Al Madad Ya Rasulullah

"Al Madad Ya Rasulullah"

Sebagian saudara kita umat Islam, menyatakan bahwa seruan judul di atas adalah syirik. Uraian diatas akan menerangkan, tentang ucapan di atas. Bagaimanakah hukumnya? Syirikkah kita?

Ucapan yang mengandung seruan (nida’ ; Ya Rasulallah) dan tawassul dengan ungkapan al-Madad atau adrikni. Maka maknanya adalah, “kami memohon pertolongan dengan perantaraanmu wahai Rasulallah“.

Pada hakekatnya kaum muslimin yang bertawassul atau beritighatsah dengan Nabi atau orang shaleh sama ada yang wafat atau yang masih hidup, adalah mereka hanyalah memohon pertolongan dan bantuan kepada Allah semata, dan pertolongan atau bantuan itu termasuk yang Allah mampukan kepada Nabi atau orang shalih itu dan Allah berikan kepada mereka. Maka ucapan seorang yang bertawassul atau beristighatsah misal: “Wahai Nabi Allah, sembuhkanlah aku, tunaikanlah hutangku“, maka sesungguhnya ia hanyalah menginginkan: “Bantulah aku dengan syafa’at dan pertolonganmu agar aku sembuh, dan doakanlah agar hutangku terlunasi, bertawajjuhlah kepada Allah dalam urusanku ini“. Maka mereka kaum muslimin tidaklah meminta kecuali apa yang Allah mampukan dan berikan pada mereka berupa doa dan syafa’at atau pertolongan.

Penisbatan al-Madad (pertolongan), al-‘Aun (bantuan) kepada Rasulullah atau makhluk lainnya hanyalah majaz (bukan hakekatnya) dan penisbatan semacam ini dibenarkan dalam Hadits dan Al-Qur'an sendiri. Dan kaum muslimin pun tidak meyakini pertolongan dan bantuan diciptakan oleh Rasulullah atau makhluk lainnya, melainkan kaum muslimin meyakini pertolongan, manfaat ataupun bahaya hanyalah dari Allah semata.

Contoh sebagaimana yang telah kami tampilkan di awal Hadits Nabi berikut :

اللهم اسقنا غيثا مغيثا مريئا مريعا نافعا غير ضار عاجلا غيرآجل

“Ya Allah, turunkanlah hujan yang menolong, menyelamatkan, enak, yang subur, memberi manfaat dan tidak mendatangkan bahaya, segera dan tidak ditunda“. (HR. Abu Dawud No. 988).

Dalam hadits yang berupa doa tersebut, Nabi menyebut dan menamakan hujan sebagai Mughits (penolong), Nafi’ (pemberi manfaat) dan Ghair Dhaarrin (Tidak mendatangkan bahaya).

Mungkinkah Nabi menyebut Hujan sebagai penolong, pemberi manfaat secara hakekatnya dan bukan majaz? jelas Nabi tidak bermaksud secara hakekatnya melainkan secara majaz, sebab jelas jika meyakini hujan sebagai pemberi pertolongan dan manfaat secara independen, maka hukumnya mensyirikkan Allah dengan makhluk-Nya. Maka sudah tentu yang Nabi maksudkan adalah secara majaz bukan hakikatnya.

Jika hujan saja boleh disebut al-Ghouts secara majaz, maka demikian pula makhluk Allah termulia yakni Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang telah banyak sebab perantara Beliau, umatnya bahkan seluruh alam mendapatkan banyak nikmat, pertolongan dan rahmat dari Allah Ta’ala, lebih layak disebut al-Ghauts atau al-Madad secara majaz.

~ Al Habib Muhammad bin Husein Al Habsyi ~

sumber: www.muhammadhuseinalhabsyi.com

Previous
Next Post »