Meraih Kesucian Hati Dengan Memaafkan

"Sebagai sesama hamba Allah, seorang mukmin hendaknya senantiasa memohon maaf dan memberi maaf satu sama lainnya. Lazimnya dalam silaturahmi, satu pihak meminta maaf dari orang lain sedangkan pihak lainnya memberikan maaf kepadanya. Sungguh tindakan memaafkan dan mengampuni itu memperlihatkan kebaikan dalam diri manusia"

Manusia tidak pernah lepas dari kesalahan selama hidup di masyarakat. Ketika kita berbuat kesalahan kepada orang lain, maka kewajiban kita adalah meminta maaf dan ampunan. Jika orang itu memberikan maaf dan ampunan, maka kita benar-benar terbebas dari dosa. Sebaliknya, jika orang itu tidak mau memberikan maaf dan ampunan, kecenderungan kita merasa kesedihan dalam hati karena dosa dan kesalahan masih menghantui pikiran kita. Mestinya kita tidak perlu sedih itu sebab kewajiban orang salah hanyalah meminta maaf dan ampunan. Sedangkan memberikan maaf dan ampunan adalah kewajiban orang lain kepada orang  yang memintanya. Memang memberikan maaf dan ampunan kepada orang lain lain tidaklah mudah bagi manusia, terlebih lagi bagi mereka yang merasa sakit hati dan dendam.

Kita mengetahui bahwa seorang bayi tidak memiliki dosa dan dendam dalam hati. Betapa indah hati manusia jika ia terlepas dari dosa dan dendam. Sebaliknya betapa celakanya manusia jika hatinya dipenuhi dengan dosa dan dendam kepada orang lain.

Dosa adalah apa yang menghalangi manusia dari Allah S.w.t. (Syekh Ali al-Jurjani, at-Ta'rifat, 1988, halaman 107). Dosa terjadi sebab hubungan manusia dengan Allah dan hubungannya dengan manusia lain. Jika kita melakukan dosa kepada-Nya maka kita bisa memperoleh maaf dan ampunan dari-Nya dengan melakukan taubat. Dosa sebagai akibat dari hubungan manusia dengan Allah relatif mudah, sebab Allah Maha Pemaaf dan Maha Pengampunan (QS 22: 60). Sementara itu, dosa sebagai akibat dari hubungannya dengan manusia lain tidak bisa diselesaikan hanya dengan taubat melainkan harus disertai dengan meminta maaf dan ampunan darinya. Dengan meminta maaf dan ampunan, seseorang itu bisa mendapatkan maaf dan ampunan dari orang lain.

Tentunya seorang mukmin merasakan beban dalam hati ketika ia berbuat kesalahan kepada orang lain. Sebab itu tindakan meminta maaf dan ampunan dari orang lain relatif mudah dilakukan oleh manusia. Sementara itu, tindakan memaafkan dan mengampuni terasa sulit dalam diri manusia terlebih bagi yang memiliki dendam di dalamnya. Sebab itu, Allah memerintahkan orang mukmin untuk memberikan maaf dan ampunan seperti dijelaskan dalam Al-Qur'an; "Maka maafkanlah mereka dan biarkanlah mereka sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik". (QS 5: 13).

Dua Nama Indah Allah S.W.T, Maha Pemaaf dan Maha Pengampun

"Tindakan memaafkan dan mengampuni tidak bisa dilepaskan dari sikap Allah S.W.T terhadap kesalahan manusia"

Dalam kitab Suci Al Qur'an, Allah seringkali mengungkapkan secara berpasangan dua Nama Indah-Nya. Misalnya, Nama Al-'Afuww (Maha Pemaaf) dan Nama Al-Ghafur (Maha Pengampun). Hal itu bisa kita lihat dalam salah satu ayat: "Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf dan Maha Pengampun". (QS 22: 60). Dalam kitab Al-Maqshad Al-Asna, Imam Al-Ghazali menjelaskan bahwa Nama Pengampun (Al-Ghafur) memiliki arti sama dengan Al-Ghaffar (Al-Ghazali, Al-Maqshad Al-Asna, 1986, halaman.114). Kata Al-Ghafur dan kata Al-Ghaffar berasal dari akar kata yang sama, yaitu gh-f-r. Ibn Faris menjelaskan bahwa akar kata itu memiliki arti menutupi (sitr). (Ibn Faris, Mu'jam, 1994, hlm.811).

Dalam pandangan Al-Ghazali, Al-Ghaffar adalah bahwa Allah memperlihatkan kebaikan dan menutupi keburukan. Dosa merupakan totalitas keburukan yang ditutupi oleh dengan memberikan tutupnya di dunia dan menghilangkan sangsinya di akhirat. Pengampunan adalah menutup. Dalam hal ini, Allah menutupi dalam tiga tahap penting:

1). Allah menjadikan keburukan-keburukan badan manusia yang dianggap buruk oleh mata, tertutup di dalamnya dan menutupinya dengan keindahan lahirnya.

2). Allah menjadikan letak gerak hatinya yang tercela dan keinginannya yang buruk, tersembunyi dalam hatinya sehingga tidak seorang pun mengetahuinya.

3). Allah menutupi dosa-dosa manusia yang seharusnya ditampakkan di hadapan manusia lain. Bahkan dia menjanjikan untuk mengganti keburukan itu dengan kebaikan dan menutupi keburukan dosanya dengan pahala kebaikannya jika ia mati dalam keimanan (Al-Ghazali al-Maqshad al-Asna, 1986, halaman 85).

Sementara itu, kata Al-'Afuww berasal dari akar kata 'a-f-w yang berarti meninggalkan sesuatu (Ibn Faris, Mu'jam, 1994, halaman 667). Dalam konteks ini, Al-Ghazali menjelaskan Allah sebagai Maha Pemaaf adalah bahwa Dia menghapus keburukan dan memaafkan kemaksiatan. Makna Maha Pemaaf ini berdekatan dengan makna Maha Pengampun. Meski begitu, maka Maha Pemaaf itu lebih dalam lagi daripada makna Maha Pengampun karena mengampuni dibangun dari makna "Menutupi" dan memaafkan dibangun dari makna "Menghapus". Makna menghapus lebih jauh daripada menutupi. (Al-Ghazali, al-Maqhad al-Asna, 1986, halaman 151).

Sebagai hamba Allah S.w.t, seorang mukmin dituntut agar ia bisa meneladani dua Nama indah-Nya dalam kehidupan sehari-hari.

Pertama, ia harus meneladani Nama Indah Al-Ghaffar dengan cara menutupi orang lain apa yang seharusnya ditutupi. Nabi Muhammad S.a.w bersabda; "Barang siapa menutupi aurat pada orang beriman, maka Allah Yang Maha Mulia dan Maha Tinggi akan menutupi auratnya di hari Kiamat.". (Al-Ghazali, al-Maqhad al-Asna, 1986, halaman 85).

Kedua, ia juga harus meneladani Nama Indah Al-'Afuww dengan cara memaafkan setiap orang yang berbuat zhalim kepadanya. Bahkan ia bisa berbuat baik kepadanya seperti halnya Allah berbuat baik kepada orang durhaka dan kafir tanpa mempercepat siksa mereka. Lebih dari itu, Dia kadang memberikan maaf dan taubat kepada mereka (Al-Ghazali, al-Maqhad al-Asna, 1986, halaman 151).

Meraih Kesucian Hati

"Tidak ada alasan untuk tidak memaafkan dan mengampuni kesalahan orang lain. Dengan memaafkan dan mengampuni, kita membuka kembali hati untuk menerima kehadiran orang lain sebagai saudara dalam menjalani hidup di dunia ini"

Jika kita merenungkan seorang bayi yang baru dilahirkan oleh ibunya, maka kita tahu bahwa Allah menciptakannya dalam keadaan fitrah, suci bersih tanpa noda dalam hatinya. Betapa indahnya jika hati kita semua terbebas dari dosa dan dendam kepada sesama, karena istilah Fitrah itu pada hakikatnya menunjukkan kondisi hati pada terlepas dari dosa dan dendam.

Dalam sebuah hadits, Nabi Muhammad S.a.w bersabda; "Sesungguhnya Allah tidak memandang jasad kalian dan tidak pula wajah kalian tetapi Dia memandang kepada hati kalian". (HR.Muslim).

Hati (qalbu) adalah hakikat manusia. Selain itu, hati merupakan tempat jatuhnya pandangan Allah kepada manusia. Tentunya Dia akan tidak senang bahkan murka saat memandang hati hamba-Nya yang penuh dengan dosa dan dendam.

Secara umum, manusia merasakan kebahagiaan saat memandang raut muka seorang bayi. Hal itu terjadi karena seorang bayi tidak memiliki dosa dan dendam. Begitu halnya jika Allah memandang hati manusia terlepas dari dosa dan dendam, maka Dia senang memandangnya. Bahkan Dia akan memberikan berbagai anugrah-Nya ke dalam hati. Kita mengharapkan bahwa hati kita bisa menjadi tempat bagi berbagai anugrah-Nya, sebab itu, kita bisa membebaskan hati dari dosa dan dendam.

Dalam Al-Qur'an, Allah S.w.t berfirman; "Dan bersegeralah kamu sekalian kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada Syurga yang luasnya langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertaqwa. (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya) bak di waktu lapang maupun sempit dan orang-orang yang menahan amarahmya dan memaafkan (kesalahan) orang. Dan Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan". (Q:S;3:133-134).

"Maka disebabkan rahmat dan Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu, maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun mereka dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu". (Q:S;3:159).

Dari kedua ayat itu, kita bisa memahami bahwa tindakan menafkahkan harta, menahan amarah, memaafkan kesalahan, memohonkan ampunan atas kesalahan orang lain adalah tindakan orang terpuji. Allah S.w.t memerintahkan semua itu kepada kita melalui Rasul-Nya, Nabi Muhammad S.a.w.

Ketika seseorang meminta kita untuk memaafkan dan mengampuni, maka kita seharusnya memaafkan dan mengampuninya. Janganlah kita tetap bersikukuh untuk tidak memaafkan dan mengampuninya karena jika kita berbuat demikian itu maka hati itu masih penuh dengan dendam. Jadi, jika orang diminta untuk memaafkan dan mengampuni kesalahan orang lain dan ia tidak mau melakukannya, maka celakalah dirinya itu sebab hatinya penuh dengan dendam. Padahal Allah tidak senang memandang hati penuh dengan dendam. Bahkan Dia murka pada hati itu sebab tidak memaafkan dan mengampuni orang lain. Jika kita membandingkan antara kesalahan manusia kepada Allah dan kesalahannya kepada manusia lain, maka kesalahannya kepada Allah tentu lebih besar daripada kesalahannya kepada manusia lain. Meski begitu Dia tetap mau memaafkan dan mengampuni kesalahan manusia. Di sini kita tahu bahwa sebenarnya tidak ada alasan untuk tidak memaafkan dan mengampuni kesalahan orang lain.

Jika kita merujuk pada penjelasan Al-Ghazali, maka konsekuensi tindakan mengampuni atas kesalahan orang lain adalah menutupi kesalahan itu dan tidak menceritakannya kepada siapapun. Maksudnya, jika kita mengampuni suatu kesalahan tapi kita masih saja menceritakannya, maka sesungguhnya kita belum mengampuninya secara sejati. Bahkan bisa jadi kita akan terjebak pada kesalahan sebab menceritakan kesalahan seseorang. Jika kita mengampuni kesalahan orang lain, maka kita tidak perlu menceritakan kesalahan itu di hadapan orang lain. Dengan begitu orang yang meminta ampunan dari kita akan merasakan kebaikan luar biasa.

Sedangkan konsekuensi dari tindakan memaafkan atas kesalahan orang lain adalah menghapus dendam itu dari hati. Jika kita telah memaafkan kesalahan orang lain tapi hati kita tetap penuh dengan dendam, maka sesungguhnya kita belum benar-benar memaafkan kesalahan itu. Jika manusia tidak bisa memaafkan kepada manusia lain, maka bisa dipastikan hubungan silaturahmi itu akan putus sebab dendam. Mestinya "saling memaafkan" ini kita jadikan sebagai kesempatan untuk meraih kembali bersih sucinya hati tanpa dosa dan dendam. Dengan memaafkan dan mengampuni, kita membuka kembali hati untuk menerima kehadiran orang lain sebagai saudara dalam menjalani hidup di dunia ini.

Beberapa orang mengatakan bahwa dirinya sulit untuk memaafkan dan mengampuni kesalahan orang lain. Dalam hal ini, dendam merupakan salah satu faktor yang membuat manusia sulit untuk memaafkan dan mengampuni kesalahan manusia lain. Memang hati manusia tidak bisa dilukai dengan pedang tajam. Tapi hati bisa sakit sebab lisan dan perkataan manusia. Dalam Ihya 'Ulum ad-Din, Imam Al-Ghazali memberikan keterangan paling tidak ada dua puluh bahaya lisan. Kadang tidak terasa lisan telah menyakiti hati orang lain dan menimbulkan dendam di dalamnya. Kadang pula hati kita pernah disakiti oleh lisan orang lain sehingga hati itu menyimpan dendam. Marilah kita saling memaafkan dan mengampuni sehingga hati menemukan kembali fitrahnya tanpa dosa dan dendam.

Jika Allah mau memaafkan dan mengampuni kesalahan manusia, mengapa kita tidak mau memaafkan dan mengampuni kesalahan orang lain? Kiranya kita tidak memiliki alasan untuk tidak memaafkan dan mengampuni. Seperti halnya Nabi Muhammad S.a.w, kaum Shalih mudah memaafkan dan mengampuni kesalahan orang lain. Meski begitu, kita perlu memahami motivasi dibalik kedua tindakan itu sehingga kita mudah melakukannya. Motivasi pertama, manusia harus memahami kebaikan Allah kepadanya. Motivasi ini memberikan pengetahuan bahwa dirinya banyak berbuat kesalahan kepada Allah dan Dia pun mau memaafkan dan mengampuninya. Motivasi kedua, manusia harus memahami dirinya dengan jujur bahwa dirinya juga pernah menyakiti hati orang lain tanpa sepengetahuannya. Motivasi ini memberikan pengetahuan bahwa manusia juga membutuhkan maaf dan ampunan dari orang lain. Dua motivasi itu diharapkan bisa memudahkan kita untuk melakukan tindakan memaafkan dan mengampuni dalam rangka membebaskan hati kita dari dendam.

Marilah kita meraih kesucian hati. Hati adalah hakikat manusia dan Allah selalu memandangnya. Bersih dan suci hati manusia itu seperti seorang bayi yang baru dilahirkan oleh ibunya. Di dalam hati itu tidak ada dosa dan tidak ada penyakit hati seperti dendam dan sebagainya. Memang benar ibadah (misalnya puasa atau lainnya) bisa menjadi sebab manusia memperoleh ampunan dan maaf dari Allah, tapi belum bisa membebaskan kita dari kekecewaan bahkan dendam dari orang lain "yang kita dzalimi". Sebab itu, jika kita berbuat kesalahan kepada orang lain, maka seharusnya kita meminta maaf dan ampunan darinya. Di sisi lain, jika kita diminta oleh orang lain untuk memaafkan dan mengampuni kesalahannya, maka kita seharusnya memberikan maaf dan ampunan kepadanya. Jangan biarkan hati kita ini penuh dengan dendam, sebab dendam itu akan memutuskan hubungan silaturahmi sesama manusia.

Hakikat dosa adalah apa yang menghalangi diri manusia dari Allah. (Ali al-Jurjani, at-Ta'rifat, 1988, hlm.107). Pahala besar itu adalah terbebasnya diri manusia dari dosa. Ketika ia terbebas dari dosa, maka ia akan memperoleh kedekatan dengan Allah S.w.t.

Wallahu Warasuluhu A'lam bi Shawab. Wassalam



Previous
Next Post »