Menjaga Rahasia dan Menepati Janji

“Dan penuhilah janji. Sesungguhnya janji itu pasti dimintai pertanggung­jawab­annya.” (QS Al-Isra`: 34).

Dalam kehidupan seorang muslim, menjaga rahasia dan menepati janji adalah dua hal yang sangat pen­ting. Dikatakan demikian, karena di situ terletak kesejatian nilai diri seseorang, baik di hadapan dirinya sendiri maupun orang lain, bahkan dalam pandangan Allah Rabbul ‘izzah.

Berikut ini petuah-petuah Rasulullah S.a.w yang berkaitan dengan hal itu. Namun sebelumnya kita awali dengan memperhatikan sebuah ayat berikut ini:

Dan penuhilah janji. Sesungguhnya janji itu pasti dimintai pertanggung­jawab­annya.”. (QS Al-Isra`: 34).

Penjelasan Ayat

Bila ditilik susunan redaksi ayat se­belumnya, ayat ini berkaitan dengan ma­salah pemeliharaan harta anak yatim. Yang menarik perhatian dari ayat-ayat Al-Qur’an, perkara-perkara yang diwajib­kan atas orang per orang dalam kapa­si­tasnya sebagai individu, perintah, dan la­rangannya disampaikan dalam bentuk kata mufrad (tunggal). Sedangkan pada ayat ini disampaikan dalam bentuk ja­mak (banyak). Atas dasar inilah, dalam hal urusan-urusan yang berkaitan de­ngan anak yatim, dalam ayat ini, terkan­dung perintah agar seluruh masyarakat ikut bertanggung jawab atas pemeli­ha­raan anak yatim beserta hartanya.

Islam, dalam memahami ayat ini, mem­beri penekanan atas pelaksanaan tanggung jawab tersebut. Karena meme­nuhi dan melaksanakan tanggung jawab merupakan tolok ukur bagi konsistensi, kepercayaan, dan kebersihan nurani se­tiap individu dalam kehidupan berja­ma’ah.


Dari Abu Sa‘id Al-Khudriy R.a, ia berkata, “Rasulullah S.a.w bersabda, ‘Sesungguhnya orang yang paling buruk di sisi Allah pada hari Kiamat ialah laki-laki dan perempuan (suami-istri) yang bersetubuh kemudian menyebarkan rahasianya’.” (Riwayat Muslim).


Hadits ini diriwayatkan Muslim dalam kitab Nikah bab Haramnya Menyebarkan Rahasia Istri.

Dalam hadits ini terkan­dung larangan dan haramnya mencerita­kan pergaulan intim suami-istri. Allah Ta‘ala mengancam dengan ancaman yang sangat pedih bagi mereka yang melakukan hal tersebut, dan ini termasuk salah satu dosa besar. Allah Ta‘ala mem­beri tamtsil (perumpamaan) sepa­sang suami-istri laksana libas (pakaian) yang menutupi aurat, sebagaimana ter­sebut dalam surah Al-Baqarah ayat 187. Maksudnya, seorang suami harus men­jaga kehormatan istrinya, begitu juga sang istri harus menjaga kehormatan suaminya. Keduanya harus saling men­jaga rahasia masing-masing yang sa­ngat pribadi itu. Maka bagaimana jadinya jika keluhuran rumah tangga dikotori oleh perilaku membuka aib sendiri? Wal ‘iyadzhu billah.

Dalam spektrum yang lebih umum, de­ngan mengambil ibrah hadits di atas, menyebarluaskan sebuah rahasia, ter­masuk data-data, pemikiran, isi ke­se­pa­katan, dan sebagainya, yang bukan untuk konsumsi umum, baik oleh individu mau­pun kelompok, tidak dibolehkan, karena akan menimbulkan dampak yang sangat besar di kalangan masyarakat luas.


Dari Tsabit R.a, dari Anas R.a, ia (Anas) berkata, “Rasulullah S.a.w meng­hampiri saya tatkala saya sedang ber­main dengan anak-anak. Beliau mengu­cap salam kepada kami, lalu menyuruh saya untuk suatu keperluan, hingga saya terlambat menemui ibu saya. Tatkala saya datangi ibu, ia bertanya, ‘Apa yang menahanmu hingga datang terlambat?’, Saya  menjawab, ‘Rasulullah S.a.w menyuruh saya untuk suatu keperluan.’, Ibuku berkata, ‘Keperluan apa?’, Saya menjawab, ‘Sesuatu yang rahasia.’, Ibuku berkata; ‘Kalau begitu, jangan sekali-kali engkau sampaikan rahasia Rasulullah S.a.w kepada seorang pun.’. Anas berkata, ‘Demi Allah, jika aku sam­paikan rahasia itu kepada seseorang, niscaya aku juga akan menyam­paikannya kepadamu, wahai Tsabit’.”. (Riwayat Muslim).


Hadits ini diriwayatkan Muslim dalam kitab Keutamaan-keutamaan bab Di Antara Keutamaan Anas bin Malik R.a. Al-Bukhari juga meriwayatkan hadits ini dalam kitab Memohon Izin bab Menjaga Rahasia.

Hadits ini menjelaskan keuta­maan Anas bin Malik R.a, sebagai se­orang sahabat yang sangat dekat de­ngan Nabi Muhammad S.a.w. Beliau mengabdikan dirinya untuk mengurus segala keperluan Nabi selama sebelas tahun, hingga akhir hayat Rasulullah S.a.w.

Anas dikenal sebagai sosok yang pe­nuh kelembutan. Ia pandai bergaul de­ngan anak-anak, dekat dengan mereka, dan mengasuh yang lebih kecil darinya. Ia dikenal jujur dan pandai menjaga rahasia Rasulullah S.a.w, baik tatkala Beliau S.a.w hidup maupun setelah wafatnya. Di samping itu, Anas juga seorang yang amat berbakti kepada ibundanya. Se­dangkan ibunya telah mendidiknya de­ngan pendidikan yang baik, yang dian­taranya mengajarkannya agar menjaga baik-baik amanah yang disampaikan Rasulullah S.a.w, baik itu sebuah rahasia maupun bukan.

Dalam hadits ini ada terkandung be­berapa pelajaran:

1). Seyogianya seseorang berlaku lembut kepada yang lebih muda dan bisa mengasuh dan meng­ayominya.
2). Hendaknya ke­taatan kepada perintah Rasulullah S.a.w lebih diutamakan.
3). Menjaga raha­sia dan menjalankan amanah yang di­sampaikan pada seseorang adalah sebuah keharusan.


Dari Abdullah bin Amr bin Al-‘Ash R.a, Nabi S.a.w bersabda: ”Empat perbuatan yang, jika dilakukan seseorang, ia benar-benar seorang munafik. Jika melakukan sa­lah satunya saja, ia mengerjakan salah satu perbuatan nifak, sampai ia me­ninggalkannya (empat perbuatan itu). Yaitu: jika diberi kepercayaan ia berkhia­nat, jika berbicara ia berdusta, jika ber­janji ia melanggar dan jika bersengketa ia melampaui batas.”. (Muttafaq ‘Alaih).


Hadits ini diriwayatkan Al-Bukhari dalam kitab Iman bab Tanda-tanda Munafiq. Sedangkan Muslim meriwayat­kannya dalam kitab Iman bab Penjelas­an Perkara-perkara Munafiq.

Pada hadits lainnya disebutkan bah­wa tanda-tanda munafiq ada tiga, se­dangkan pada hadits ini disebutkan em­pat. Kedua hadits ini tidak saling berten­tangan dan juga tidak saling menafikan. Sebab pengertian jumlah ini bukan di­maksud untuk pembatasan tanda atau ciri seorang munafiq. Hal itu tidak men­jadi hujjah karenanya. Pada intinya, ke­munafikan ini bisa dilihat dari berbagai sisi dari penyebutan ciri-ciri sebagai­mana yang termaktub dalam banyak ayat maupun hadits.

Akhlaq yang mulia sangat berkaitan erat dengan iman, sehingga para aimmah al-muhadditsin (pemuka ahli hadits) banyak me­nempatkan hadits yang ber­kaitan dengan nifaq ke dalam pemba­hasan iman. Per­buatan munafiq ini sa­ngat meracuni ke­hidupan pribadi dan masya­rakat. Hal ini juga sangat berba­haya di da­lam per­gaul­an, sehingga me­micu bahaya besar dalam kehidupan, yak­ni saling men­curigai dan ti­dak mem­percayai serta lain­nya, yang se­mua itu merupakan bahaya terbesar da­lam kehi­dupan umat dan ke­lom­pok ma­syarakat. Na‘udzu billah.

zawiyah alKisah

Previous
Next Post »