Wasiat Imam Ja’far Ash-Shadiq Tentang Rasa Syukur

Lewat setiap tarikan nafas yang kita hirup, suatu rasa syukur wajib tertanam di dalam qalb (hati) kita, sesungguhnyalah, seribu rasa syukur atau bahkan lebih itu pun masih akan tetap kurang.

Tingkat terendah rasa syukur adalah menyadari bahwa rahmat (karunia) itu berasal dari Allah SWT, lepas dari apa pun penyebabnya, dan tanpa hati kita terpaku pada penyebab tersebut. Itu berarti merasa puas dengan apa yang diberikan oleh-Nya; yaitu tidak mengingkari rahmat-Nya, atau menentang-Nya dalam setiap perintah dan larangan-Nya disebabkan rahmat-Nya itu.

Hendaknya kita menjadi seorang hamba yang tahu bersyukur kepada Allah dalam segala hal, dan kita akan mendapati bahwa Allah adalah Tuhan yang Maha Pemurah dalam segala hal.

Jika memang ada suatu cara yang dapat ditiru dalam pengabdian (ibadah) kepada Allah bagi hamba-Nya, yang paling taat, yang lebih baik daripada bersyukur di setiap kesempatan, maka Allah akan menganggap cara pengabdian itu melebihi segala ciptaan yang lain. Karena sesungguhnya, tidak ada bentuk pengabdian yang lebih baik dari pada bersyukur di setiap kesempatan, Dia telah memilihnya menjadi bentuk pengabdian terunggul daripada bentuk-bentuk pengabdian yang lainnya. Bahkan Allah telah memilih hamba-hamba-Nya yang bersyukur itu dengan firman-Nya:

“Hanya sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang tahu bersyukur.”(QS [34] Saba’: 13).

Rasa syukur kita yang sempurna berarti secara tulus kita menyesali ketidak-mampuan kita untuk menyampaikan rasa terimakasih kita yang paling kecil, dan mengungkapkan itu dengan memuliakan Tuhan secara ikhlas. Hal itu terjadi karena menyampaikan rasa terimakasih itu sendiri merupakan suatu rahmat yang diberikan kepada hamba Allah yang untuk itu kita pun wajib berterima-kasih; sikap seperti itu jelas mengandung kebaikan yang lebih besar dan tingkatan yang lebih tinggi daripada rahmat sebelumnya yang mendorong kita untuk menyampaikan terimakasih lebih dulu. Oleh karena itu, setiap kali kita berterimakasih, kita pun wajib berterimakasih yang lebih besar, dan demikian seterusnya tanpa terbatas (laa nihayah), dan semua itu kita lakukannya sembari terserap dalam rahmat-rahmat-Nya dan tidak mampu mencapai derajat tertinggi kebersyukuran. Sebab bagaimana mungkin kita  dapat menyamakan rasa syukur kita dengan segala rahmat dari Allah, dan kapan kita dapat menyamakan tindakan kita sendiri dengan tindakan Allah sedangkan selama itu kita lemah dan tidak mempunyai kekuatan sama sekali, kecuali kekuatan yang berasal dari Allah?

Allah tidak membutuhkan kepatuhan hamba-hamba-Nya, sebab Dia mempunyai kekuatan untuk menambah rahmat itu selamanya. Karena itu hendaklah kita menjadi hamba yang tahu bersyukur kepada Allah, dan dengan cara tersebut kita akan menyaksikan berbagai hal yang luar biasa dan menakjubkan dalam kehidupan ini.

Buku Lentera Ilahi, 99 Wasiat Imam Ja’far Ash-Shadiq, Penerbit Mizan, Bandung, 1993.
Previous
Next Post »