Kewajiban Dari Allah atas Hamba

"Kerjakanlah amal sesuai dengan kemampuan kalian. Demi Allah, Allah tidak jemu, dan kalianlah yang merasa jemu"

Dalam hadist Qudsi, Allah S.w.t berfirman: "Semakin hamba-Ku mendekat kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih Ku-cintai daripada kewajiban-kewajiban yang Ku-bebankan atas dirinya..". Penggalan hadist tersebut berbicara tentang kewajiban manusia.

Ada dua macam kewajiban dari Allah atas hamba, yaitu kewajiban lahiriah dan batiniah. Kewajiban lahiriah adalah seperti shalat lima waktu, zakat, puasa Ramadhan, haji, amar makruf dan nahi mungkar, berbakti kepada orang tua, dan seterusnya.

Sedangkan kewajiban batiniah adalah mengenal Allah, mencintai-Nya, bersandar kepada-Nya, percaya pada janji-Nya, takut dan berharap kepada-Nya, dan seterusnya. Kewajiban batiniah juga terbagi dua, yaitu melakukan dan meninggalkan. Allah menuntutmu untuk mengerjakan dan untuk meninggalkan sesuatu.

Bentuk-bentuk kewajiban itu terhimpun dalam ayat Al-Qur'an; "Allah memerintahkan untuk berbuat adil, bersikap ihsan dan menyambung tali silaturahmi.". Ayat itu menjelaskan kewajiban yang harus dikerjakan. Dan dalam ayat yang lain Allah menyebutkan kewajiban untuk meninggalkan; "Dia juga melarang untuk berbuat keji, munkar dan melampaui batas.".

Semua perintah Allah kepada manusia yang bersifat wajib maupun sunat mengimplikasikan kemaslahatan bagi mereka. Sama halnya, semua larangan Allah yang haram maupun makruh, mengandung kemaslahatan bagi rnereka. Kami tidak sependapat dengan mereka yang menyimpang dari jalan hidayah, yang mengatakan bahwa Allah wajib melindungi kemaslahatan hamba-Nya, menurut kami, hal itu telah menjadi Sunatullah dan ketentuannya yang berlaku untuk selamanya. Allah melindungi kemaslahatan para hamba-Nya sebagai bentuk kebaikan. Pandangan bahwa Allah wajib melindungi kemaslahatan para hamba-Nya sangatlah keliru, karena siapakah yang mewajibkan kepada Allah?

Selain itu, perlu juga dikemukakan bahwa semua perintah Allah, yang wajib maupun yang sunat, akan mendekatkan (al-jam'u) hamba dengan Allah. Sebaliknya, semua yang haram dan makruh akan menjauhkan (tafriqah) hamba dari-Nya. Allah menuntut hamba-hamba-Nya untuk mendekat kepada-Nya. Sarana dan sebab untuk mencapai kedekatan dengan Allah adalah ketaatan. Karena itu, Dia memerintahkan mereka untuk menaati-Nya. Sebaliknya, maksiat merupakan sebab dan sarana yang menjauhkan manusia dari Allah. Karena itulah Dia melarang mereka melakukan maksiat.

Berbagai kewajiban lahiriah tidak bisa dilepaskan dari kewajiban batiniah. Kewajiban batiniah menjadi syarat dan pendukung kewajiban lahiriah. Tentang hal ini, kita mesti memahami sabda Nabi S.a.w; "Niat seorang mukmin lebih baik daripada amal perbuatannya.".

Sama halnya dosa batiniah, kecil atau besar, lebih berbahaya dari pada dosa lahiriah. Ketika Allah menuntut hamba-Nya untuk memenuhi berbagai kewajiban maka semua itu menjadi ketetapan Allah atas dirinya. Si hamba tidak dapat memasuki wilayah kewajiban itu kecuali melalui piihan Allah untuk dirinya. Dengan demikian, kehendak hamba tidak berperan di sini, sebab Allah telah menetapkan persiapan bagi mereka berikut sebab-sebabnya.

Ketika seseorang melaksanakan suatu kewajiban, ia tak punya pilihan dan harus mengikuti pilihan Allah untuk dirinya. Karena itulah setiap kewajiban akan mendekatkannya kepada Allah. Inilah makna sabda Nabi S.a.w; "Tidaklah hamba-Ku mendekat kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih Ku-cintai daripada kewajiban-kewajiban yang Ku-bebankan atas dirinya.".

Firman Allah S.w.t berikutnva; "Semakin hamba-Ku mendekat kepada-Ku dengan amal sunat, semakin Aku mencintainya.". Amal sunat yang dimaksud dalam penggalan hadist qudsi ini adalah amal tambahan yang disebut nafilah, sebagaimana terungkap dalam firman Allah S.w.t; "Dan lakukanlah shalat tahajud di waktu malam sebagai amal sunat (nafilah) bagimu.". Artinya, sebagai tambahan karunia dan Kami yang telah menetapkan kewajiban atas dirimu.

Perlu diketahui, untuk setiap kewajiban yang dibebankan pada manusia, Allah menyediakan amal-amal sunat sebagai tambahan. Amal-amal sunat itu bisa menutupi kekurangan seorang hamba dalam pelaksanaan kewajibannya. Karena itu, dalam hadist disebutkan, "Dia melihat shalat hamba. Apabila ia shalat seperti yang Allah perintahkan, ia mendapatkan pahalanya. Namun apabila ada kekurangan, shalat sunat akan menyempurnakannya.". Dan bila amal kewajiban sudah dilakukan secara sempurna, amal sunat akan menguatkannya, sebagaimana ucapan seorang ulama: "Amal sunat akan menguatkanmu apabila kewajibanmu sudah sempurna.".

Allah mengetahui bahwa di antara hamba-hamba-Nya yang beriman, ada yang kuat dan ada yang lemah, sebagaimana terungkap dalam sebuah hadist:

"Mukmin yang kuat lebih Allah cintai daripada mukmin yang lemah."

Karena itu, Allah memberikan kesempatan kepada yang lemah untuk menyempurnakan kewajiban mereka. Dan Allah telah menyediakan amal sunat untuk mukmin yang kuat. Jadi, ada hamba yang melakukan kewajiban karena takut akan hukuman-Nva dan untuk menyelamatkan diri dari kebinasaan dan hukuman. Mereka melakukan kewajiban bukan karena rindu kepada-Nya. Mereka beribadah hanya untuk diri sendiri dan untuk mendapatkan bagian mereka. Mereka melaksanakan kewajiban karena dibetot (diikat) oleh rantai taklif. Dalam sebuah hadist disebutkan, "Tuhan heran melihat satu kaum yang digiring menuju surga dengan rantai". Keadaannya berbeda dengan mukmin yang kuat. Mereka merasakan gejolak rindu dan cinta yang tidak bisa dipuaskan hanya dengan memenuhi kewajiban. Dari dunia yang bersekat ini hati mereka tertuju kepada Allah.

Seandainya tidak dihalangi untuk shalat sunat di waktu yang terlarang, pasti mereka akan menghabiskan waktu dengan shalat sunat dan memaksakan diri melebihi kemampuan mereka.

Hadist Nabi S.a.w berikut ini ditujukan kepada kelompok pertama, "Bersegeralah melakukan amal untuk menghadapi tujuh keadaan, yaitu kekayaan yang mengantarkan pada kelaliman, kemiskinan yang melenakan, sakit yang merusak, usia tua yang melemahkan tubuh dan pikiran, kematian yang membinasakan, dajjal sebagai keburukan tersembunyi, dan akhirnya kiamat. Kiamat adalah bencana yang paling besar dan paling menyakitkan.".

Hadist di atas membangkitkan semangat untuk menghadap kepada Allah S.w.t, bersegera melakukan ketaatan, serta berlomba-lomba mempersiapkan diri untuk menghadapi keadaan-keadaan itu. Rasulullah S.a.w meminta mereka untuk segera beramal. Ada hadist lain yang meminta hamba untuk tidak melampaui batas dalam melakukan ketaatan dan tidak mengikuti dorongan cinta sehingga membebani diri melebihi kemampuan. Pada giirannya, amal yang berlebihan akan melemahkan mereka untuk melakukan ketaatan lain karena terlalu memaksakan diri. Ada beberapa hadist Nabi S.a.w tentang hal ini: "Kerjakanlah amal sesuai dengan kemampuan kalian. Demi Allah, Allah tidak jemu, dan kalianlah yang merasa jemu.".

~ Syekh Ibn 'Athaillah al-Sakandari ~
sumber: Lathaif al-Minan (Rahasia Yang Maha Indah - Belajar Hidup Berkah dari Kekasih Allah)

Catatan: Banyak ulama mengartikan nafilah, sebagai kewajiban tambahan yang khas buat Nabi S.a.w selain kewajiban shalat fardhu lima kali dalam sehari semalam. Pendapat ini di antaranya disokong oleh Ibnu Abbas merujuk riwayat Al-'Aufi, Imam Syafi'i, dan Ibnu Jarir Ath-Thabari. "Tahajjud sebagai nafilah bagi Nabi S.a.w adalah ibadah tambahan yang khusus karena diperintahkan secara khusus untuk shalat di malam hari (qiyamul lail) tetapi tidak wajib bagi umatnya.". Sehingga jika bagi Nabi S.a.w adalah wajib, shalat tahajud bagi kita oleh para fuqaha dipandang sunah yang bermakna sebagai penghapus dosa. Setelah dosa terhapus, semoga ('asa) Allah segera menempatkan kita pada maqam yang mulia.

اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ

Wassalam

Baca juga:
Keutamaan Wali dan Kewalian
Menyambut Kematian Dengan Amal Shaleh
Tolong Menolong Dalam Kebaikan
Previous
Next Post »