Rahmat Allah Dibalik Maulid Nabi S.A.W

Allah S.w.t di dalam firman-Nya memerintahkan kita untuk bergembira dengan karunia dan rahmat-Nya:

Katakanlah: "Dengan kurnia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira ".(QS:Yunus:58)

Al hafidz As-Suyutiy, di dalam Ad-Dur al-Mansur, mengeluarkan riwayat dari Ibnu Abas R.a. mengenai penafasiran ayat ini, beliau mengatakan: bahwa yang dimaksud dari kurnia Allah  disini adalah Ilmu dan yang dimaksud dari rahmat Allah adalah Nabi Muhammad S.a.w.

Dan Allah S.w.t berfirman: "Dan tiadalah kami mengutus engkau, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam". (QS: Al-Anbiya: 107). Penafsiran yang sama dengan penafasiran tersebut  juga dapat kita jumpai di kitab Ruhul Maani, Tafsir Abi Suud dan Tafsir Kabir. Dari penafsiran tersebut, hal ini bukan berarti kita menafikan penafsiran yang lian, seperti menafsiri makna rahmat disini dengan al Quran, Iman, Islam, atau yang lainnya, karena memang rahmat Allah sangat luas dan rahmat terbesar bagi kita adalah Nabi Muhammad Saw. karena beliu adalah rahmat seluruh alam, dan yang pasti kita diperintahkan untuk bergembira dengan rahmat-rahmat Allah tersebut.

Bersyukur kepada Allah atas nikmat yang telah Dia berikan kepada kita adalah suatu kewajiban bagi kita. Ekpresi syukur dapat dilakukan dengan beragam cara, selama dalam nilai-nilai ketaatan kepada Allah. Mengingat hari-hari tertentu  dimana kita mendapat nikmat dengan selalu mensyukurinya adalah hal yang diajarkan Nabi S.a.w.

Nabi Saw, ketika ditanya tentang puasa hari senin Beliau menjawab "Hari tersebut adalah hari saya dilahirkan dan hari saya diutus atau hari saya diturunkan". (HR. Muslim)  

Al Hafidz Ibnu Rojab al Hambaliy ketika mengomentari hadis ini mengatakan: "Di dalam hadis ini ada sebuah isyarah, yaitu disunahkanya berpuasa pada hari-hari Allah memberi nikmat kepada hambnya. Dan nikmat terbesar bagi umat ini adalah adanya Nabi Muhammad dan diutusnya beliau sebagai Rasul bagi mereka, sebagaimana firman Allah: "Sungguh Allah telah memberi karunia kepada orang yang beriman ketika Allah mengutus diantara mereka seorang rasul dari golongan mereka sendiri", maka puasa pada hari dimana Allah memperbaharui nikmat hamba-Nya yang beriman adalah sangat terpuji, dan hal tersebut kategori membayar nikmat dengan rasa syukur. 

Dari riwayat Ibnu Abas R.a bahwa ketika Rasulullah datang ke Madinah dan menemukan kaum Yahudi sedang berpuasa hari Asyura, maka Nabi bertanya kepada mereka: "Hari apa ini yang Engkau puasai?" mereka menjawab: "Ini adalah hari besar, hari Allah menyelamatkan Musa dan kaumnya dan meneggelamkan Firaun dan kaumnya kemudian Musa mempusai hari tersebut karena rasa syukur, maka kamipun ikut berpuasa". Maka Nabi S.a.w. berkata "Kami lebih berhak dan lebih utama terhadap Musa as. dari pada kalian, kemudian Nabi berpuasa dan memerintahkan untuk berpusa pada hari tersebut. (HR.Bukhari dan Muslim)

Mengomentari hadist ini, Al Hafidz Ibnu Hajar al-Asqolaniy mengatakan: "Dan dapat diambil faidah dari hadist tersebut adalah sikap syukur kepada Allah atas anugrah yang telah Dia berikan pada hari-hari tertentu, yaitu berupa pemberian nikmat atau dihindarkan dari bahaya, dan sikap dan rasa syukur tersebut terus diulang setiap tahunnya pada hari yang sama, dan sikap syukur kepada Allah dapat dilakukan dengan macam-macam ibadah seperti sujud, puasa, shadaqah, membaca al-Quran. Dan nikmat mana yang lebih besar dari nikmat adanya Nabi Muhammad, sang nabi pembawa rahmat?". Kemudian Ibnu Hajar menjadikan hadist ini sebagai dalil dianjurkannya perayaan maulid Nabi Saw.(Al Hawiy Lilfatawa.2/196)

Kisah peringanan Azab Abu Jahal pada hari Senin
Para ulama ilmu hadis, seperti Imam Bukhoriy, al Hafidz Ibnu Hajar, al Hafidz Ibnu Katsir, al-Hafidz al-Baihaqiy, al-Hafidz al-Baghowiy, Imam Son'aniy dan yang lainnya di dalam kitab-kitab hadis dan sirah yang mereka tulis menyebutakan: bahwa Sahabat Abas bin Abdil Muthalib bermimpi bertemu Abu Lahab yang telah wafat, dan Sahabat Abas bertanya tentang keadaannya, Abu Lahab menjawab: bahwa dirinya terus disiksa di kubur, tapi untuk hari senin siksanya diringankan disebabkan dia sewaktu hidup pernah memerdekakan budak karena dia merasa bergembira waktu Nabi Saw lahir. Al-Hafidz Syamsyudiin as-Dimsiqiy setelah mendengar cerita ini dia menulis sebuah syair:

Jika Abu Lahab yang kafir ini telah jelas celanya dan merugi di neraka untuk selamanya. Datang baginya setiap hari senin tuk selamanya ringan adzab dikarenakan dia senang dengan kelahiran Ahmad. Lalu apa diduga, dengan hamba yang hidupnya bahagia sebab Ahmad dan mati keadaan bertauhid?. (lMarud as-Shoodiy fi Mauludi al Hadiy).

Dapat difahami dari cerita dan syair tersebut, bahwa ekpresi kebahagiaan atas lahirnya Nabi Muhammad-pun mampu menurunkan rahmat Allah kepada paman Nabi Muhammad, Abu Jahal yang kafir, lalu bagaimana dengan kita yang  muslim yang selalu senang dan bahagia dengan kelahiran Nabi Muhammad!.

Dan jika kita mau merenungi kenapa Nabi Muhammad S.a.w tidak membuat perayaan maulid, sebenarnya hal itu juga adalah rahmat bagi kita, karena dengan ini kita dapat mengekpresikan kebahagiaan Maulid Nabi dengan jenis ibadah yang sesuai kemampuan kita dan dengan hati suka rela. Karena jika telah jelas perintah dari agama agar kita bersyukur dan begembira dengan rahmat Allah S.w.t, tapi agama tidak merinci bagaimana caranya atau ekspreksi secara khusus, maka dengan ini kita dapat melaksanakannya dengan cara kita sendiri, selama tetap sesui dengan nilai-nilai ketaatan, dan hal semacam inilah pulalah yang telah kita ketahui dari cerita-cerita para sahabat Nabi dan kaum Yahudi yang mengekpresikan sikap sukurnya dengan ibadah yang bebeda-beda tanpa bertanya dulu kepada Nabi, tapi semuanaya disetujui oleh Nabi. Dan telah menjadi sifat rahmat Nabi kepada umatnya bahwa beliu sering meniggalkan amal karena khawatir akan dikira amal itu wajib, dan nanti akan memberatkan umatnya, karena banyaknya kewajiban, yang sebenarya amal tersebut boleh dilakukan.

Seperti dijelaskan para ulama di dalam ilmu Ushul Fiqih, Nabi tidak melakukan suatu amal secara rutin (muwadhobah) untuk memberi tahu bahwa amal itu tidak wajib, tapi sunah, dan Nabi meninggalkan amal yang boleh dilakukan (mubah) agar tidak dikira amal itu sunah atau wajib. (M. Sulaiman al-Asqor, Af'alul Rasul. Hal. 54).

Wallahu A'lam bi shawab. Wassalam
Previous
Next Post »