Kisah Pernikahan Sayyidina Ali dan Sayyidah Fatimah Az-Zahra

Sayyidah Siti Fatimah Az Zahra R.a mencapai puncak keremajaan dan kecantikannya ketika Islam dibawa Nabi Muhammad S.a.w sudah maju dan pesat di Madinah dan sekitarnya. Ketika itu Siti Fatimah Az Zahra benar-benar telah menjadi anak gadis remaja. Keelokan parasnya banyak menarik perhatian. Tidak sedikit pemuda terhormat yang menaruh harapan ingin mempersuntingkan puteri Rasulullah S.a.w itu.

Beberapa orang terkemuka dari kaum Muhajirin dan Ansar telah berusaha melamarnya. Menangani lamaran itu, Nabi Muhammad S.a.w menyatakan bahwa Beliau sedang menanti datangnya petunjuk dari Allah S.w.t mengenai puterinya itu.

Pada suatu hari Sayyidina Abu Bakar As Siddiq R.a, Umar Ibnul Khattab R.a dan Saad bin Muaz bersama-sama Rasulullah S.a.w duduk dalam masjid Beliau. Pada kesempatan itu diperbincangkan antara lain persoalan puteri Rasulullah S.a.w. Ketika itu Beliau S.a.w bertanya kepada Abu Bakar, “Apakah engkau bersedia menyampaikan persoalan Fatimah itu kepada Ali bin Abi Thalib?” Abu Bakar menyatakan kesediaannya. Ia berangkat untuk menghubungi Sayyidina Ali R.a.

Sewaktu Ali melihat datangnya Abu Bakar, dengan tergopoh-gopoh, ia menyambutnya dengan terperanjat kemudian bertanya, “Anda datang membawa berita apa?”. Setelah duduk rehat sejenak, Abu Bakar segera memperjelaskan persoalannya, “Wahai Ali, engkau adalah orang pertama yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya serta mempunyai lebih keutamaan dibandingkan dengan orang lain. Semua sifat utama ada pada dirimu. Demikian juga engkau adalah kerabat Rasulullah S.a.w. Beberapa orang Sahabat terkemuka telah menyampaikan lamaran kepada Rasulullah S.a.w untuk dapat mempersuntingkan puteri Beliau. Namun semua lamaran itu Beliau tolak. Rasulullah menyatakan bahwa persoalan puterinya diserahkan kepada Allah S.w.t. Akan tetapi, wahai Ali, apa sebab hingga sekarang engkau belum pernah menyebut-nyebut puteri Baginda itu dan mengapa engkau tidak melamar untuk dirimu sendiri? Kuharap semoga Allah dan Rasul-Nya akan menahan puteri itu untukmu.”.

Mendengar perkataan Abu Bakar itu, mata Sayyidina Ali berlinang-linang. Menanggapi kata-kata itu, Ali berkata, “Wahai Abu Bakar, anda telah membuat hatiku goncang yang sebelumnya tenang. Anda telah mengingatkan sesuatu yang sudah kulupakan. Demi Allah, aku memang menghendaki Fatimah, tetapi yang menjadi penghalang satu-satunya bagiku ialah karena aku tidak mempunyai apa-apa.”.

Abu Bakar terharu mendengar jawaban Ali yang menyentuh perasaan itu. Untuk membesarkan dan menguatkan hati Ali, Abu Bakar berkata, “Wahai Ali, janganlah engkau berkata seperti itu. Bagi Allah dan Rasul-Nya, dunia dan seisinya ini hanyalah ibarat debu-debu bertaburan belaka!”.

Setelah berlangsung dialog seterusnya, Abu Bakar berhasil mendorong keberanian Ali untuk melamar puteri Rasulullah S.a.w. Beberapa waktu kemudian, Sayyidina Ali datang menghadap Rasulullah S.a.w yang ketika itu sedang berada di kediaman Ummu Salamah R.a.

Mendengar pintu diketuk orang, Ummu Salamah bertanya kepada Rasulullah S.a.w, “Siapakah yang mengetuk pintu?”, Rasulullah menjawab, “Bangunlah dan bukakan pintu baginya. Dia orang yang dicintai Allah dan Rasul-Nya, dan ia pun mencintai Allah dan Rasul-Nya!”. Jawaban Nabi Muhammad S.a.w itu belum dapat memuaskan hati Ummu Salamah. Ia bertanya lagi, “Ya, tetapi siapakah dia itu?”. “Dia saudaraku, orang kesayanganku!” jawab Nabi Muhammad S.a.w.

Tercantum dalam banyak riwayat, bahwa Ummu Salamah di kemudian hari mengisahkan pengalamannya sendiri mengenai kunjungan Sayyidina Ali R.a kepada Nabi Muhammad S.a.w itu. “Aku berdiri cepat-cepat menuju ke pintu, sampai kakiku terhantuk-hantuk. Setelah pintu kubuka, ternyata orang yang datang itu adalah Ali bin Abi Thalib. Aku lalu kembali ke tempatku semula. Dia masuk, kemudian mengucapkan salam dan dijawab oleh Rasulullah S.a.w. Ia dipersilahkan duduk di depan Baginda S.a.w. Ali bin Abi Thalib menundukkan kepala, seolah-olah mempunyai maksud tetapi malu hendak mengutarakannya.

Rasulullah S.a.w mendahului berkata, “Wahai Ali, nampaknya engkau mempunyai suatu keperluan. Katakanlah apa yang ada dalam fikiranmu. Apa saja yang engkau perlukan, akan kauperolehi dariku!”. Mendengar kata-kata Rasulullah S.a.w itu, lahir keberanian Ali untuk berkata, “Maafkanlah aku, Ya Rasulullah. Engkau tentu ingat bahwa engkau telah mengambil aku dari bapak saudara engkau, Abu Thalib dan ibu saudara engkau, Fatimah binti Asad, ketika aku masih kanak-kanak dan belum mengerti apa-apa. Sesungguhnya Allah telah memberi hidayah kepadaku melalui engkau juga. Dan engkau, Ya Rasulullah, adalah tempat aku bernaung dan engkau jugalah yang menjadi wasilahku di dunia dan akhirat. Setelah Allah membesarkan aku dan sekarang menjadi dewasa, aku ingin berumah tangga, hidup bersama seorang isteri. Sekarang aku datang menghadap untuk melamar puteri engkau, Fatimah. Ya Rasulullah, apakah engkau berkenan menyetujui untuk menikahkan diriku dengannya?”

Ummu Salamah R.a membuka kisahnya: “Ketika itu kulihat wajah Rasulullah nampak berseri-seri. Sambil tersenyum Baginda S.a.w berkata kepada Ali, “Wahai Ali, apakah engkau mempunyai suatu bekal mas kawin?”. “Demi Allah,” jawab Ali dengan terus terang, “Engkau sendiri mengetahui bagaimana keadaanku, tak ada sesuatu tentang diriku yang tidak engkau ketahui. Aku tidak mempunyai apa-apa selain sebuah baju besi, sebilah pedang dan seekor unta.”.

Seperti kita ketahui bahwa pedang zulfiqar adalah pemberian dari Rasulullah S.a.w kepada Ali, “Tentang pedangmu itu,” kata Rasulullah menanggapi jawaban Ali, “Engkau tetap memerlukannya untuk meneruskan perjuangan di jalan Allah. Dan untamu itu engkau juga perlu untuk keperluan mengambil air bagi keluargamu dan juga engkau memerlukannya dalam perjalanan jauh. Oleh karena itu aku hendak menikahkan engkau dengan mas kawin sebuah baju besi saja. Aku puas menerima barang itu dari tanganmu. Wahai Ali, engkau wajib bergembira, sebab Allah Azza wa Jalla sebenarnya sudah lebih dahulu menikahkan engkau di langit sebelum aku menikahkan engkau di bumi!”.

Demikianlah riwayat yang diceritakan Ummu Salamah R.a. Setelah segala-galanya siap, dengan perasaan puas dan hati gembira, dengan disaksikan oleh para Sahabat, Rasulullah mengucapkan kata-kata ijab kabul pernikahan puterinya: “Bahwasanya Allah S.w.t memerintahkan aku supaya menikahkan engkau Fatimah atas mas kahwin 400 dirham (nilai sebuah baju besi). Mudah-mudahan engkau dapat menerima hal itu.”, “Ya Rasulullah, itu kuterima dengan baik,” jawab Ali bin Abi Thalib dalam pernikahan itu.

Demikianlah pernikahan antara dua orang yang sangat dicintai oleh Rasulullah S.a.w yakni puterinya, Siti Fatimah dan Sahabat yang juga merupakan sepupu Baginda yakni Sayyidina Ali. Rasulullah S.a.w mendoakan keberkahan atas perkawinan itu. Siti Fatimah mengisar sendiri gandum untuk dijadikan tepung sebelum diuli dan dimasak menjadi roti sebagai hidangan suami dan anak-anaknya.

Sejarah menyaksikan, bahwa Sayyidah Fatimah puteri Rasulullah S.a.w adalah seorang wanita mulia yang menempuh berbagai ujian yang memerlukan pengorbanan yang cukup besar dalam hidupnya. Walaupun Beliau adalah puteri Rasulullah, namun hidupnya bukannya disaluti kemewahan dan kesenangan, tetapi kemiskinan dan kesusahan. Setelah menikah pun, kehidupannya tetap sederhana. Walaupun Rasulullah pemilik kepada seluruh kekayaan di muka bumi tetapi Baginda S.a.w tidak pernah mendidik anaknya dengan kemewahan. Sewaktu menjadi isteri Sayyidina Ali, Siti Fatimah menguruskan sendiri keperluan rumah tangganya. Ali sering tiada karena keluar bersama Rasulullah S.a.w.

Setiap hari, Siti Fatimah mengangkut air dari sebuah perigi yang jauhnya dua batu dari rumahnya. Beliau mengisar tepung untuk keperluan makanan keluarganya. Meskipun dalam keadaannya serba susah dan miskin, beliau tetap bersedekah walaupun hanya dengan sebelah biji kurma. Siti Fatimah tidak pernah mengeluh atau menyalahkan suaminya terhadap penderitaan yang dihadapinya. Bahkan dikatakan bahwa seluruh kesusahan wanita di dunia ini telah ditanggungi oleh beliau sehingga beliau tidak perlu dipoligamikan. Wanita mulia ini sangat pemalu dan sangat menjaga maruah dirinya.

Sewaktu Rasulullah S.a.w hampir wafat, dia menemani ayahanda kesayangannya itu. Ketika itu Rasulullah S.a.w berbisik ke telinga kanannya, memberitahu Siti Fatimah bahwa sudah sampai masanya untuk Baginda mengadap Tuhan. Siti Fatimah sungguh sedih karena akan berpisah dengan ayah yang sangat dikasihinya. Kemudian baginda berbisik ke telinga kirinya pula. Siti Fatimah tersenyum gembira. Rupa-rupanya Rasulullah S.a.w menyatakan bahwa Siti Fatimah adalah orang yang pertama yang akan menyusul Baginda. Siti Fatimah meninggal di usia 28 tahun, lebih kurang lima bulan selepas wafatnya Rasulullah S.a.w.

Wallahu Wa Rasuluhu A'lam. Wassalam



Baca juga:
- Menikah Itu Mudah
- Proposal Nikah Buat yang Mau dan Siap, Barakallahu !
- Faedah Menikah
Previous
Next Post »

2 Komentar

Write Komentar
NIZAR AMODY
AUTHOR
05 Januari, 2014 delete

subhanallah..... I love MUHAMMAD SHALLALLAHU ALAIHI WASALLAM.

Reply
avatar
05 Juli, 2015 delete

اللهم صلى على محمد و اله

Visit -> http://diahfz.blogspot.com

Reply
avatar