"Andaikan tidak ada lima keburukan ini di dunia, niscaya semua manusia menjadi orang saleh"
Marilah senantiasa kita mempertebal ketaqwaan kita kepada Allah S.w.t dengan menghindarkan diri dari kecurangan, kebohongan dan berbagai sifat-sifat tercela (penyakit hati) lainnya, dengan demikianlah kita dapat istiqamah berusaha menjadi orang yang saleh.
Apa yang hendak kami sampaikan kali ini sebenarnya berasal dari satu pertanyaan asasi, manakah sebenarnya yang lebih dulu ada di dunia ini, kegegelapan lantas disusul dengan terang, ataukah terang yang kemudian dinodai dengan kegelapan?.
Sayyidina Ali Karramallahu Wajhah pernah berkata;
عَنْ عَلِيّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ لَوْلَا خَمْسَ خِصَالٍ لَصَارَ النَّاسُ كُلُّهُمْ صَالِحِيْنَ اَوَّلُهَا اَلْقَنَاعَة ُبِالجَهْلِ وَالْحِرْصُ عَلَى الدُّنْيَا وَالشُّحُّ بِالْفَضْلِ وَالرِّياَ فِى الْعَمَلِ وَالْإعْجَابُ بِالرّأيِ
“Andaikan tidak ada lima keburukan di dunia ini, tentunya manusia menjadi orang saleh semua", kelima keburukan itu adalah:
1). Merasa senang dengan kebodohan.
2). Tamak dengan dunia.
3). Bakhil dengan kelebihan harta.
4). Beramal disertai riya’.
5). Selalu merasa bangga diri di atas yang lainnya.
Demikian sebuah nasehat dari Sayyidina Ali K.w tentang lima hal yang merusak susunan masyarakat muslim, sehingga terjebaklah mereka dalam kenistaan, sebagaimana kita akan terangkan satu-persatu berikut ini:
► Merasa senang dengan kebodohan, artinya adalah membiarkan diri bahkan merasa nyaman dengan ketidaktahuan dalam masalah agama. Sebagaimana banyak terjadi pada muslim masa kini di perkotaan yang tiap harinya disibukkan dengan urusan bisnis dan bermacam pekerjaan demi mencapai cita-citanya. Sedangkan masalah ke-islaman cukup dipasrahkan saja kepada para ustadz, yang dipanggil ketika dibutuhkan, entah untuk berdoa, untuk ditanya ataupun sekedar dijadikan teman curhatnya.
Tidak ada dalam dirinya keinginan belajar dengan sungguh-sungguh apa itu Islam dan bagaimana seharusnya menjadi muslim yang baik. Tidak pernah ingin tahu cara shalat dan wudhu yang benar. Mereka sudah puas dengan pengetahuan yang didapatnya dari teman ataupun dari meniru tetangga. Paling-paling belajar keislamannya didapatkan dari tayangan tv pada kuliah subuh dan dalam broadcast-broadcast (social media) atau semacamnya.
Memang itu tidak salah, tapi semua itu menunjukkan ketidakseriusan keislaman mereka dibandingkan dengan keseriusannya belajar ilmu pengetahuan (yang sifatnya duniawi) ataupun kesibukannya mengurus berbagai urusan dunia lainnya. Orang seperti ini seharusnya diingatkan akan pesan Rasulullah S.a.w;
اللهُ يَبْغَضُ كُلَّ عَالِمٍ بِالدُّنْيَا جَاهِلٍ بِاْلأَخِرَةِ رواه الحاكم
"Allah membenci orang yang pandai dalam urusan dunia tetapi bodoh dalam urusan akhirat".
► Keburukan yang selanjutnya adalah Tamak dengan dunia dan Bakhil dengan kelebihan harta, keduanya merupakan pasangan yang selalu terkait bagaikan dua sisi mata uang yang tak terpisahkan. Karena siapa pun yang tamak dan merasa kurang dengan berbagai kepemilikan hartanya, pastilah dia akan berlaku kikir (bakhil) dan sangat 'sayang' dengan kelebihan-kelebihan (harta) yang dimilikinya.
Dalam kesempatan lain, Rasulullah S.a.w pernah menyinggung tentang ketamakan, sabda Beliau S.a.w: "Mencintai dunia (harta, tahta, wanita, serta kesenangan duniawi lainnya) adalah sumber segala kecelakaan dan keburukan". Baik keburukan lahir (fisik/jasmani) maupun bathin (mental/rohani).
Perumpamaan orang yang tamak bagaikan ulat sutra, ketika sutra yang melilitnya bertambah banyak, sangat jauh kemungkinan baginya untuk bisa keluar, sehingga ia akan mati menyedihkan di dalam sarangnya sendiri.
Ciri-ciri orang tamak (rakus), antara lain:
- Terlalu mencintai harta yang dimiliki
- Terlalu semangat mencari harta tanpa memperhatikan waktu dan kondisi tubuh
- Terlalu 'hemat' dalam membelanjakan harta
- Merasa berat untuk mengeluarkan harta demi kepentingan agama dan sosial
- Mendambakan kemewahan dunia
- Tidak memikirkan kehidupan akhirat
- Semua perbuatannya selalu bertendensi (berkaitan) pada materi
Oleh karenanya jelas, sifat yang berhubungan dengan tamak adalah bakhil. Menurut Imam Al Ghazali: "Bakhil adalah sikap yang enggan mendermakan sebagian harta yang dikaruniakan oleh Allah kepadanya. Jika sifat bakhil (kikir) berkembang maka akan menjadi tamak (rakus).".
Mari kita bersama-sama berintropeksi diri, mengapa diri ini seringkali masuk angin gara-gara terlalu sering di jalan demi mengejar satu pekerjaan. Betapa para pebisnis itu seringkali keluar-masuk rumah sakit, berganti-ganti penyakit karena komplikasi yang disebabkan kurangnya perhatian dalam mengurus diri dan lebih suka mengejar materi. Meskipun ini bukanlah hukum universal (bersifat umum) yang dapat diterapkan pada semua orang, tetapi minimal menjadi pelajaan bagi kita yang mengerti, betapa kecintaan dan ketamakan dunia selalu membawa petaka. Belum lagi petaka mental yang merusak negeri ini; korupsi, kolusi dan juga kebiasaan berbohong demi citra diri, semua bermuara pada satu kata, ‘tamak terhadap dunia’.
Sayyidina Rasulullah Nabi Muhammad S.a.w bersabda:
الزّهْدُ فِى الدُّنْيَا يُرِيْحُ الْقَلْبَ وَالبَدَنَ وَالرُّغْبَةُ فِيْهَا تُتْعِبُ اْلقَلبَ وَاْلبَدَنَ رواه الطبرانى
"Zuhud (tidak suka) dunia sangat menyenangkan hati dan badan. Sedangkan cinta dunia sangat melelahkan hati dan badan".
Demikianlah bahwa kebakhilan (kikir) merupakan dampak sistemik yang tidak terhindarkan dari ketamakan dunia, dan kebakhilan pasti akan menjauhkan seseorang dari Allah, surga dan sesama manusia. Itu artinya kesalehan bagi orang yang bakhil adalah angan-angan belaka. Dan jikalau ada keselahan di sana pastilah itu hanya kesalehan yang semu. Karena hadits Rasulullah S.a.w tentang kebakhilan yang menjauhkan seseorang dari Allah dan surga serta manusia sesama adalah hadits Shahih.
Berdermalah setiap saat dan dalam kondisi apapun, karena orang yang berderma pasti mendapatkan ampunan dan kecukupan serta kekayaan sedangkan setan tidak ingin manusia diampuni dan kaya, karenanya setan selalu menakuti-nakuti manusia dengan kemiskinan dan mengajak manusia untuk berjiwa kikir, pelit. Firman Allah S.w.t:
٢٦٨. الشَّيْطَانُ يَعِدُكُمُ الْفَقْرَ وَيَأْمُرُكُم بِالْفَحْشَاء وَاللّهُ
يَعِدُكُم مَّغْفِرَةً مِّنْهُ وَفَضْلاً وَاللّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
Artinya: "Syaitan menjanjikan (menakut-nakuti) kamu dengan kemiskinan dan menyuruh kamu berbuat kejahatan (kikir), sedang Allah menjadikan untukmu ampunan daripada-Nya dan karunia . Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.". (QS. Al-Baqarah [2]: 268)
► Selanjutnya adalah Riya' Dalam Beramal ~ Riya’ adalah pamer, yaitu melakukan satu amal ibadah (agama) dengan maksud mendapatkan pujian dari manusia, atau dengan bahasa yang agak 'kasar' riya' dapat juga dikatakan dengan mengharapkan nilai dunia dengan pekerjaan akhirat. Rasulullah S.a.w menegaskan bahwa riya' termasuk dalam kategori syirik kecil (as-syirikul asyghar) dalam salah satu sabda Beliau yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad:
“Sesungguhnya sesuatu yang sangat saya khawatirkan atas dirimu adalah syirik kecil, yaitu riya”.
Disebut demikian karena perwujudan riya' yang sangat halus dan tidak kentara. Adanya hanya dalam hati. Tidak ketahuan di dalam tindakan diri. Para sufi mengibaratkan halusnya riya' seperti semut hitam yang merayap di atas batu keras warna hitam di tengah pekat malam. Begitu halusnya riya' hingga seringkali mereka yang terjangkit penyakit ini seringkali tidak sadar. (Baca juga: Mewaspadai Riya')
Syekh Fudhail bin Iyadh seorang sufi pernah mencoba menjabarkan tentang riya' dengan bahasa keseharian, katanya; ”Jika datang seorang pejabat kepadaku, kemudian aku merapikan jenggotku dengan kedua belah tanganku, maka aku benar-benar merasa khawatir kalau dicatat dalam kategori orang-orang munafik”.
Demikianlah, hendaknya segala apa yang kita lakukan disandarkan kepada Allah S.w.t, untuk menggapai keridhaan-Nya. Apalah lagi jika riya' itu 'menjangkiti' amal ibadah murni seperti shalat, baca Al Qur’an, zakat dan lainnya, maka Allah S.w.t mengancam mereka yang mendustai-Nya dengan neraka, Rasulullah S.a.w bersabda;
اِنَّ اللهَ حَرَّمَ الْجَنَّةَ عَلَى كُلِّ مُرَاءٍ
► Kemudian keburukan yang terakhir adalah Membanggakan diri (ujub). Yaitu merasa diri paling sempurna dibandingkan dengan yang lain (Baca juga: Aku Lebih Baik Dari Dia?). Ketidak bolehan perasaan ujub ini dikhawatirkan pada lahirnya kesombongan, dan kesombongan itu sendiri merupakan sifat Allah yang tidak boleh ada dalam diri manusia, dan Allah sangat membenci orang yang sombong. Sebagaimana Hadits Qudsi yang disampaikan oleh Rasulullah S.a.w:
"Sifat sombong itu selendang-Ku, keagungan adalah busana-Ku. Barang siapa yang merebut salah satu dari-Ku, akan Ku lempar ia ke neraka. Dan Aku tidak peduli".
Artinya, kesombongan dan keagungan itu hanya khusus milik Allah S.w.t. Allah sungguh tidak terima bila ada hamba yang memilki sifat keduanya. Begitu tersinggungnya Allah, hingga Dia akan melempar siapa pun yang ‘menggunakan’ kedua sifat itu ke neraka tanpa peduli.
"Sifat sombong itu selendang-Ku, keagungan adalah busana-Ku. Barang siapa yang merebut salah satu dari-Ku, akan Ku lempar ia ke neraka. Dan Aku tidak peduli".
Artinya, kesombongan dan keagungan itu hanya khusus milik Allah S.w.t. Allah sungguh tidak terima bila ada hamba yang memilki sifat keduanya. Begitu tersinggungnya Allah, hingga Dia akan melempar siapa pun yang ‘menggunakan’ kedua sifat itu ke neraka tanpa peduli.
Demikianlah lima hal keburukan yang dapat menghalangi seseorang menjadi seorang yang saleh, semoga kita semua terhindar dari semua keburukan-keburukan tersebut. Aamiin
Ringkasan disertai dengan pengayaan dari Khutbah Jum'at NU Online
Baca juga: Ikhlas dan Riya'
EmoticonEmoticon