Antara Pemberian dan Hukuman - Istidraj (Bagian 2)

Suatu musibah, bilamana seseorang diberi harta yang banyak lalu tidak mampu menggunakannya di jalan agama, diberikan pangkat yang tinggi namun tidak mampu menegakkan syariat, Allah S.w.t menyelipkan di dalam hatinya istidraj


Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kami pun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka, sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, Maka ketika itu mereka terdiam berputus asa“. (QS [6]:44).

Makna ayat-ayat di atas dapat diketahui bahwa ‘istidraj’ adalah pemberian Allah S.w.t kepada seseorang atas apa yang ia inginkan di dunia ini, agar ia menikmatinya dan tenggelam di dalam lautan kesenangan, mereka tidak menyadari bahwa apa-apa yang mereka sangka kesenangan itu adalah sebuah hukuman yang diulur-ulur, agar ia semakin jauh dari Allah S.w.t.

Terlalu banyak di negeri kita ini, orang-orang yang bila mendapatkan jabatan baru, lalu ia bersujud karenanya seolah-olah ia merasa telah mendapatkan karunia dari Allah S.w.t, ia tidak menyadari bahwa hal itu bisa menyusahkannya dikemudian hari. Berbeda dengan para Sahabat Nabi S.a.w, misalnya Salman al Farisi R.a yang ditunjuk untuk menjabat sebagai gubernur di suatu daerah, ia menangis karenanya, khawatir bila tidak dapat menjalankan amanah itu dengan baik, dan tidak lama kemudian ia dicopot dari jabatannya, justru ia melakukan sujud syukur, karena lepas dari tanggung jawab yang sedemikian besar itu.

Jadi istidraj adalah ibarat pisau yang bermata dua, satu sisi berupa sesuatu yang menggembirakan hati, sedangkan sisi yang lain berupa ketidak sadaran bahwa pemberian itu akan mencelakakannya. Oleh sebab itu bagi para salik, wajib hukumnya untuk selalu merapat kepada gurunya, guna mendapatkan bimbingan yang terus menerus, sehingga bila ada istidraj yang datang akan segera dapat diatasinya berkat barokah dari sang guru.

Disebut istidraj, apapun bentuknya baik itu yang dhahir ataupun yang bathin akan sulit dikenali. Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) berkata: ‘Musibah adalah, bilamana seseorang diberi harta yang banyak lalu tidak mampu menggunakannya di jalan agama, diberikan pangkat yang tinggi namun tidak mampu menegakkan syariat, Allah S.w.t menyelipkan di dalam hatinya istidraj’. Dan beliau juga berkata: ‘Celakalah orang yang berdakwah merasa bagai orang suci, pandai berbicara dan mengajak orang lain untuk banyak beribadah, padahal dalam diri orang itu tidak banyak ibadahnya dan peribadatannya tidak bernilai tinggi. Dia menukar ilmunya dengan sesuatu yang bersifat duniawi, yang sejak dari rumah memang sudah diharapkannya. Jelas! Itu bukan peribadatan, itu adalah istidraj’.

Imam Abul Hasan an-Nuri, atau yang kita kenal dengan nama Imam Nuri Q.s menceritakan kisahnya : ‘Bertahun-tahun aku berjuang, menahan diriku dalam penjara dan berpaling dari orang-orang lain. Betapapun wara-nya aku, jalan yang ingin aku tempuh tidak juga terbuka untukku. Aku harus melakukan sesuatu untuk memperbaiki diriku. Aku mendengar bahwa hati para mistik dapat mengetahui rahasia dari apa pun yang mereka lihat dan dengar. Sedangkan aku tidak begitu, aku berkata: ‘Benar apa yang diucapkan oleh para Nabi dan para Wali. Mungkin aku munafik dalam perjuanganku, dan kerusakannya berdampak pada diriku sendiri. Disini tak ada tempat bagi perbedaan pendapat.’ Aku melanjutkan, ‘Sekarang aku akan mencermati diriku sendiri dan mencari tahu apa yang salah.’ Aku memandangi diriku sendiri, dan aku pun menemukan apa yang salah pada diriku, yakni jiwa badaniahku menyatu dengan hatiku. Bila jiwa badaniah menyatu dengan hati, itu namanya bencana, karena apapun yang berkilau di hati, jiwa badaniah akan mengambil bagiannya. Aku pun menyadari bahwa inilah penyebab dilema yang aku hadapi, segala yang memasuki hatiku dari Istana Tuhan, jiwa badaniahku akan selalu mengambil bagiannya. Sejak saat itu, aku menjauhi apa pun yang memuaskan jiwa badaniyahku, dan mengambil sesuatu selainnya. Misalnya, jika shalat atau puasa atau sedekah atau mengasingkan diri atau bergaul dengan para sahabatku memuaskan jiwa badaniahku, maka aku akan memotong dan membuang jauh-jauh segala kepuasan itu. Akhirnya rahasia-rahasia mistis mulai terwujud dalam diriku. Lalu aku berjalan menyusuri sungai Tigris dan berdiri di antara dua sampan. ‘Aku takkan pergi, kataku, sampai seekor ikan terjerat jalaku.’ Akhirnya, seekor ikan terjerat jalaku. Saat aku mengambil ikan itu, akau memekik, ‘Segala puji bagi Allah, urusan-urusanku telah berjalan dengan baik!’ Aku pergi menemui Imam Junayd Ra dan berkata padanya, ‘Sebuah karunia telah dianugerahkan padaku!’, ‘Abul Hasan,’ ujar Imam Junayd R.a, ‘Jika seekor ular yang terjerat jalamu, dan bukannya seekor ikan, itu baru suatu tanda karunia. Namun karena dirimu sendiri terlibat, itu adalah muslihat bukan karunia. Karena tanda dari suatu karunia adalah engkau tidak terlibat sama sekali.’

Kisah di atas sungguh hebat, istidraj tidak saja hinggap kepada orang awam, tetapi hinggap juga kepada penempuh jalan kesucian, namun kesadarannya dapat segera bangkit, karena mereka bersahabat dengan para sufi yang lain, yang mempunyai kedudukan yang mulia. Berkat persahabatannya di jalan Allah itu, maka yang satu dengan yang lain akan saling membantu dan mengingatkan. Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) sering berkata kepada para murid-muridnya:

Jika engkau merasa sedang dalam tekanan kehidupan yang keras, lalu engkau berdoa agar segera berlalu, namun Allah malah menekannya lebih keras lagi, itu tanda sebuah karunia besar yang sedang engkau hadapi.’.

Oleh karenanya Imam Sibly Q.s, seorang murid dari Imam Junayd R.a pernah berdoa : ‘Yaa Allah aku berlindung kepada-Mu dari-Mu.’ Yakni, untuk dapat membedakan apakah pemberiaan dari Allah S.w.t itu merupakan istidraj atau anugerah. Jika imamnya para Syaikh sufi saja berdoa seperti ini, bagaimana kita bisa mengenali sebuah istidraj yang datang kepada kita? Mari para sahabat, segera kita berlidung kepada Allah Sw.t dari fitnah-fitnah dunia ini, berharap kiranya Allah menghinggapkan nadam (daya sesal) atas dosa-dosa yang secara sengaja dilakukan ataupun yang tidak sengaja, yang terlihat maupun tidak terlihat dan yang terasa ataupun yang tidak terasa serta memberikan kesanggupan kepada kita didalam melakukan pertaubatan. Semoga Allah S.w.t mensucikan dan mengampuni dosa-dosa kita, Amin ya Allah ya Rabbal Alamin.

Perbedaan Antara Karamah dan Istidraj

Perlu diketahui bahwa siapa saja yang menginginkan sesuatu dan keinginannya itu dikabulkan oleh Allah, maka itu belum tentu menunjukkan bahwa ia seorang hamba yang mulia di sisi Allah, baik pemberian Allah tersebut sesuai atau berbeda dengan kebiasaan. Akan tetapi pemberian Allah tersebut bisa berarti penghormatan Allah untuk hamba-Nya (karamah) atau tipuan untuknya (istidraj).

Perbedaan antara karamah dan istidraj adalah bahwa pemilik karamah tidak begitu senang dengan karamah yang dimilikinya, bahkan karamah itu membuatnya semakin takut kepada Allah, kewaspadaannya terhadap siksa Allah semakin kuat, karena ia takut kalau-kalau hal tersebut merupakan istidraj. Sedangkan pemilik istidraj sangat senang dengan hal-hal luar biasa yang ada pada dirinya dan mengira bahwa karamah itu ada pada dirinya karena ia berhak memilikinya. Karena itu ia memandang rendah orang lain, membanggakan diri sendiri, dan merasa aman dari tipu daya dan siksaan Allah, dan tidak takut kepada siksa Allah. Jika sikap seperti ini muncul pada diri seorang pemilik karamah, berarti yang dimilikinya bukanlah karamah tetapi istidraj

Orang-orang yang berpegang pada kebenaran (Al-Muhaqqiqun) mengatakan bahwa ada kesepakatan bahwa keterputusan dari hadirat Allah sebagian besar terjadi dalam kondisi memiliki karamah. Tidak diragukan lagi, golongan Al-Muhaqqiqun takut kepada karamah, seperti rasa takut mereka kepada berbagai macam cobaan. Rasa senang kepada karamah dapat memutuskan jalan kepada Allah. Hal ini dapat dijelaskan dengan beberapa hujjah:

1. Ketertipuan ini terjadi, ketika seseorang yakin bahwa dirinya berhak memperoleh karamah dan sekiranya ia bukanlah orang yang berhak mendapatkannya maka tidak akan muncul rasa bangga itu bahkan rasa bangganya itu muncul hanya karena karamah wali. Keutamaan karamahnya lebih besar daripada kebahagiaan karena karamah itu sendiri. Kebahagiaan dengan adanya karamah itu melebihi kebahagiaan pada dirinya sendiri. Jelas bahwa kebahagiaan karena adanya karamah tidak akan muncul kecuali dengan adanya keyakinan bahwa dirinyalah pemilik karamah itu dan yang berhak mendapatkannya. Ini adalah kebodohan yang nyata karena para malaikat saja berkata, Tidak ada yang kami ketahui kecuali dari apa yang Engkau ajarkan kepada kami (QS Al-Baqarah [2]: 32). Dan Allah berfirman, Dan mereka tidak menghormati Allah dengan penghormatan yang semestinya (QS Al-An'am [6]: 91). Ada dalil meyakinkan yang menyatakan bahwa makhluk tidak berhak mendakwakan kebenaran, maka bagaimana mungkin ada orang mengaku berhak mempunyai karamah.

2. Karamah adalah sesuatu yang senantiasa tergantung pada Allah Swt. Rasa senang karena memiliki karamah adalah senang kepada sesuatu yang bukan haknya. Rasa senang kepada sesuatu yang bukan haknya merupakan penghalang kebenaran, dan orang yang terhalang dari kebenaran bagaimana mungkin layak untuk senang dan bergembira?

3. Orang yang yakin bahwa dirinya berhak memiliki karamah karena merasa amal perbuatannya memiliki pengaruh besar dalam dirinya dan merasa bahwa perbuatannya bernilai atau berpengaruh pada dirinya adalah orang yang bodoh. Kalau saja ia mengenal Tuhan, ia pasti menyadari semua ketaatan makhluk di sisi Allah itu hanya sedikit, semua rasa syukur mereka atas anugerah dan nikmat-Nya itu juga sangat sedikit, dan semua pengetahuan dan ilmu mereka dibandingkan dengan keagungan Allah hanyalah kebingungan dan kebodohan saja.

Ketika Ustaz Abu 'Ali al-Daqaq mengkaji firman Allah yang berbunyi Kepada-Nya lah naik perkataan-perkataan yang baik dan amal yang saleh dinaikkan-Nya (QS Fathir [35]:10), di majelisnya beliau berkata:

"Pertanda bahwa amalmu dinaikkan oleh Allah adalah jika kamu tidak mengingat-ingatnya. Jika kamu mengingat-ingat amalmu, berarti amalmu ditolak, sebaliknya bila kamu tidak mengingat-ingatnya, berarti amalmu diterima dan dinaikkan oleh Allah S.w.t."

4. Pemilik karamah merasa bahwa karamah yang dimilikinya justru untuk memperlihatkan kerendahan hati dan ketundukan di hadapan Allah. Jika ia merasa bangga, tinggi hati, dan sombong disebabkan karamah yang dimilikinya, maka batallah segala sesuatu yang menyebabkannya menerima karamah. Sikap seperti inilah yang membuat pemilik karamah tertolak. Oleh karena itu, setiap kali Rasulullah Saw. menceritakan tentang manaqib (keistimewaan) dan keutamaan dirinya, beliau selalu mengakhirinya dengan kalimat, "Tiada kebanggaan," maksudnya "Aku tidak bangga dengan karamah yang kumiliki ini, yang aku banggakan adalah Zat yang memberi karamah."

5. Kemunculan hal-hal luar biasa pada iblis dan bal'am begitu menakjubkan, tetapi kemudian Allah berfirman kepada iblis, Ia termasuk golongan kafir, kepada bal'am, Ia seperti anjing, dan kepada ulama Bani Israil, Perumpamaan orang-orang yang memegang Taurat, tetapi tidak mengamalkannya adalah seperti keledai yang membawa kitab-kitab yang tebal (QS Al-Jumu'ah [62]: 5), juga firman-Nya kepada Bani Israil, Orang-orang yang telah diberi Al-Kitab tidak berselisih, kecuali setelah datang ilmu kepada mereka, di antara mereka kemudian ada yang membangkang (QS Ali 'Imran [3]: 19). Jadi jelaslah bahwa kegelapan dan kesesatan yang menimpa mereka disebabkan karena rasa bangga dengan ilmu dan kezuhudan yang diberikan kepada mereka.

6. Karamah bukanlah kemuliaan, dan segala sesuatu yang tidak mulia adalah kehinaan. Barangsiapa memuliakan kehinaan berarti ia hina, karena itu Nabi Ibrahim a.s. berkata, "Adapun bagi-Mu, itu tidak berarti apa-apa." Merasa cukup dengan kefakiran adalah fakir, takwa dengan kelemahan adalah lemah, merasa sempurna dengan kekurangan adalah kurang, bahagia dengan semua hal yang diperkenankan dan menerima seluruh kebenaran adalah sikap ikhlas. Fakir adalah ketika seseorang senang dengan kemuliaan yang menjatuhkan derajatnya. Jika seseorang melihat karamah, sesunggu-hnya setiap ia melihat keperkasaan niscaya ia melihat sang pemberi keperkasaan, dan setiap ia melihat ciptaan niscaya ia melihat penciptanya.

7. Bangga terhadap diri dan sifat-sifatnya termasuk sifat-sifat iblis dan Fir'aun. Iblis berkata, Aku lebih baik daripada Adam (QS Al-A'raf [7]: 12) dan Fir'aun berkata, Bukankah kerajaan Mesir ini adalah kepunyaanku (QS Al-Zukhruf [43]: 51). Setiap orang yang mengaku nabi atau tuhan secara dusta, maka ia tidak memiliki tujuan apa-apa, kecuali untuk menghias diri, memperkuat ketamakan dan kebanggaan diri. Oleh karena itu, Rasulullah Saw. bersabda, "Ada tiga hal yang merusak, yang terakhir adalah orang yang membanggakan diri."

8. Allah berfirman, Berpegang teguhlah kepada apa yang Aku berikan kepadamu dan hendaklah kamu termasuk orang-orang yang bersyukur (QS Al-A'raf [7]: 144). Dan sembahlah Tuhanmu sampai datang kepadamu apa yang diyakini (ajal) (QS Al-Hijr [15]: 99). Ketika Allah menganugerahkan karunia yang melimpah kepada kita, kita diperintah untuk menyibukkan diri dengan melayani Sang Pemberi, bukan malah bangga dengan karunia yang diberikan-Nya itu.

9. Ketika Nabi S.a.w disuruh oleh Allah untuk memilih antara menjadi raja yang nabi atau hamba yang nabi, Beliau tidak memilih posisi raja, padahal tidak diragukan bahwa posisi raja yang meliputi daerah Timur dan Barat adalah kemuliaan, bahkan mukjizat. Namun Nabi S.a.w meninggalkan singgasana dan memilih penghambaan ('ubudiyah) kepada Allah. Sebab ketika menjadi seorang hamba, kebanggaannya diarahkan kepada tuannya. Tetapi ketika menjadi raja, kebanggaannya diarahkan kepada budaknya. Ketika Nabi S.a.w memilih penghambaan, sudah tentu dia menjadikan sunnah sebagai penghormatan seperti yang diriwayatkan Ibnu Mas'ud, "Aku bersaksi bahwa Muhammmad S.a.w adalah hamba dan utusan-Nya." Allah berfirman tentang mi'raj Nabi S.a.w, Maha suci Allah yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam. (QS Al-Isra' [17]: 1)

10. Mencintai tuan itu tidak ada artinya, mencintai sesuatu demi tuan juga tidak ada artinya. Barangsiapa mencintai, maka ia tidak akan senang dan gembira selain dengan kekasihnya. Kesenangan dan kegembiraan dengan selain Allah menunjukkan bahwa ia tidak mencintai tuannya, tetapi ia hanya mencintai bagian dari nafsunya sendiri dan bagian dari nafsu hanya dituntut oleh nafsu. Orang seperti ini hanya mencintai dirinya sendiri. Sebenarnya ia tidak mencintai tuannya, ia hanya menjadikan tuannya sebagai sarana untuk memperoleh apa yang dicarinya. Berhala besar adalah nafsu, sebagaimana dinyatakan dalam firman-Nya, Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya (QS Al-Furqan [25]: 43). Manusia seperti ini adalah hamba berhala agung hingga para muhaqqiqin mengemukakan bahwa mudarat karena menyembah berhala tidak sebesar mudarat karena menyembah nafsu, rasa takut karena menyembah berhala tidak sebesar rasa takut karena merasa bangga dengan adanya karamah.

11. Allah berfirman, Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan memberinya jalan keluar dan memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka. Dan barangsiapa bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan keperluannya (QS Al-Thalaq [65]: 2-3). Ayat ini menunjukkan bahwa orang yang tidak bertakwa dan tidak bertawakkal kepada Allah, maka tidak akan memperoleh apa-apa dari perbuatan dan keadaan mereka itu.
~ Selesai ~

Wallahu wa Rasuluhu a'lam bisshawab. Wassalam.

اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَاَلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلِّمْ


Baca juga: Antara Ujian dan Karunia - Istidraj (Bagian 1)
Previous
Next Post »