"Kejadian-kejadian dalam kehidupan manusia di dunia ini ada yang biasa dan ada pula yang tidak biasa, tetapi semuanya terjadi atas ketentuan dan kehendak Allah S.w.t"
Hal-hal yang luar biasa itu dalam pandangan manusia terkadang dianggap sesuatu yang tak masuk akal; tetapi bagi Allah, sangat mudah bagi-Nya menentukan dan memperbuat segala yang diinginkan-Nya.
Ayat 38 sampai 41 dari surah Ali ‘Imran berikut ini mengisahkan Nabi Zakaria A.s yang mengalami kejadian yang sangat langka. Ia mendapatkan anak di saat telah sangat tua dan istrinya pun seorang wanita yang 'mandul'. Tetapi Allah melakukan apa yang dikehendaki-Nya. Marilah kita perhatikan ayat-ayat tersebut dan kita simak pula penafsirannya yang disebutkan oleh Ibnu Katsir dalam tafsirnya.
Allah S.w.t berfirman:
Di sanalah Zakaria berdoa kepada Tuhannya seraya berkata, “Ya Tuhanku, berilah aku dari sisi Engkau seorang anak yang baik. Sesungguhnya Engkau Maha Pendengar doa.”
Kemudian Malaikat (Jibril) memanggil Zakaria sedang ia tengah berdiri melakukan shalat di mihrab (katanya), “Sesungguhnya Allah menggembirakan kamu dengan kelahiran (seorang putramu) Yahya, yang membenarkan kalimat (yang datang) dari Allah, menjadi ikutan (yang diikuti), menahan diri (dari hawa nafsu), dan seorang nabi termasuk keturunan orang-orang shalih.”
Zakaria berkata, “Ya Tuhanku, bagaimana aku bisa mendapat anak, sedang aku telah sangat tua dan istriku pun seorang yang mandul?”
Berfirman Allah, “Demikianlah, Allah berbuat apa yang dikehendaki-Nya.”
Berkata Zakaria, “Berilah aku suatu tanda (bahwa istriku telah mengandung).”
Allah berfirman, “Tandanya bagimu, kamu tidak dapat berkata-kata dengan manusia selama tiga hari, kecuali dengan isyarat. Dan sebutlah (nama) Tuhanmu sebanyak-banyaknya serta bertasbihlah di waktu petang dan pagi hari.”
Setelah Nabi Zakaria A.s melihat bahwa Allah menganugerahkan rizqi kepada Maryam berupa buah musim kemarau pada waktu musim hujan dan buah musim hujan pada musim kemarau, ia pun sangat menginginkan kehadiran seorang anak, walaupun ia sudah tua renta dan tulang-tulangnya sudah lemah serta rambutnya sudah dipenuhi uban. Istrinya pun sudah tua lagi mandul. Namun ia tetap memohon kepada Tuhannya dan menyeru-Nya dengan suara yang lembut, “Tuhanku, anugerahkanlah kepadaku dari sisi-Mu keturunan yang baik”, yakni anak yang shalih. “Sesungguhnya Engkau Maha Mendengar doa.”
Allah Ta‘ala berfirman, yang artinya, “Kemudian Malaikat menyeru Zakaria, sedang ia tengah berdiri melakukan shalat di mihrab”, yakni malaikat mengajaknya bicara ketika ia shalat di mihrab peribadahannya. Kemudian Allah Ta‘ala memberitahukan berita gembira yang malaikat sampaikan kepadanya, “Sesungguhnya Allah menggembirakanmu dengan Yahya”, yakni dengan kelahiran seorang anak yang keluar dari sulbimu dan diberi nama Yahya. Qatadah mengatakan bahwa ia dinamakan Yahya liannallaha ahyahu bil-iman (karena Allah menghidupkannya dengan iman).
Mengenai firman Allah, yang artinya, “Yang membenarkan kalimat Allah”, diriwayatkan oleh Al-Aufi dari Ibnu Abbas bahwa yang dimaksud adalah yang membenarkan Isa putra Maryam. Ar-Rabi` bin Anas mengatakan: Ia (Yahya) adalah orang pertama yang membenarkan Isa. Sedangkan Ibnu Juraij mengatakan bahwa Ibnu Abbas berkata: Yahya dan Isa adalah sepupu dari pihak ibu (ibu mereka kakak-beradik). Ibunda Yahya pernah berkata kepada Maryam, “Aku bermimpi, anak yang berada di perutku sujud kepada anak yang berada di perutmu.” Nabi Yahya adalah orang pertama yang membenarkan Nabi Isa, dan yang dimaksud “Kalimat Allah” adalah Nabi Isa. Namun Nabi Yahya lebih tua usianya. Demikian pula yang dikatakan oleh As-Sudi.
Mengenai firman Allah sayyida pada ayat di atas, ada banyak pendapat. Abu Al-‘Aliyah mengatakan bahwa yang dimaksud adalah penyantun. Qatadah mengatakan bahwa yang dimaksud adalah pemuka dalam hal ilmu dan ibadah. Adapun Ibnu Abbas berpendapat bahwa yang dimaksud adalah orang yang penyantun dan bertaqwa. Sa‘id bin Al-Musayyab berpendapat, maksudnya orang yang faqih dan alim. Sedangkan ‘Athiyyah menyebutkan, maksudnya pemuka dalam akhlaqnya dan agamanya.
Mengenai firman Allah hashura, diriwayatkan dari Ibnu Mas‘ud, Ibnu Abbas, dan Mujahid, mereka mengatakan, maksudnya orang yang tidak dapat menggauli wanita. Sedangkan riwayat dari Abu Al-‘Aliyah dan Ar-Rabi‘ bin Anas menyebutkan bahwa yang dimaksud adalah tidak dapat memiliki anak.
Tetapi Al-Qadhi Iyadh mengatakan dalam tafsirnya Asy-Syifa’: Yang dimaksud dengan kata hashura pada ayat itu adalah tidak seperti yang dikatakan oleh sebagian mereka (para mufassir) bahwa ia (Nabi Yahya) adalah seorang yang tidak berani atau tidak mampu menggauli wanita. Pendapat seperti itu ditolak oleh para mufassir yang cerdas dan para ulama yang kritis yang mengatakan bahwa penafsiran demikian merupakan suatu kekurangan dan aib serta tidak layak bagi para nabi. Jadi, yang dimaksud hashura ialah terpelihara dari dosa, yakni ia tidak melakukan dosa, seolah-olah terpagari darinya.
Ada pula pendapat yang mengatakan bahwa maksudnya adalah mencegah dirinya dari nafsu. Pendapat lain mengatakan bahwa maksudnya adalah tidak memiliki nafsu terhadap wanita, meskipun memiliki kemampuan untuk itu. Telah jelas bahwa ketidakmampuan untuk menggauli wanita merupakan kekurangan. Sedangkan yang merupakan kelebihan adalah memiliki kemampuan tersebut namun mencegahnya, baik dengan kesungguhan menahan diri seperti yang dilakukan Nabi Isa AS maupun karena penjagaan dari Allah seperti pada diri Nabi Yahya AS.
Jika kemampuan itu berada pada orang yang sanggup untuk melakukannya dan dapat melaksanakan kewajiban terhadap istrinya namun tidak melalaikannya dari Tuhannya, itu derajat yang tertinggi. Itulah derajat Nabi kita, Muhammad SAW. Banyaknya istri tidak membuat beliau lalai untuk melakukan ibadah kepada Tuhannya, bahkan semakin meningkatkan ibadah beliau, sebab beliau dapat menjaga mereka, memenuhi kewajiban terhadap mereka, memberi nafkah mereka, serta memberikan petunjuk kepada mereka. Bahkan beliau menegaskan bahwa istri-istri beliau itu bukan perolehan dunianya, meskipun wanita merupakan perolehan dunia bagi orang lain. Beliau bersabda, “Allah membuat aku mencintai sebagian dunia kalian.”
Nabi Yahya dikatakan hashur bukan karena ia tidak dapat menggauli wanita, namun maksudnya adalah ia ma‘shum (dipelihara oleh Allah) dari melakukan perbuatan maksiat dan hal-hal kotor. Kema‘shuman itu tidak menolak kemungkinan ia menikah dengan wanita secara halal dan memberikan keturunan kepada mereka. Bahkan hal ini dapat dipahami dari doa Nabi Zakaria yang terdahulu, “Berilah aku dari sisi Engkau seorang anak yang baik.” Seolah-olah Zakaria berkata: seorang anak yang memiliki keturunan dan penerus.
Firman Allah Ta‘ala, yang artinya, “Seorang nabi dari keturunan orang-orang yang shalih”, merupakan berita gembira kedua, yakni ia akan menjadi seorang nabi, setelah berita gembira pertama mengenai kelahirannya. Berita gembira yang kedua ini lebih tinggi daripada yang pertama, sebagaimana firman Allah kepada ibunda Musa, yang artinya, “Karena sesungguhnya Kami akan mengembalikannya kepadamu dan menjadikannya sebagai salah seorang rasul.” (Al-Qashash: 7).
Setelah Nabi Zakaria meyakini kebenaran berita gembira ini, ia merasa takjub akan adanya anak padahal ia sudah tua. “Ya Tuhanku, bagaimana aku bisa mendapat anak sedang aku telah sangat tua dan istriku pun seorang yang mandul?” Lalu dikatakan, yang artinya, ”Berfirman Allah, ‘Demikianlah, Allah berbuat apa yang dikehendaki-Nya’.” Maksudnya, urusan Allah itu mahabesar sehingga tidak ada satu perkara pun yang melemahkannya. Setelah itu dikatakan, ”Berkata Zakaria, ‘Berilah aku suatu tanda (bahwa istriku telah mengandung).’ Allah berfirman, ‘Tandanya bagimu, kamu tidak dapat berkata-kata dengan manusia selama tiga hari, kecuali dengan isyarat’.” Yakni, kamu tidak dapat berbicara padahal sehat walafiat.
Kemudian Allah menyuruhnya supaya banyak berdzikir, bertakbir, dan bertasbih berkaitan dengan berita gembira ini. Maka Allah berfirman, yang artinya, ”Dan sebutlah (nama) Tuhanmu sebanyak-banyaknya serta bertasbihlah di waktu petang dan pagi hari.”.
Ibnu Katsir - Tafsir Surah Ali ‘Imran (38-41)
EmoticonEmoticon