahukan, sesungguhnya umatnya terpelihara dari persepakatan sesat atau salah dalam urusan agama. Di dalam beberapa hadits Beliau menjelaskan tentang hal ini, antara lain:

لسواد الأعظم 􀁡 إن أمتي لا تجتمع على ضلالة فإذا رأيتم الإختلاف فعليكم

"Sesungguhnya umatku tidak dapat bersepakatan membuat kesesatan. Apabila kamu semua melihat perselisihan, maka kamu harus menetapi golongan terbesar.".

عن ابن عمر رضي لله تعالى عنه عن النبي صلى الله عليه وسلم قال ان لله لا يجمع أمتى على ضلالة أبدا ويد لله مع
الجماعة فاتبعوا السواد الاعظم. ومن شذ شذ في النار.

Dari Ibnu Umar R.a, dari Nabi Saw, Beliau bersabda: "Sesungguhnya Allah tidak menghimpunkan umat untuk membuat kesesatan selama-lamanya. Tangan Allah (Kekuasaan dan pembelaan Allah) itu disertakan pada jama'ah, maka ikutilah golongan paling besar (banyak), barangsiapa yang memencilkan diri, maka terpencil dalam neraka.". (HR. at-Turmudzi dan al-Hakim).

قال صلى الله عليه وسلم سألت ربى أن لا يجمع أمتي على ضلالة فأعطا نيها.

Rasulullah S.a.w bersabda: "Saya telah memohon kepada Tuhanku Allah, agar tidak menghimpunkan umat bersepakat atas suatu kesesatan, dan Dia memenuhi permohonan itu kepadaku.". (HR. Imam Ahmad).

Para ulama berkata: Dengan ucapan Alhamdulillah, golongan Ahlus Sunnah wal Jama'ah sejak zaman permulaan sampai kini senantiasa merupakan golongan terbesar. Dengan demikian, maka tidak salah, bahwa golongan Ahlus Sunnah merupakan golongan yang selamat yang tetap berpegang pada al-Quran dan as-Sunnah (hadits) dan apa yang diikuti oleh para sahabat, tabi'in dan pemuka-pemuka para imam ahli ijtihad yang mereka ini merupakan generasi terdahulu dari umat Nabi Muhammad S.a.w Golongan Ahlus Sunnah inilah yang diisyaratkan dalam sabda Nabi Muhammad S.a.w:

إن بنى إسرائيل افترقت على اثنتين وسبعين ملة وستفترق أمتي على ثلاث وسبعين ملة كلها فى النار إلا
عليه وأصحابى. 􀀔 رسول لله؟ قال من كان على مثل ما أ 􀂖 ملة واحدة قالوا من هي

"Sesungguhnya Bani Isra'il berpecah menjadi 72 aliran, dan umatku akan berpecah menjadi 73 aliran, semuanya masuk dalam neraka kecuali satu aliran" Para sahabat bertanya: "Siapakah satu aliran itu, ya Rasulullah?" Beliau S.a.w bersabda: "Siapa yang menetapi apa yang aku dan sahabat-sahabatku menetapinya.". (HR. at-Turmudzi dan al-Baihaqi).


Apa yang harus dilakukan oleh orang yang belum mencapai tingkatan Ijtihad?

Jawab: Setiap orang mukmin yang mengikuti syariat Nabi Muhammad S.a.w wajib mempercayai apa yang diterangkan oleh ayat-ayat al-Qur'an dan as-Sunnah yang tegas dan jelas. Dalam hal seperti ini, ia harus berpegangan ucapan ulama-ulama yang terkenal di kalangan orang-orang khusus dan awam, sebagaimana imam-imam yang berjumlah empat orang, yaitu: Imam as-Syafi'i, Imam Malik, Imam Abu Hanifah, Imam Ahmad bin Hambal dan imam selain mereka. Orang yang taqlid kepada salah seorang dari mereka dalam beramal dengan dalil kitab al-Qur'an dan as-Sunnah yang mereka pahami, menurut Allah orang itu selamat dalam taqlid tersebut, karena Allah telah memperkenankan para ahli ijtihad agar berijtihad, dan orang ahli taklid untuk bertaqlid. Allah S.w.t berfirman:

فاسألوا أهل الذكر إن كنتم لا تعلمون .

"Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui". (QS [16] an-Nahl: 43)

Maka jelaslah, bahwa orang yang bukan ahli ijtihad harus taklid kepada salah seorang dari imam ahli ijtihad. Itulah jalan orang-orang mukmin, dan orang yang bukan ahli ijtihad itu seharusnya tidak mendakwakan ijtihad dan mengambil hukum-hukum dari al-Qur'an dan as-Sunnah secara langsung, tanpa membutuhkan taklid kepada para imam ahli ijtihad, karena sejak zaman sahabat dan tabi'in hukum-hukum dan kaidah-kaidah Islam telah ditetapkan, penggalian hukum-hukum dan kaidah-kaidah Islam tersebut dari al-Qur'an dan as-Sunnah telah sempurna dan atas dasar hukum dan kaidah tersebut kitab-kitab ushul dan furu’ telah disusun. Sehingga bagi generasi sesudah mereka cukup merujuk pada hukum-hukum tersebut dan taklid kepada para ulama yang bobot keilmuannya telah diketahui oleh kalangan orang-orang khusus dan awam.


Apa manfaat Ikhtilaf (perbedaan) antara para Imam Ahli Ijtihad?

Jawab: Perlu dimengerti, bahwa ikhtilaf yang terjadi antara para imam ahli ijtihad itu merupakan suatu rahmat dari Allah S.w.t untuk umat ini. Sesungguhnya mereka itu tidak berbeda pendapat dalam masalah-masalah ushul (pokok). Perbedaan di antara mereka hanya terbatas pada masalah furu' (cabang) karena tidak adanya ketetapan nash yang qath'i tentang hukum masalah-masalah tersebut. Ikhtilaf dalam masalah-masalah seperti itu membuat kemudahan dan kelonggaran bagi semua orang serta membebaskan mereka dari kesulitan, kebingungan dan keputus-asaan yang hal itu sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh Allah S.w.t. sebelumnya, berdasarkan firman-Nya:

يريد لله بكم اليسر ولا يريد بكم العسر

"Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.".

وما جعل عليكم فى الدين من حرج

"Dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.". (QS [22] al-Hajj: 78).

Disebutkan juga dalam suatu hadits Nabi Shalallahu Alaihi wa Aalihi wa Shahbihi wa Salam:

إختلاف أمتي رحمة

"Perbedaan umatku itu suatu rahmat.".

Hadits ini ditakhrij oleh Syaikh al-Muqaddasi dalam kitab al Hujjah dan dikutip oleh as-Suyuthi dalam kitab al-Khashais al-Kubra. Imam al-Khatib dari Isma'il bin Abu al-Mujalid meriwayatkan: Sesungguhnya khalifah Harun al-Rasyid berkata kepada Imam Malik bin Anas: "Hai Abu Abdillah, kami akan menulis kitab ini (Al-Muwattha') dan kami menyebarkannya ke seluruh negara Islam.", Imam Malik berkata:

"Hai Amirul Mukminin, sesungguhnya ikhtilaf di antara ulama itu merupakan rahmat untuk umat ini, masing-masing (ulama) mengikuti hadits yang paling shahih menurutnya, masing-masing mengikuti petunjuk dan masing-masing menghendaki ridha Allah.".

Adapun orang-orang yang berbeda pendapat dalam masalah-masalah ushul atau dasar agama, maka bukanlah orang-orang yang dirahmati dan bukan pula orang-orang yang diridhai kecuali mereka yang sesuai dengan kebenaran (haq), yaitu orang-orang Ahlus Sunnah wal Jama'ah yang tetap berpegang teguh pada apa yang diamalkan oleh Nabi S.a.w dan para Sahabat Beliau.


Bolehkah mengkafirkan orang islam?

Jawab: Tidak boleh, sesungguhnya mengkafirkan orang islam, (yakni) orang-orang yang telah mengucapkan kalimat لا اله الا لله merupakan perkara berat, tidak ada yang berani melakukannya kecuali orang yang memang disesatkan oleh Allah ta’ala. Yang buruk persangkaannya dan mengikuti dorongan hawa nafsunya.

Apa dalilnya?

Di dalam Hadits yang Shahih ada disebutkan:

ا أحدما ، ان كان كما قال وإلا رجعت اليه 􀂬 ء 􀁡 إن النبي صلى الله عليه وسلم قال: إذا كفر الرجل أخاه فقد

Sesungguhnya Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam telah bersabda: “Apabila seseorang mengkafirkan saudara sesamanya, maka pengkafiran itu pasti menimpa pada salah satunya. Jika yang dikafirkan itu memang kafir, maka ia kafir. Jika yang dikafirkan tidak kafir, maka kekafiran itu kembali menimpa kepada orang yang mengkafirkan.”. (HR. Imam Muslim).

Imam abu Bakar al-Baqilani mengatakan: “memasukkan seribu orang kafir ke dalam islam karena ada kemiripan islam dalam satu hal saja itu lebih kecil resikonya daripada mengkafirkan seorang muslim karena ada seribu kemiripan kekafiran.”, ini mengkafirkan hanya seorang muslim, lalu bagaimana halnya (bila ada) orang yang berani mengkafirkan mayoritas orang islam dan menghukuminya syirik hanya karena mereka melakukan tawassul dan mengambil berkah peninggalan orang-orang baik, sementara keimanan mereka telah jelas nyata dan hati mereka tetap meng-Esa-kan Allah, Tuhan seluruh alam.

Dalam menolak orang-orang yang biasa mengkafirkan orang-orang islam hanya dengan alasan hanya seperti itu dan orang-orang yang mengikuti madzhab yang berpendirian seperti itu yang di dalamnya sarat dengan faham-faham yang keliru, cukuplah kiranya membaca kembali sabda Rasulullah S.a.w:

ان الشيطان قد آيس أن يعبده المصلون في جزيرة العرب ولكن في التحريش بينهم.

Sesungguhnya setan benar-benar putus asa dalam usahanya agar disembah oleh orangorang yang menjalankan shalat di semenanjung arab, tetapi setan mengambil cara adu domba di antara mereka.”. (HR. Imam Muslim dan At-Turmudzi).

Di dalam hadits tersebut Rasulullah S.a.w dengan tegas menjelaskan, bahwa orang-orang dari umat ini yang mengamalkan shalat tidak menyembah kepada selain Allah selamanya dan tidak berbuat syirik.

Dalam sebuah riwayat lain ketika Nabi. S.a.w. Melakukan ibadah haji wada’ bersabda:

رضكم هذه بعد هذا اليوم ابدا ولكنه رضي منكم بما دون ذلك مما تحتقرون من 􀃆 ان الشيطان قد آيس أن يعبد
أعمالكم فاحذرو على دينكم.

Sesungguhnya setan telah putus asa dalam usahanya agar dapat disembah di bumi kalian ini sesudah hari ini untuk selama-lamanya. Tetapi setan merasa puas dengan usahanya selain itu, berupa kerendahan perbuatan (amal) kamu semua, maka berhati hatilah terhadap urusan agama kamu semua.”.

Demikian itulah peringatan Rasulullah S.a.w yang pasti benar, karena Beliau tidak berkata menurut hawa nafsunya. Apa yang Beliau ucapkan semata-mata wahyu dari Allah Ta’ala.

~ Al Ajwibah Al Gholiyah karya Al ‘Allamah Al Habib Zain bin Ibrahim bin Sumait ~

Baca selengkapnya, download: Al Ajwibah Al Gholiyah Pdf.
Sumber: www.alhabibahmadnoveljindan.org
Previous
Next Post »

1 Komentar:

Write Komentar