Antara Ujian dan Karunia - Istidraj (Bagian 1)

"Dan di antara ujian itu adalah ujian yang menjadikan orang benar-benar tidak sadar kalau ia di dalam ujian"


Hamba-hamba yang beriman akan selalu melalui ujian-ujian dan berbagai cobaan-Nya. Allah S.w.t senantiasa 'mengirimkan' peringatan agar si hamba tersebut tetap di jalan-Nya, yakni untuk mengingat diri-Nya, kembali kepada-Nya, bertaubat kepada-Nya.

Apabila peringatan yang datang itu bersama dengan kesusahan atau kesedihan serta berbagai rasa-rasa yang menekan jiwa manusia, maka oleh manusia itu sering dinamakan sebagai: cobaan, ujian, musibah, bala', petaka, na'as, dsb, yang mana pada perwujudannya, misalnya: kemelaratan (miskin), sakit, ditahan (dipenjara), rugi (dalam usahanya), dll. Teguran dan peringatan semacam ini (yakni berhujung kesedihan/kesusahan) umumnya 'sangat efektif' langsung berdampak pada ke-insyaf-an seorang hamba, dimana kebanyakan dari orang-orang yang telah melalui 'ujian susah' ini, biasanya akan segera ingat, langsung sadar, langsung taat dan bahkan bertobat berkali-kali dikarenakan tak kuat 'dijewer' dengan hal-hal yang tidak disukainya. Sebagian dari mereka ada yang bersungguh-sungguh (taubatan nasuha), sebagian dari mereka ada yang sadar 'temporer' (yakni masih kembali 'nakal' setelah badai berlalu), sebagian lagi ada pula yang 'marah' karena menganggap seakan-akan Tuhan telah berbuat zalim kepada dirinya (dengan menimpakan kesusahan, penderitaan, dll), wal ‘iyazu billah. Dan terakhir ada pula yang tidak sadar-sadar sama sekali, ini bukannya 'kebal' cobaan, namun si fulan belum berhasil memetik hikmah dari peringatan-peringatan yang berlaku atas dirinya, atau sering diistilahkan sebagai ummat yang sedang 'tidur'.

Lalu bagaimanakah jika ujian dan cobaan yang datang tersebut berupa karunia?, yakni sebuah peringatan yang bersama dengan perasaan yang 'enak', menyenangkan, membahagiakan, membanggakan, atau pada garis besarnya, wujudnya diingini oleh banyak manusia, semisal: kesehatan, kekayaan, kesuksesan, kehebatan, kesaktian, kepandaian, dsb. Sesungguhnya, cobaan dan ujian semacam inilah yang sering 'gagal' dilalui oleh manusia, dimana kebanyakan dari mereka malah terlena dalam kenikmatan itu, tidak merasa diri sedang dicoba atau dalam ujian. Yang pada akhirnya banyak yang jatuh kepada berbagai sifat tercela, seperti ujub, sum'ah, tamak, bakhil, dll. Puncak fatalnya ialah sebagian dari mereka yang di dalam ujian jenis ini bahkan sampai merasa berderajat tinggi, karena merasa 'dimuliakan' oleh Tuhan dengan begitu banyaknya ia kebagian akan pemberian-Nya.

Istidraj, inilah yang coba kami ketengahkan pada tulisan kali ini. Sebuah perihal yang sangat berbahaya dan senantiasa harus kita waspadai. Inilah ujian yang menjadikan orang benar-benar tidak sadar kalau dia di dalam ujian.

Telah kita ketahui, bahwa tidaklah semua karunia-karunia yang Allah berikan kepada seseorang hamba-Nya itu adalah Nikmat, yakni pemberian yang dilatari karena rahmat dan kasih sayang-Nya, namun ada juga pemberian karena bermotifkan kemurkaan-Nya kepada hamba tersebut. Pemberian-pemberian-Nya yang 'indah' (karunia) yang datang berdasarkan atas motif kemurkaan-Nya inilah disebut Istidraj.

Dalam Al-Qur'an, istilah istidraj diungkapkan dengan beberapa istilah:

1. al-Istidraj, seperti dinyatakan dalam firman Allah S.w.t:

"Kami (Allah) akan memperdaya mereka secara berangsur-angsur dengan cara yang tidak mereka ketahui". (QS Al-A'raf [7]: 182).

Makna al-Istidraj dalam ayat ini adalah Allah mengabulkan semua keinginannya di dunia agar pembangkangan, kesesatan, kebodohan, dan kedurhakaan mereka semakin bertambah, hingga setiap hari semakin jauh dari Allah.

Pada prakteknya, menurut logika, mengulang-ulang perbuatan akan menyebabkan pelaku semakin kuat menguasai perbuatan yang diulang-ulangnya. Bila hati seorang hamba condong kepada dunia, kemudian Allah mengabulkan keinginannya, maka ketika itulah ia mencapai apa yang diinginkannya, sehingga akan diperoleh kenikmatan, dan adanya kenikmatan akan semakin menambah kecondongan kepada dunia, lalu kecondongan kepada dunia mengharuskannya untuk semakin keras berusaha untuk mencapai keduniaan.

Selamanya, setiap tahapan akan mendorong kepada tahapan selanjutnya, dan setiap tahapan akan semakin menguat secara gradual. Sudah dimaklumi bahwa kesibukan orang terhadap kenikmatan yang menyenangkan ini akan menghalangi diri dari maqam-maqam mukasyafah (tingkat ketersingkapan cahaya) dan derajat ma'rifat, dan sudah tentu akan semakin menjauhkan diri dari Allah, setahap demi setahap hingga mencapai puncak kecondongannya kepada dunia. Inilah yang dinamakan istidraj.

2. al-Makr, seperti dinyatakan dalam firman Allah S.w.t:

"Maka apakah mereka merasa aman dari azab Allah yang tidak terduga-duga? Tiada yang merasa aman dari azab Allah kecuali orang-orang yang merugi". (QS Al-A'raf [71: 99)

"Orang-orang kafir itu membuat tipu daya, dan Allah membalas tipu daya mereka. Dan Allah sebaik-baik pembalas tipu daya". (QS Ali'Imran [31:54)

"Mereka pun merencanakan makar dengan sungguh-sungguh dan Kami merencanakan makar pula, sedang mereka tidak menyadari". (OS Al-Naml T271:50) 

3. al-Kaid (tipu daya), seperti dinyatakan dalam firman Allah S.w.t:

"Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka". (QS Al-Nisa' [4]: 142) 

4. al-Imla (memberi tangguh), sebagaimana dinyatakan dalam firman Allah S.w.t:

"Dan janganlah sekali-kali orang-orang kafir itu menyangka bahwa masa penangguhan yang Kami berikan kepada mereka adalah lebih baik bagi mereka. Sesungguhnya Kami memberi tangguh kepada mereka hanyalah supaya dosa mereka bertambah". (QS Ali 'Imran [3]: 178) 

5. al-Ihlak (siksaan), sebagaimana dinyatakan dalam firman Allah S.w.t:

"Sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong". (QS Al-An'am [6]: 44).

Dan dalam firman Allah S.a.w tentang fir'aun,

"Dan berlaku angkuhlah Fir'aun dan bala tentaranya di bumi tanpa alasan yang benar dan mereka menyangka bahwa mereka tidak akan dikembalikan kepada Kami. Maka Kami hukum Fir'aun dan bala tentaranya, lalu Kami tenggelamkan mereka ke dalam lautan". (QS Al-Qashash [28]: 39-40).

Ayat-ayat di atas menjelaskan bahwa tercapainya keinginan seorang hamba tidak menunjukkan kesempurnaan derajat dan keberuntungan mendapat kebaikan.

Sebuah Pertanyaan?

Ada seorang yang maksiatnya lancar tapi rezekinya juga lancar, bisnisnya sukses besar namun sejalan dengan itu, pelitnya yang juga luar biasa. Ia tidak dalam ketaatan namun bergelimang berbagai kelebihan-kelebihan. Bagaimana bisa demikian?

Jawabannya ada pada hadits berikut ini:

عَنْ عُقْبَةَ بْنِ عَامِرٍ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: إذا رأيت الله يعطي العبد من الدنيا ما يحب وهو مقيم على معصيته ؛ فاعلم أنما ذلك منه استدراج ، ثُمَّ تَلَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: {فَلَمَّا نَسُوا مَا ذُكِّرُوا بِهِ فَتَحْنَا عَلَيْهِمْ أَبْوَابَ كُلِّ شَيْءٍ حَتَّى إِذَا فَرِحُوا بِمَا أُوتُوا أَخَذْنَاهُمْ بَغْتَةً فَإِذَا هُمْ مُبْلِسُونَ} [الأنعام: 44].

Dari ‘Uqbah bin Amir, dari Rasulullah S.a.w: “Apabila engkau melihat Allah mengaruniakan dunia kepada seorang hamba sesuai dengan yang ia inginkan, sementara ia tenggelam dalam kemaksiatan, maka ketahuilah itu hanya istidraj darinya”, kemudian Rasulullah S.a.w membaca firman: “Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka Kamipun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka; sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, maka ketika itu mereka terdiam berputus asa”.

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ فِي قَوْلِهِ عَزَّ وَجَلَّ: {سَنَسْتَدْرِجُهُمْ مِنْ حَيْثُ لا يَعْلَمُونَ} [القلم: 44] ؛ قَالَ: كُلَّمَا أَحْدَثُوا خَطِيئَةً جددنا لهم نعمة وأنسيناهم الاسْتِغْفَارَ.

Ibnu Abbas menjelaskan firman Allah ‘Azza wajallah: “Nanti Kami akan menarik mereka dengan berangsur-angsur ke arah kebinasaan dengan cara yang tidak mereka ketahui”, ia berkata: "Setiap kali mereka melakukan satu kesalahan kami beri mereka nikmat yang baru dan kami lupakan mereka untuk beristighfar".

عن سفيانَ في قولِهِ {سَنَسْتَدْرِجُهُم مِّنْ حَيْثُ لاَ يَعْلَمُون} [الأعراف: 182] قالَ: نُسبغُ عَليهم النِّعمةَ ونَمنَعُهم الشكرَ.

Sufyan ats Tsauriy menjelaskan firman Allah: “Nanti Kami akan menarik mereka dengan berangsur-angsur ke arah kebinasaan dengan cara yang tidak mereka ketahui”, ia berkata: "Kami karuniakan nikmat kepada mereka dan kami halangi mereka untuk bersyukur".

Kelancaran rezeki bukanlah standar sayangnya Allah kepada seseorang. Boleh jadi kelapangan hidup itu bentuk azab yang tidak disadari. Untuk apa banyak harta tapi bathin merana, ancaman azab akhirat tidak dipedulikan. Kalaulah standar sayangnya Allah itu dengan kemewahan hidup dunia, Qarunlah orang yang paling disayangi Allah, tapi akhirnya ia binasa ditelan bumi.

Juga sebaliknya, jangan mengira orang yang banyak ujian dan cobaan dalam hidup tanda ia dimurkai oleh Allah. Boleh jadi itu adalah musibah untuk menghapuskan dosa dan meninggikan derajatnya di surga nanti.

Penuntut ilmu juga begitu. Jangan mengira dapat nilai bagus dan selalu sukses adalah ukuran kasih sayang Allah kepadanya. Tapi lihatlah, bagaimana shalatnya, puasanya, bagaimana ketaatannya untuk tunduk pada aturan Allah, dan bagaimana usahanya untuk mengamalkan dari ilmu yang telah didapatnya.

Maka berhati-hatilah, kita sedang di posisi mana?

Bersambung ke halaman: Antara Pemberian dan Hukuman - Istidraj (Bagian 2)
Previous
Next Post »