“Seberapa besar masuk kesombongan ke dalam diri seseorang, sebesar itu pula ilmu keluar dari dirinya, karena kesombongan dan hakikat ilmu tidak akan pernah berkumpul pada diri seseorang".
Setelah Allah SWT menciptakan Adam AS dari tanah dan meniupkan kepadanya ruh dari sisi-Nya dan memerintahkan para malaikat supaya bersujud kepada Adam, timbullah dua bentuk kesamaran. Yaitu, pertama, kesamaran yang berasal dari dzat yang tidak terdapat padanya kesombongan (al-kibr) akan tetapi ingin memahami sesuatu. Dan, kedua, kesamaran yang berasal dari dzat yang padanya terdapat kesombongan.
Tidaklah salah bila engkau merasa samar terhadap sesuatu, ingin menanyakan sesuatu, dan ingin memahaminya. Misalkan engkau berkata, “Aku tidak puas dengan hal itu, aku ingin memahaminya.” Hal semacam ini bukanlah sebuah kesombongan dan bukanlah sebuah penentangan bila yang mendorongmu kepada hal itu adalah untuk mencari kebenaran.
Para malaikat berkata, sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an, “Mereka berkata, ‘Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?’.” QS Al-Baqarah (2): 30.
Ini adalah pertanyaan untuk mencari penjelasan. Perkataan itu diucapkan oleh para malaikat karena merasa samar dalam perkara tersebut.
Para malaikat adalah makhluk Allah SWT yang sepenuhnya beribadah kepada Allah dan bertasbih kepada-Nya. Mereka makhluk yang tercipta dari cahaya, yang tidak pernah mendurhakai Allah dalam segala hal yang diperintahkan-Nya dan senantiasa menunaikan apa yang diperintahkan kepada mereka.
Tiba-tiba Allah ciptakan satu makhluk yang terbuat dari tanah, belum pernah satu kali pun sujud kepada-Nya, dan tidak pula tampak adanya keutamaan dan keistimewaannya dibanding mereka, para malaikat. Dalam kondisi semacam itu, Allah justru berfirman kepada mereka, “Sujudlah kalian kepadanya (Sesungguhnya Aku telah menjadikan seorang khalifah di muka bumi).”
Malaikat berkata, “Bagaimana mungkin wujud seperti itu disebut khalifah (wakil Allah)? Padahal kami senantiasa bersujud dan menunaikan segala perintah?”
Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya Aku lebih mengetahui segala apa yang tidak kalian ketahui.”
Mendapat jawaban dari Allah SWT semacam itu, para malaikat pun berhenti sampai batas ini. “Benar, Mahasuci Engkau. Engkau Maha Mengetahui segala apa yang kami tidak ketahui.” Maka selesailah masalahnya.
Sedangkan Iblis memiliki kesombongan di dalam dirinya. Ia menisbahkan segala perbuatan dan ibadahnya kepada dirinya sendiri dan tidak kepada taufiq Allah SWT. Ia memandang bahwa dirinya lebih mulia dari selainnya.
Kala itu Iblis berkata, “Bagaimana mungkin, ia tercipta dari tanah, dan Engkau ingin aku sujud kepadanya?”
“Allah berfirman, ‘Apakah yang menghalangimu untuk bersujud (kepada Adam) di waktu Aku menyuruhmu?’.” — QS Al-A`raf (7): 12.
“Menjawablah Iblis, ‘Aku lebih baik daripadanya’.” — QS Al-A`raf (7): 12.
Iblis membanding-bandingkan dirinya dengan Adam AS. “Engkau ciptakan aku dari api sedang dia Engkau ciptakan dari tanah.” — QS Al-A`raf (7): 12.
“Allah berfirman, ‘Turunlah engkau dari surga itu...’.” — QS Al-A`raf (7): 13.
Perhatikan! Di sini permasalahan sesungguhnya berasal dari dalam diri Iblis yang kemudian menjadi tabiat. Apa tabiatnya? Yakni menolak sujud, mendurhakai Allah SWT, dan tidak melaksanakan perintah Allah SWT.
Tabiat ini telah mencegah Iblis dari melakukan apa yang diperintahkan kepadanya. Setelah itu keluarlah darinya ucapan, “Aku lebih baik darinya.” Setelahnya muncul lagi sikap untuk menetapkan dirinya dalam kebathilan dan kedurhakaan. “Demi kekuasaan Engkau, aku akan menyesatkan mereka semuanya.” — QS Shaad (38): 82.
Kepada siapa Iblis berkata demikian?
Iblis berkata demikian kepada Tuhan, Yang Mahaagung. Mahasuci Allah dan Mahatinggi. Siapa yang dia tentang?!
Dari mana penentangan itu berasal? Sesungguhnya musibah kubra (musibah terbesar) yang menimpa Iblis adalah adanya perasaan lebih tinggi terhadap makhluk lainnya di dalam dirinya. Dari musibah ini muncullah musibah berikutnya, yakni riya’, yang akan dibahas pada pelajaran yang akan datang. Iblis memandang bahwa dirinyalah yang paling utama. Dari musibah ini lahir pula musibah berikutnya, yakni hasad (dengki). Setelah itu mulailah Iblis menyakiti Adam AS dan anak keturunannya dan tak henti-hentinya mengintai mereka — semoga Allah memilihara kita semua dari Iblis. Dari manakah semua itu asalnya?
Asalnya adalah dari musibah al-kibr (kesombongan). Bila kita sudah mengetahui hal itu, lalu dari manakah sumber al-kibr itu sesungguhnya?
Bila kita menghendaki untuk membicarakan ihwal al-kibr dari bentuk yang lain atau dari sisi yang lain, pada hakikatnya al-kibr adalah jahlun (kebodohan). Sumber dan asal kesombongan adalah kebodohan (al-jahlu). Dari sinilah sebagian ulama salaf berkata, “Setiap kali bertambah kadar kesombongan seseorang, bertambah pulalah kebodohannya.”
Sebagian yang lain berkata, “Seberapa besar masuk kesombongan ke dalam diri seseorang, sebesar itu pula ilmu keluar dari dirinya.” Karena kesombongan dan hakikat ilmu tidak akan pernah berkumpul pada diri seseorang.
Bentuk ilmu mungkin saja dapat bersatu dengan kesombongan, misalkan ia hafal hukum-hukum syari’at, hafal pendapat-pendapat para ulama dan komentar-komentar mereka, serta teguh dalam menunaikan berbagai rupa ibadah! Akan tetapi hakikat ilmu tidak akan pernah dapat bersatu dengan kesombongan.
Orang yang sombong tidak akan pernah mendapatkan hakikat ilmu selama-lamanya. Mengapa demikian? Apa sesungguhnya kaitan antara sifat sombong dan kebodohan?
Alat Ukur
Ini adalah alat ukur untuk menimbang kebodohan terhadap apa yang membuatmu menyombongkan diri?
Atas dasar apa engkau sombong? Sombong karena sebab ilmu yang dimiliki? Sungguh ini adalah kebodohan. Karena ilmu itu sesungguhnya adakalanya sebagai hujjah yang membelamu tapi adakalanya juga menjadi hujjah yang akan memberatkanmu di hadapan Allah SWT. Setiap kali engkau bertambah ilmu, setiap itu pula Allah akan lebih banyak menghisabmu untuk mempertanggungjawabkan ilmumu di hadapan-Nya. Lantas apa yang engkau sombongkan dengannya?
Sungguh celaka bagi si bodoh karena tidak belajar satu kali pun, dan celakalah bagi orang yang alim karena tidak beramal seribu kali. Ketahuilah, setiap kali bertambah ilmumu, setiap itu pula bertambah pula hisab yang akan dihadapkan kepadamu.
Bila demikian halnya, apakah yang menyebabkanmu sombong terhadap orang lain? Dengan banyaknya amalmu? Ataukah dengan kesungguhan ibadahmu?
Engkau bangun di malam hari dan memperbanyak shalat. Benar engkau telah melakukan kebajikan. Segala bentuk amal kebajikan yang telah engkau lakukan itu, dapatkah kau jamin pasti diterima di sisi Allah SWT? Bila tidak, dengan apa engkau sombong?
Ketahuilah bahwa yang memberimu taufiq untuk melakukan semua itu adalah Allah SWT. Jika bukan karena taufiq-Nya, tidak mungkin engkau akan menyembah-Nya. Dan bukankah sampai saat ini pun engkau tidak dapat memastikan diterima atau tidak semua amalmu itu?
Mungkin saja engkau melihat seseorang, menghinakannya, dan memandang bahwa tidak ada sesuatu pun padanya di depan ilmu, ibadah, atau keistiqamahanmu, padahal boleh jadi hatinya lebih makmur bersama Allah SWT berlipat-lipat melebihi apa yang ada di dalam hatimu. Dan boleh jadi engkau akan masuk ke dalam surga dengan syafa’at orang itu kelak pada hari Kiamat.
Atau mungkin juga orang yang engkau hinakan itu adalah seorang ahli maksiat. Benar, bisa saja dia seorang ahli maksiat. Akan tetapi, dapatkah engkau menjamin bahwa seorang ahli maksiat pasti akan mati dalam kemaksiatannya sehingga engkau merasa perlu untuk menghinakannya dan menyombongkan diri terhadapnya?
Engkau boleh menghinakan kemaksiatan, tapi jangan engkau hinakan orang yang berbuat maksiat. Benar, setiap kita tentu tidak menyukai maksiat. Dan bila maksiat itu berasal dari kita, kita segera memohon ampun atasnya. Akan tetapi hal itu tidaklah menjadikan kita wajib untuk menghinakan orang yang berbuat maksiat, karena akhir dari perjalanan orang yang berbuat maksiat itu tidaklah seorang pun mengetahuinya dan tersamar atas siapa pun.
Bisa saja Allah memandang orang yang berbuat maksiat itu dengan pandangan rahmat-Nya sehingga Allah mengampuninya. Dan hatinya kemudian tampil kepada Allah dan masuk ke dalam golongan para ash-shiddiqin al-muqarrabin (salah satu maqam kewalian) di sisi Allah SWT.
Sedangkan engkau?
“Aku juga ahli ibadah!!”
Benar, engkau saat ini istiqamah dalam ibadahmu. Akan tetapi dapatkah engkau menjamin akan senantiasa dalam keistiqamahanmu? Berapa banyak orang yang awalnya istiqamah tapi kemudian berpaling — kita memohon perlindungan kepada Allah SWT.
Perhatikanlah, sesungguhnya seseorang yang meneguhkan dirinya dalam kesombongan terhadap orang lain karena ibadahnya, pastilah ia berpaling dari ibadah kepada Allah SWT. Ambillah ini sebagai kaidah dalam masalah ini.
Bila engkau menghendaki contohnya, perhatikanlah! Iblis beribadah lebih banyak dan lebih hebat darimu, tapi lihatlah bagaimana keadaannya saat ini? Iblis menjadi makhluk yang paling jauh dari ibadah. Ia menjadi makhluk yang ingkar, sesat dan menyesatkan bagi segenap makhluk Allah lainnya.
Sesungguhnya barang siapa menyombongkan diri terhadap selainnya karena ibadahnya niscaya akan diadzab dengan berpaling dari ibadah kepada Allah SWT dan meninggalkannya.
Engkau tidak dapat menjamin dirimu untuk senantiasa dalam ibadah kepada Allah SWT, lalu mengapa engkau menyombongkan diri terhadap yang lain?
Ilmu dan ibadah sebagai hal yang paling utama atas segala sesuatu tidak membolehkanmu untuk menyombongkan diri.
Apakah engkau akan menyombongkan diri dengan harta? Sesungguhnya harta itu halalnya adalah hisab dan haramnya adalah adzab.
Seseorang akan ditanyai ihwal segala sesuatu satu kali dan akan ditanyai perihal harta dua kali. Dari mana ia mendapatkannya dan pada apa ia menafkahkannya?
Engkau adalah makhluk yang berakal, dengan apa engkau akan menyombongkan diri?!
Dengan harta? Orang-orang kafir dan fasiq memiliki harta yang lebih banyak darimu.
Dengan apa engkau merasa lebih mulia dari orang lain? Dengan nasab, atau sukumu? Bila itu sebabnya, itu merupakan kebodohan yang paling nyata. Engkau menyombongkan diri dengan sesuatu yang tidak ada sedikit pun andilmu di dalamnya. Engkau tidak ada andil sedikit pun dalam nasabmu dalam suku dan kabilahmu. Bahkan engkau tidak pernah memilih dari nasab mana engkau berasal, dari keturunan siapa, dari suku apa, atau dari kabilah apa? Bagaimana mungkin engkau menyombongkan dirimu dengan sesuatu yang sama sekali tidak ada andil sedikit pun darimu padanya?
Bila tidak ada sesuatu pun yang patut untuk menjadikan dirimu menyombongkan diri dengannya terhadap orang lain, dapatlah diketahui, kesimpulan dari al-kibr (sombong) adalah al-jahlu (kebodohan).
Apakah seorang mu’min yang meniti jalan menuju Allah SWT ridha terhadap kebodohan? Wahai murid yang rindu menggapai kedudukan di sisi Allah SWT, apakah engkau rela hidup dalam kebodohan dalam hubunganmu dengan Allah SWT?
Madrasah Hadhramaut - Habib Ali Al-Jufri
Baca juga:
- Menggapai Ketentraman Hati dan Ketenangan Jiwa
- Takabbur
- Menyayangi Semua Mahluk
EmoticonEmoticon