Musuh terbesar yang harus selalu kita waspadai adalah diri kita sendiri. Kita tak akan celaka kecuali oleh diri kita sendiri. Musuh-musuh lahir (zhahir) itu tak begitu berbahaya dibanding bahaya jika kita tak sanggup mengendalikan diri.
Saat perang Badar, 300 kaum Muslimin bisa melawan hampir 1000 orang. Perang yang sangat berat. Ketika perang usai, Rasul SAW bersabda "Kita baru menghadapi jihad yang kecil dan kita akan menghadapi jihad yang lebih besar lagi." Sahabat bertanya, "Rasul, pertempuran seperti apakah itu?" Ternyata jihad yang lebih besar adalah melawan hawa nafsu.
Kita sering lebih sibuk mengendalikan musuh yang nyata (lahir) tanpa sibuk dengan musuh batin (tanpa sibuk mengendalikan nafsu diri sendiri), padahal mengendalikan diri seharusnya lebih diprioritaskan. Musuh lahir hanyalah bonus dari Allah, sebagai pemicu dan alat agar kita memiliki kesempatan berjihad, sedangkan bersungguh-sungguh mengendalikan diri adalah fardhu 'ain. Peperangan bukanlah masalah menang atau kalah. Ketika Imam Ali akan menusuk lawannya, wajah beliau diludahinya, hingga beliau tak jadi membunuhnya. Kemudian lawannya bertanya, "Ali, mengapa engkau tak membunuhku?" Jawabnya, "Karena aku khawatir membunuhmu bukan karena Allah, tapi karena ludah.". Ketika dipukul oleh lawan, kita tak rugi, bahkan rasa sakit itu bisa menggugurkan dosa. Jika kita membalas agar lawan berhenti dari berbuat zalim, kita mendapat pahala. Tapi jika kita membalas lebih, maka kitalah yang zalim. Masalah terbesar bagi kita adalah mengendalikan hawa nafsu karena ia ibarat kuda. Hawa nafsu (syahwat) adalah bagian dari karunia Allah, akan jadi amal saleh jika digunakan dengan niat dan cara yang benar, akan menjerumuskan jika tak ikendalikan.
Kita sering lebih sibuk mengendalikan musuh yang nyata (lahir) tanpa sibuk dengan musuh batin (tanpa sibuk mengendalikan nafsu diri sendiri), padahal mengendalikan diri seharusnya lebih diprioritaskan. Musuh lahir hanyalah bonus dari Allah, sebagai pemicu dan alat agar kita memiliki kesempatan berjihad, sedangkan bersungguh-sungguh mengendalikan diri adalah fardhu 'ain. Peperangan bukanlah masalah menang atau kalah. Ketika Imam Ali akan menusuk lawannya, wajah beliau diludahinya, hingga beliau tak jadi membunuhnya. Kemudian lawannya bertanya, "Ali, mengapa engkau tak membunuhku?" Jawabnya, "Karena aku khawatir membunuhmu bukan karena Allah, tapi karena ludah.". Ketika dipukul oleh lawan, kita tak rugi, bahkan rasa sakit itu bisa menggugurkan dosa. Jika kita membalas agar lawan berhenti dari berbuat zalim, kita mendapat pahala. Tapi jika kita membalas lebih, maka kitalah yang zalim. Masalah terbesar bagi kita adalah mengendalikan hawa nafsu karena ia ibarat kuda. Hawa nafsu (syahwat) adalah bagian dari karunia Allah, akan jadi amal saleh jika digunakan dengan niat dan cara yang benar, akan menjerumuskan jika tak ikendalikan.
Allah menciptakan setan sebagai musuh kita dan ia menjatuhkan kita melalui hawa nafsu. Kalau kita tak pandai mengendalikannya, ibarat kuda binal dengan setan sebagai pelatihnya. Jika kuda tunduk pada kita, insya Allah kita akan lebih cepat mencapai tujuan maslahat dengan energi yang lebih efisien. Tapi kalau tak dikendalikan, akan seperti rodeo, membuat terombang-ambing, akhirnya terpelanting dan terinjak. Mangapa masih ada orang yang tak bisa mengendalikan diri di bulan Ramadhan padahal setan saat itu dibelenggu?
Karena setan itu pelatih nafsu, kalau pelatihnya diikat, tetapi yang dilatihnya sudah terlatih, maka tetap saja dia bermaksiat. Jika kita ingin tahu sampai sejauh mana pembinaan setan pada diri kita, lihatlah kemampuan kita mengendalikan diri di bulan Ramadhan. Lalu, mulai dari mana kita mengendalikan nafsu? Mulailah dari menjaga amarah, pikiran, lisan, pandangan, keinginan lainnya. Misalkan ketika marah, "Apakah kata-kata ini nasihat atau bagai pisau yang menghunjam dan mencabik-cabik?"
Mulut baru boleh berkata bila telah melalui proses perhitungan terbaik, setidaknya jangan berkata kecuali bermanfaat. Ketika mata melihat sesuatu yang haram, jaga pandangan. Andai ingin merasakan manisnya iman, tahanlah pandangan, akrabkan mata dengan Alquran atau bacalah buku-buku yang bisa menambah ilmu. Janganlah mengobral mata untuk melihat hal yang mengotori hati. Allah Maha Melihat bagaimana gigihnya kita menahan pandangan. Kalau akan makan, "Halalkah ini? Haruskah saya makan makanan semahal ini? Dengan uang sejumlah ini berapa orang yang bisa kita beri makan?"
Jika sering bertanya seperti itu, maka nikmat makanan akan berpindah, bukan pada nikmat rasa, tapi pada nikmat syukur. Atau, "Kenapa saya harus memakai sepatu dan baju yang mahal? Bisakah uangnya dipakai membeli buku atau untuk kursus?" Selalu mulai dengan pertanyaan. Allah Mahatahu bagaimana kegigihan kita meluruskan niat. Ketahuilah bahwa tabiat nafsu itu tak sebanding antara kesenangannya dengan akibat dan risiko yang harus dipikulnya.
Allah merancang kenikmatan itu sedikit dan sebentar. Misalkan memakan makanan haram, nikmatnya sebentar, tapi akibatnya amal tak diterima selama 40 hari dan kalau jadi daging diharamkan surga baginya. Bandingkanlah, kenikmatan sebentar dengan akibat tiada akhir yang dideritanya. Apa lagi yang bisa kita miliki kalau kita sudah tak bisa mengendalikan diri. Kalau kita tertipu dan diperbudak nafsu, lalu apa yang berharga pada diri kita.
Tak ada kemuliaan bagi orang-orang yang memperturutkan hawa nafsu yang tak dijalan Allah. Kemuliaan hanyalah bagi orang-orang yang gigih mengendalikan dan memelihara diri. Semoga Allah SWT menggolongkan kita menjadi orang yang sanggup mengendalikan diri.
~ KH Abdullah Gymnastiar ~
EmoticonEmoticon