Memburu Berkah

“Dan untuk hal yang demikian itu, hendaklah orang-orang saling berlomba-lomba”

Memburu berkah? Ya, karena mencari keberkahan itu berarti mencari Ziyadah al-Khayr (tambahan kebaikan) dan merupakan tuntunan Allah dan Rasul-Nya.

Sebelum mengulas hadits-hadits seputar berkah, mari kita awali dengan petikan ayat berikut ini.

٢٦. خِتَامُهُ مِسْكٌ وَفِي ذَلِكَ فَلْيَتَنَافَسِ الْمُتَنَافِسُونَ 

“Dan untuk hal yang demikian itu, hendaklah orang-orang saling berlomba-lomba.”. (QS Al-Muthaffifin: 26).

Yang dimaksud dengan “hal yang demikian itu” adalah sesuatu yang bertalian dengan urusan kenikmatan surga. Para mufassirin menjelaskan, hendaknya manusia berlomba-lomba demi memperoleh kenikmatan yang Allah berikan bagi hamba-hamba-Nya yang beriman dan beramal shalih, baik kenik­mat­an yang dimaksud dalam ayat ini ke­nikmatan ukhrawi (kenikmatan surgawi) maupun kenikmatan saat hidup di dunia yang baik (halal).

Al-Imam An-Nawawi mema­sukkan potongan ayat ini sebagai dalil an­juran atau dorongan bagi manusia untuk mencari nikmatnya keberkahan Rasulul­lah S.a.w, yang merupakan bagian dari kenikmatan yang Allah S.w.t berikan bagi umat Baginda Rasulullah S.a.w.


Dari Sahl bin Sa‘d R.a, bahwasanya Rasulullah S.a.w diberi minuman, lalu Beliau meminumnya. Di sebelah kanannya ada seorang anak remaja, dan sebelah kirinya ada beberapa orang tua. Maka Beliau berkata kepada si anak remaja, “Apakah boleh aku berikan minuman ini kepada orang-orang tua itu?”. Si remaja ini berkata, “Tidak, demi Allah, ya Rasulullah, aku tidak mau bagianku darimu itu diberikan kepada siapa pun.”. Lalu Rasulullah S.a.w meletakkan minuman itu di tangan remaja tadi.”. (Muttafaq ‘Alaih).


Hadits ini diriwayatkan Al-Bukhari dalam kitab Perbuatan Zhalim bab Jika Membolehkan atau Menghalalkan dan permulaan bab Minum dan beberapa bab lainya. Sedangkan Muslim meri­wayat­kan­nya dalam kitab Minuman bab Boleh Meng­gilirkan Air dan Susu dan Lainnya dari Sisi Kanan Permulaannya.

Dalam asbab wurud (sebab muncul­nya atau urutan kejadian) hadits tersebut, ada sebuah riwayat Al-Hafizh As-Suyuthi bahwa kisah ini ter­jadi di rumah Ummul Mu’minin Mai­munah binti Al-Harits.

Anak remaja yang disebutkan dalam hadits ini adalah Sayyidina Abdullah bin Abbas R.a, yang di masa dewasanya mendapat ju­lukan “Juru Bicara Al Qur’an”, berkat ke­fasihan dan keluasan pengetahuan­nya tentang penafsiran Al-Qur’an. Ia juga sa­lah satu dari Tiga Abdullah yang dikenal sebagai pakar-pakar keilmuan era sahabat. Dua lainnya adalah Abdul­lah bin Umar R.a dan Abdullah bin Mas‘ud R.a.

Sedangkan mereka yang disebut orang-orang tua, di antaranya yang hadir itu ialah Sayyidina Abu Bakr Ash-Shiddiq R.a dan Khalid bin Walid R.a.

Hal yang dapat dipetik dari hadits ini ialah bahwa para sahabat senantiasa berusaha untuk mendapatkan manfaat kedekatan mereka dengan Rasulullah S.a.w. Salah satunya ialah memburu ber­kah dengan segala bekas pakai Rasulul­lah S.a.w, termasuk sisa minuman Beliau. Ibnu Abbas R.a tak mau melepas­kan bagiannya karena merupakan bekas wadah minum Nabi Muhammad S.a.w. Demikian pula seba­gaimana kajian hadits lainnya, yang menyebutkan tentang ada seorang laki-laki me­minta kain bekas pakai Rasulullah S.a.w untuk membungkus jasadnya (menjadi kain kafannya) kelak jika ia wafat.

Ibn ‘Allan menjelaskan, apa yang di­lakukan sahabat Ibn Abbas bukanlah di­golongkan sifat rakus dan tamak. Bukan pula ia tak mengerti makna itsar (menda­hulukan orang lain ketimbang dirinya), tapi, bagai­mana dalam memburu berkah Nabi S.a.w, para sahabat berlomba-lomba men­dapatkannya, bukan mendapatkan sisi fisiknya, tapi atsarnya. Kalau dikata­kan rakus dengan makanan atau air yang di­sebut hadits itu, itu bukanlah sifat sa­habat. Dalam satu maqalah dikatakan: "Innal ihtimam bi amril matha‘im Sya‘nul baha‘im" (Sesungguhnya terlalu mem­beri­kan perhatian terhadap urusan ma­kanan adalah ciri hewan ternak). Wal-‘iyadzu billah.

Petikan pelajaran lain dari hadits ini ialah, ketika menjamu tamu, hendaknya menawarkan hidangan kepada orang yang paling mulia di majelis itu, kemudi­an menawarkannya kepada orang yang berada di sisi kanan tempat ia duduk. Demikian pula hadits ini mendorong un­tuk menunaikan hak bagi mereka yang ber­hak serta bertatakrama yang baik dalam bergaul, baik kepada orang tua maupun muda. Inilah salah satu adab yang diajarkan Rasulullah S.a.w.


Dari Abu Hurairah R.a, dari Nabi S.a.w, Beliau bersabda, “Suatu ketika, tatkala Nabi Ayub A.s sedang mandi dalam keadaan telanjang, tiba-tiba jatuhlah belalang emas. Lantas Nabi Ayyub memungutnya dan menyimpan­nya di kantung bajunya. Kemudian Tuhan Azza wa Jalla menyerunya, "Wahai Ayyub, bukankah Aku telah membuatmu kaya, melebihi dari apa yang engkau dapatkan itu?", Nabi Ayyub menjawab, ‘Tentu, demi keagungan-Mu, wahai Tuhan. Tetapi aku belum merasa cukup dari keber­kahan-Mu.”.". (Diriwayatkan Al-Bukhari).


Hadits ini diriwayatkan Al-Bukhari dalam kitab Para Nabi bab Firman Allah Ta’ala, “..wa ayyubu idz nada rabbahu..”, kitab Tauhid bab Mereka Mau Mengganti Kalamullah, dan kitab Mandi bab Orang yang Mandi Telanjang.

Menurut Al-‘Iraqi dalam Syarh Taq­rib, nasab Nabi Ayyub A.s ialah Ayyub bin Razah bin Rum bin Al-‘Aysh bin Ishaq bin Ibrahim A.s.

Ada yang mengatakan, belalang emas yang dimaksud hadits ini adalah potongan emas yang bentuknya menye­rupai belalang, jadi bukan belalang sung­guhan yang berwarna emas. Ada juga yang mengatakan, sesuai zhahirnya, yakni belalang emas.

Terlepas dari itu semua, belalang emas ini merupakan bentuk kemuliaan Allah S.w.t, yakni bagian dari mu’jizat-Nya bagi Nabi Ayyub A.s.

Tentang kalimat: “Bukankah Aku telah membuatmu kaya”, yakni bah­wasanya Allah S.w.t telah mengkayakan Nabi Ayyub A.s dengan dua kekayaan: kekaya­an yang tampak (yakni berupa harta) dan yang tak tampak (kaya hati, adab & akhlak mulia).

Berdasarkan hadits ini, ada bebe­rapa petikan pelajaran yang dapat diambil:

1). Hadits ini mendorong manu­sia untuk meminta atau memohon se­suatu kepada Allah Ta’ala yang dapat menambah keberkahan dan kemuliaan, seperti mengumpulkan harta agar dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya demi ke­maslahatan dirinya dan orang lain. Con­tohnya, dengan hartanya, yang diharap­kannya bertambah terus, ia membangun sarana sosial, pendidikan, ibadah, dan sebagainya.

2). Dalam pandangan jumhur ulama, sebagaimana dinukil Ibn ‘Allan, dibolehkan mandi dalam keadaan telanjang bulat, dengan syarat ia mandi sendiri dan tidak ada orang lain serta tempat pe­mandiannya tertutup rapat sehingga tidak bisa dilihat orang lain. Akan tetapi, mandi dengan menutup aurat itu lebih utama.

اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَاَلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلِّمْ

Wallahu a'lam. Wassalam

zawiyah alKisah



Baca juga: Berkah Shalawat Kepada Nabi S.A.W
Previous
Next Post »