Hikmah Hijrah Nabi S.A.W - Hijrahnya Ulama dan Sufi (2)

"Pemahaman yang mendalam tentang kisah hijrah ini akan mendatangkan pelajaran bagi kita untuk mengenal hakikat diri sebagai hamba Allah S.w.t"

Sebagai kelanjutan dari bagian awal pada halaman sebelumnya, yakni Hikmah Hijrah Nabi S.a.w - Hijrahnya Ulama dan Sufi (1), dimana telah diceritakan kisah hijrahnya Syekh Al-Fudhail sebagai satu dari sekian contoh ulama dan kaum sufi salaf yang melakukan hijrah dalam kehidupannya untuk menuju keridhaan Allah S.w.t. Pada bagian ke-2 ini, masih kita akan membahas mengenai hijrahnya kalangan ulama dan sufi di masa salaf.

"Mereka menyambangi satu kota ke kota lainnya, satu negeri ke negeri lainnya, baik berkendara kuda atau unta, maupun berjalan kaki"

Satu contoh lagi terdapat dalam perikehidupan dzurriyyah Rasulullah S.a.w yang bernama Sayyidina Imam Ahmad, yang bergelar “Al-Muhajir”. Gelar Al-Muhajir disematkan atas beliau lantaran kesanggupannya berhijrah, mengikuti tradisi para Nabi, Rasul, dan Sahabat.

Kisah Hijrahnya Sayyidi Al-Muhajir Ahmad bin Isa Ar-Rumi

Imam Ahmad adalah putra Isa bin Muhammad An-Naqib bin Ali Al-Uraidhi bin Ja'far Ash-Shadiq bin Muhammad Al-Bagir bin Ali Zainal Abidin bin Husein As-Sibth bin Ali R.a dan Sayyidah Fathimah Az-Zahra putri Rasulullah S.a.w.

Ia adalah salah seorang putra dari 30 putra Isa Ar-Rumi, yang dilahirkan pada tahun 260 H/872 M, dan melakukan hijrah yang amat jauh dari Bashrah ke Hadhramaut. 

Pada tahun 317 H/928 M, ia melakukan perjalanan ke Madinah. Di Madinah ia menetap setahun. Kemudian ia melanjutkan perjalanan ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji dan juga menyempatkan diri untuk belajar kepada Syaikh Abu Thalib Al-Makki. Dari Makkah ia melanjutkan perjalanan ke Hajrain hingga berakhir di Husaisah, Hadhramaut. 

Dalam rihlah yang sangat jauh ini, ia membawa 70 orang anggota keluarganya, termasuk istrinya, Syarifah Zainab binti Abdullah bin Al-Hasan bin Ali Al-Uraidhi, putranya, Ubaidillah, dan ketiga cucunya, Alwi, Jadid, dan Ismail Al-Bashri. 

Kepindahan Al-Muhajir dari Bashrah tidak terlepas dari kekangan dan kebuntuan yang dialaminya akibat rezim Abbasiyah yang berkuasa di Baghdad. Sebagai keturunan Sayyidina Ali R.a, yang disebut kelompok Alawiyyin, ia sering kali menjadi korban kepentingan politik di Baghdad. Saat itu, kelompok Alawiyyin memiliki pengaruh yang sangat besar dalam bidang politik.

Ia dan segenap keluarganya memilih untuk menjauhkan diri dari kekuasaan. Sebagaimana ia tunjukkan dengan menitikberatkan aktivitas kehidupan dalam keluarganya dengan ilmu dan ketaqwaan. Ia memilih jalan hidup kaum sufi, sekalipun ia memiliki kedudukan terhormat dan disegani serta kekayaan yang banyak.

Akhir perjalanan di Husaisah telah menghantarkannya kepada posisi yang sangat penting bagi perjalanan dzurriyyah Rasulullah S.a.w. Ia menerangi kehidupan Hadhramaut dengan ilmu dan amal. Kesesatan menghilang akibat sinaran petunjuk kebenaran yang dibawanya. Dari Hadhramaut-lah kemudian cahaya Keluarga Nabi S.a.w bersinar ke berbagai penjuru.

Imam Ahmad Al-Muhajir wafat pada tahun 345 H/956 M di Husaisah, Hadhramaut, dengan meninggalkan keturunan yang mewarisi datuk-datuknya yang mulia dengan ilmu dan adab.

Hijrah Dalam Konteks Kekinian

Hijrah dalam artian fisik yang dinyatakan telah berakhir setelah Fathu Makkah, sebagaimana sabda Nabi S.a.w, "La hijrata ba'dal fath" (tidak ada hijrah lagi setelah pembebasan Makkah).

Namun, semangat hijrah harus tetap ada dalam setiap sanubari muslimin, yakni hijrah dari sisi jiwa, berdasarkan hadits “...wal muhajiru man hajara ma nahallahu ‘anhu.” (orang yang hijrah ialah orang yang berpaling dari apa yang dilarang Allah). Yakni hijrah dengan meninggalkan semua perbuatan yang dibenci oleh Allah S.w.t. Persis seperti kebencian Rasulullah dan sahabat atas kezhaliman kaum musyrikin, upaya Al-Fudhail meninggalkan kezhaliman dirinya, dan upaya Imam Al-Muhajir meninggalkan kezhaliman yang menimpa dirinya dan keluarganya.

Untuk dapat melakukan hijrah ruhaniyah ini dibutuhkan pemahaman yang sempurna akan hakikat dosa dan kemaksiatan. Kemaksiatan yang dapat mempekatkan hati seseorang, sebagaimana sabda Nabi S.a.w, "Idza adznabal ‘abdu nuqitha fi qalbihi nuqthatan sauda’-a" (apabila seorang hamba berbuat dosa, diberi sebuah titik hitam di dalam hatinya).

Nabi S.a.w, sahabat, ulama, waliyullah, dan dzurriyyah adalah contoh terbaik, model tercanggih, saat kita ingin memahami hijrah dalam konteks kekinian. Pemahaman yang mendalam tentang kisah hijrah ini akan mendatangkan pelajaran bagi kita untuk mengenal hakikat diri sebagai hamba Allah S.w.t, yang di dunia ini hanyalah pengembara. Persis seperti yang dikatakan Nabi S.a.w, "Kun fi dun-ya ka-annaka gharibun aw 'abiru sabiilin" (jadilah engkau di dunia laksana orang asing atau orang yang tengah mengembara).

اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَاَلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلِّمْ

Wassalam

Previous
Next Post »