Abu Musa al Asy’ari R.A

"Mereka ini termasuk golonganku, dan aku termasuk golongan mereka"

Abdullah bin Qais R.a, atau lebih dikenal dengan nama kunyahnya Abu Musa al Asy'ari telah memeluk Islam ketika Nabi Muhammad S.a.w masih berada di Makkah.

Abu Musa al-Asy'ari adalah seorang Sahabat yang didoakan langsung oleh Rasulullah S.a.w, dengan permohonan kepada Allah S.w.t, ampunan, dan agar di hari kiamat dimasukkan ke dalam tempat yang mulia, sebagaimana doa Rasulullah S.a.w;

”Allahumaghfir li-’Abdillah bin Qais zanbahu, wa adkhilhu yauma al-qiyamati madkhalan kariimaa”.

Sayyidina Abu Musa al Asy'ari R.a berasal dari kabilah Bani Asy’ari (Kaum Asy’ariyyiin) di Yaman, dan julukan “Abu Musa” diambil dari nama salah salah satu anaknya. Sejak awal ia memang tidak menyukai kebiasaan orang-orang Arab jahiliah yang menyembah berhala. Karena itu, setelah mendengar adanya seseorang yang menyeru kepada agama tauhid dan mencela berhala-berhala, ia segera memacu tunggangannya mengarungi padang pasir luas menuju Makkah.

Setelah bertemu dengan Nabi S.a.w dan mendengar penjelasan Beliau tentang Risalah Islam yang Beliau bawa, tanpa keraguan sedikitpun Abu Musa berba'iat memeluk Islam. Ia tinggal beberapa waktu di Makkah untuk memperoleh pengajaran Nabi S.a.w, kemudian Beliau menyuruhnya kembali dahulu ke daerahnya, sampai nanti Islam telah memperoleh kemapanan. Akan berbahaya baginya kalau tetap tinggal di Makkah saat itu, karena kaum kafir Quraisy tidak henti-hentinya melakukan halangan dan penyiksaan kepada mereka yang mengikuti risalah yang dibawa Rasulullah S.a.w.

Beberapa tahun berlalu, Abu Musa berhasil mendakwahkan Islam di kabilahnya di Yaman. Ia juga mendengar bahwa Nabi S.a.w dan kaum muslimin telah hijrah dan tinggal di Madinah dan memperoleh kemapanan di sana. Ketika ia mendengar Nabi S.a.w menghimpun pasukan untuk menyerang Khaibar, bersama lima puluh orang lebih, termasuk dua saudara kandungnya, Abu Ruhum dan Abu Burdah, ia memutuskan berhijrah ke Madinah. Ia berharap bisa bergabung dan berjihad bersama Beliau dalam peperangan tersebut.

Abu Musa dan kaum muslimin yang bersamanya, memutuskan melalui jalur lautan dengan perahu karena dianggapnya lebih cepat daripada harus mengarungi padang pasir. Tetapi perahu mereka terdampar di Habasyah karena mengalami kerusakan. Sayyidina Ja'far bin Abu Thalib R.a yang masih tinggal di sana menjumpai rombongan tersebut di pesisir, ia berkata kepada Abu Musa, "Sesungguhnya Rasulullah S.a.w memerintahkan kami tinggal di sini, maka menetaplah bersama kami di sini!".

Tidak ada pilihan lain bagi Abu Musa kecuali memenuhi tawaran Ja'far, sembari memperbaiki perahu mereka. Tetapi belum lama tinggal di sana, datang utusan Rasulullah S.a.w yang memerintahkan mereka agar segera berhijrah ke Madinah. Dua rombongan inipun kembali berperahu menyeberangi Laut Merah, kemudian menyeberang padang pasir menyusul Rasulullah S.a.w yang masih berada di Khaibar. Mereka berharap masih bisa ikut berjihad melawan kaum Yahudi di sana, tetapi ternyata mereka bertemu Nabi S.a.w ketika pasukan muslim telah menaklukan Khaibar. Beliau menyambut gembira dua rombongan Muhajirin ini dan memberikan bagian ghanimah perang Khaibar kepada mereka.

Nabi Muhammad S.a.w menggelari kelompok Abu Musa sebagai kaum Asy'ari atau Asy'ariyyin, dan menyatakan bahwa mereka adalah orang-orang yang paling lembut hatinya. Beliau S.a.w memberi gambaran tentang mereka; "Kaum Asy'ariyyin ini, bila mereka ditimpa kekurangan makanan dalam pertempuran atau dilanda paceklik, mereka mengumpulkan semua makanan yang tersisa pada selembar kain, lalu mereka membagi rata. Mereka ini termasuk golonganku, dan aku termasuk golongan mereka…!!".

Suatu ketika Sayyidina Umar bin Khathab mendatangi rumah putrinya yang juga istri Rasulullah S.a.w, Sayyidah Hafshah. Di sana ia bertemu dengan Asma binti Umais, yang ikut berhijrah ke Habasyah. Ia menanyakan kepada Hafshah siapa tamunya tersebut. Setelah dijelaskan sebagai Asma binti Umais, Umar berkata; "Apakah yang berhijrah ke Habasyah dan berlayar di lautan itu?".

Asma mengiyakan, Umar berkata lagi; "Kami telah mendahului kalian dalam berhijrah (ke Madinah), sehingga kami lebih berhak kepada Rasulullah S.a.w daripada kalian.". Asma binti Umais tidak terima dengan pernyataan Umar dan membantahnya. Ia juga berkata kepada Umar bahwa akan mengadukan perkara ini kepada Nabi S.a.w.

Tak lama setelah Sayyidina Umar pulang, Nabi S.a.w datang. Asma menceritakan perbedaan pendapat antara dirinya dan Umar dengan lengkap dan terperinci. Beliau S.a.w bersabda; "Umar tidak lebih berhak kepadaku daripada kalian, karena ia dan sahabat-sahabatnya hanya berhijrah sekali, sementara kalian turut serta dalam rombongan perahu dan berhijrah dua kali.". Ketika mendengar peristiwa Asma dan Umar tersebut, Abu Musa dan kaum Asy'ariyyin lainnya segera mendatangi Asma, dan memintanya menceritakan lagi berulang-ulang. Mereka ikut merasa bangga karena mereka bersama-sama dalam satu kapal dengan para sahabat yang berhijrah dari Habasyah.

Abu Musa al Asy'ary merupakan tipikal sahabat yang lengkap. Seorang yang saleh dan alim, rajin beribadah dan menuntut ilmu ketika sedang mukim (tidak sedang berjihad), dan seorang prajurit yang perkasa, cerdik dan arif  ketika sedang terjun dalam berbagai pertempuran, tanpa kehilangan keikhlasannya.

Allah S.w.t memberikan karunia suara yang luar biasa kepada Abu Musa al Asy'ary. Kalau ia membaca Al Qur'an, suaranya akan mendayu menggetarkan hati. Para sahabat enggan meninggalkan masjid kalau ia sedang melantunkan kalam Ilahi, seakan ada magnit yang menahan mereka untuk mendengarkan bacaannya sampai selesai. Nabi S.a.w pernah bersabda tentang suaranya ini, "Sungguh, Abu Musa telah diberi Allah seruling dari seruling-seruling keluarga Daud…!!".

Nabi Daud A.s memang seorang nabi yang dikaruniai Allah S.w.t suara yang luar biasa indahnya. Ketika beliau sedang mengaji (melantunkan bacaan) Zabur atau sedang berdzikir, pastilah burung-burung, gunung-gunung dan berbagai binatang lainnya mendengarkan dan ikut serta bertasbih kepada Allah S.w.t, mengiringi alunan suara beliau.

Ketika menjabat khalifah, Sayyidina Umar bin Khathab seringkali memanggil Abu Musa dan berkata, "Bangkitkanlah kerinduan kami kepada Tuhan kami, wahai Abu Musa….!!".

Dari seorang hamba yang sedang khusyu' beribadah, bahkan terkadang ia menangis dalam tawajuh-tawajuhnya, tiba-tiba Abu Musa berubah menjadi prajurit tangguh di garis depan, ketika ia terjun dalam pertempuran. Sejak bergabung dengan Nabi S.a.w di Madinah, ia hampir selalu mengikuti berbagai pertempuran untuk menegakkan panji-panji Islam, baik bersama atau tanpa Rasulullah S.a.w. Sebagai gambaran bagaimana semangatnya dalam terjun di medan jihad ini, ia berkata; "Kami pernah mengikuti suatu pertempuran bersama Rasulullah S.a.w hingga terompah (sepatu) kami pecah dan berlobang, begitu juga dengan sepatuku, sehingga kuku jariku habis terkelupas. Terpaksa kami harus membalut telapak kaki-kaki kami dengan sobekan kain…!!".

Peristiwa yang dimaksudkan Abu Musa itu adalah perang Dzatur Riqa, yang terjadi pada tahun 7 Hijriah. Bisa dibayangkan bagaimana penderitaan yang dirasakan para sahabat tersebut, apalagi dalam perjalanan di padang pasir yang panas menyengat. Mengenai kegigihan Abu Musa di medan jihad ini, Nabi S.a.w bersabda; "Pemimpin dari orang-orang yang berkuda (dalam pertempuran) adalah Abu Musa….!!".

Di masa khalifah Sayyidina Umar R.a, Abu Musa diangkat sebagai pemimpin dari pasukan untuk membebaskan Isfahan dari belenggu tirani Persia. Setelah bertempur beberapa waktu lamanya dan pasukan Persia hampir kalah, mereka minta berdamai dan berjanji untuk membayar upeti, tetapi mereka meminta tempo waktu untuk mengumpulkan hartanya. Abu Musa memenuhi permintaan tersebut, namun demikian ia memerintahkan pasukannya untuk tetap siaga dan tidak menurunkan kewaspadaan. Ia mencium siasat busuk dalam permintaan damai pasukan Persia ini. Benarlah apa yang diperkirakan Abu Musa, pada waktu yang tidak terduga, pasukan Persia melakukan penyerangan mendadak terhadap pasukan muslim. Disangkanya pasukan muslim sedang terlena dan tidak bersiaga, tetapi mereka salah besar, dan akhirnya dengan mudah pasukan Persia dikalahkan, jatuhlah Isfahan ke pelukan Islam.

Di masa khalifah Umar juga, Abu Musa ikut terjun dalam pasukan besar untuk menyerang Tustar, benteng terakhir imperium Persia. Setelah makin banyak wilayah Persia yang jatuh atau bergabung dengan Islam, seluruh pasukan Persia ditarik mundur ke kota Tustar. Kota yang dikelilingi dengan benteng ini dipertahankan habis-habisan oleh pasukan Persia yang dipimpin oleh Hurmuzan.

Pasukan muslim mengepung kota tersebut selama berhari-hari, tetapi tidak mudah untuk menerobos dan melumpuhkannya. Ketika banyak cara yang dicoba untuk menerobos benteng Persia mengalami kegagalan, Abu Musa menyusun suatu strategi. Ia mengirim beberapa prajurit perintis yang menyamar sebagai pedagang dan beberapa prajurit lainnya lagi sebagai pengembala. Dengan membawa dua ratus ekor kuda dan beberapa domba, mereka mulai berjalan dari tempat yang cukup jauh dari batas kota Tustar. Sementara itu pasukan induk bersembunyi di sekitar pintu gerbang benteng. Ketika sekelompok "pedagang dan penggembala" ini tiba di pintu gerbang, pasukan Persia membukakan pintu untuk mereka. Tetapi sebelum sempat mereka menutup kembali, pasukan perintis yang menyamar ini melakukan penyerangan, diikuti kemudian oleh pasukan induk yang menerobos pintu gerbang Kota Tustar. Terjadi pertempuran dahsyat antara kedua pasukan, sampai akhirnya pasukan Persia menyerah kalah.

Ketika terjadi pertentangan antara Khalifah Ali dan Muawiyah, yang kemudian berakhir dengan perang Shiffin, Abu Musa memilih untuk tidak terlibat dalam kedua belah pihak, sebagaimana sikap beberapa orang sahabat. Ia melihat, penolakan Muawiyah atas kekhalifahan Sayyidina Ali K.w telah berkembang menjadi pertentangan antara dua wilayah Islam. Penduduk Syam yang mendukung Muawiyah dan penduduk Irak yang mendukung Ali bin Abi Thalib. Memang, sejak diangkat menjadi khalifah, Sayyidina Ali memindahkan ibukota Islam dari Madinah ke Kufah di Irak.

Perang Shiffin berakhir dengan peristiwa Tahkim (lihat peristiwanya dalam kisah "Amr bin Ash R.a"), Muawiyah mengirimkan Amr bin Ash sebagai wakilnya, dan Ali mengirimkan Abu Musa al Asy'ari untuk melakukan perundingan. Sebenarnya Ali ingin mengirimkan Abdullah bin Abbas sebagai wakilnya dalam perundingan, karena ia sangat mengenal tipikal Muawiyah dan Amr bin Ash yang suka sekali bersiasat, sementara Abu Musa adalah tipikal sahabat shaleh yang tulus ikhlas dan tidak pernah berprasangka buruk kepada sesama muslim. Tetapi karena mayoritas pendukungnya memilih Abu Musa dalam tahkim tersebut, Ali menerimanya, walaupun ia bisa menduga kesudahannya.

Pada dasarnya Abu Musa mengetahui bahwa Sayyidina Ali berada di pihak yang benar, tetapi perkembangan situasi  mengarah pada perpecahan umat, karena itu ia menginginkan agar umat Islam kembali bersatu dan meninggalkan pertentangan antara Ali dan Muawiyah. Biarlah mereka memilih kembali pemimpinnya secara demokratis. Tetapi sebaliknya dengan Amr bin Ash, ia hanya punya tujuan agar Muawiyah tetap menjadi khalifah.

Dengan kelicinan siasatnya, Amr berhasil "memanfaatkan" kesalehan dan ketulusan Abu Musa untuk mencapai tujuannya tersebut. Wakil dari dua kubu tersebut, Abu Musa dan Amr bin Ash bersepakat bahwa Ali dan Muawiyah harus melepaskan jabatan masing-masing, setelah itu melakukan ‘pemilihan langsung’, siapakah khalifah yang dikehendaki oleh mayoritas. Amr bin Ash meminta Abu Musa untuk terlebih dahulu ‘melucuti’ jabatan Ali, baru dirinya ‘melucuti’ jabatan Muawiyah. Tetapi ternyata, setelah Abu Musa melakukannya, Amr bin Ash bukannya melucuti, bahkan menetapkan dan mengukuhkan Muawiyah sebagai khalifah kaum muslimin. Tentu saja Abu Musa tidak berkutik, dan tidak mungkin baginya ‘menjilat kembali’ perkataannya kepada kaum muslimin, walau dicurangi seperti itu.

Ia hanya bisa mendebat Amr bin Ash, tetapi tidak mungkin membalikkan keadaan. Inilah petikan apa yang dikatakan Abu Musa dalam peristiwa tahkim tersebut. Ketika Amr bin Ash berkata bahwa Muawiyah berhak atas kekhalifahan karena ia orang yang mulia, dan pewaris serta penuntut balas yang tepat atas terbunuhnya Khalifah Utsman, Abu Musa berkata; "Mengenai kemuliaan Muawiyah, kalau kekhalifahan bisa diperoleh karena kemuliaan, maka yang paling berhak adalah Abrahah bin Shabah, karena ia keturunan dari Raja-raja Yaman Attababiah, yang menguasai bagian barat dan timur dari bumi ini. Dan, apalah artinya kemuliaan Muawiyah dibandingkan dengan Ali bin Abi Thalib…Dan, mengenai Muawiyah sebagai wali Utsman, tentulah lebih utama puteranya sendiri, Amr bin Utsman…!!".

Abu Musa terus melakukan bantahan dan kata-kata sengit, yang sebelumnya tidak pernah terpikirkan untuk diucapkannya, atau oleh kaum Asy'ariyyin lainnya yang berhati lembut, kepada Amr bin Ash. Setelah itu ia meninggalkan  tempat tersebut dan mengasingkan diri ke Makkah. Ia tinggal di dekat Masjidil Haram dan menghabiskan sisa usianya dengan ibadah demi ibadah hingga maut menjemputnya, masih di masa pemerintahan Muawiyah ini.

Beberapa kelebihan budi pekerti dan sifat-sifatnya yang mulia yang ada pada diri Abu Musa sudah diakui oleh Rasulullah S.a.w sendiri, hingga Beliau S.a.w mendoakannya dan mengajarkan kepadanya perbendaharaan surga. Seperti dalam hadist yang diriwayatkan dari Abu Musa R.a, bahwa Rasulullah S.a.w mengatakan kepadanya; ”Ya Abdullah bin Qais, inginkah kamu aku ajarkan satu kalimat dari perbendaharaan surga? yaitu (la hawla wala quwwata illa billah)”.

Banyak pelajaran yang dapat kita petik daripada budi pekerti dan sifat-sifatnya yang mulia, dimana semasa hidupnya ia bersama dengan para Khulafa ar-Rasyidiin hingga wafatnya. Sayyidina Abu Musa R.a amat terkenal dengan kedalamannya terhadap ilmu agama, seorang ahli ibadah yang wara, memiliki sifat pemalu, ahli zuhud di dunia, kuat dalam pendirian dan sifat-sifat mulia yang lain yang disandangnya. Az-Zahabiy mengatakan, ”Abu Musa adalah seorang qori yang memiliki sura yang indah dan seorang terkemuka di Bashrah dalam membaca dan memahami Al-Qur'an.”.

Dengan segala kemampuannya beliau mengajarkan Al-Qur'an dan memberikan penjelasan kepada ummat di setiap daerah yang didatanginya, dibantu dengan bacaan dan suaranya yang indah ketika membaca Al-Qur'an, dapat menarik perhatian masyarakat sekitarnya hingga berkumpul mengelilinginya. Dikarenakan banyaknya penuntut ilmu yang hadir, maka ia membagi mereka menjadi beberapa kelompok halaqah pengajian ilmu pengetahuan agama, seperti yang pernah ia lakukan di mesjid Bashrah. Abu Musa juga memiliki perhatian yang besar dalam pengajian sunnah dan riwayat-riwayatnya, serta sangat berpegang teguh terhadap Sunnah Nabi S.a.w, sebagaimana ia telah sampaikan nasehat kepada anak-anak dan keluarganya ketika ajal mendatanginya.

Para ulama berbeda pendapat terhadap tahun wafatnya Abu Musa R.a. Kebanyakan dari perkataan mereka, tidak lebih dari tahun empat puluhan dari tahun Hijrah, diantaranya pendapat Ibnu Al-Atsir mengatakan; ”Abu Musa meninggal di Kufah, dan dikatakan di Mekkah pada tahun 42 Hijrah, dan dikatakan pada tahun 44 Hijrah, pada waktu itu beliau berumur 63 tahun.”. Sebagaimana Az-Zahaby juga membenarkan bahwa beliau wafat pada bulan Dzulhijjah tahun 44 Hijrah, Allahu A’lam.

Sebelum wafatnya beliau masih sempat memberikan peringatan dan nasehat buat anak-anak dan keluarganya agar selalu beriltizam terhadap Sunnah Nabi S.a.w. Dan merupakan suatu kemuliaan dari Allah terhadap keluarganya dengan menjadikan banyak dari anak-anak, cucu-cucu sampai pada keturunan-keturunannya menjadi ulama, qodhi dan perawi hadist, yang merupakan berkah dari do’a Rasulullah S.a.w yang diterimanya dan berkah keikhlasannya.

Di saat-saat terakhir kehidupannya, ia berpesan; “Jika aku telah meninggal, janganlah ada tangisan yang mengiringiku, dan dalamkanlah ruang kuburku!!”.

Demikianlah perjalanan dari kehidupan seorang sahabat Rasulullah yang ahli ibadat, wara, mujahid dan faqih, semoga kita semua dapat mengambil ibrah dari semua itu dan semoga Allah S.w.t memberi hidayah kepada kita dalam melangkah untuk mencapai ridha-Nya serta mewafatkan kita dalam keadaan Iman dan Islam. Amin.

“Rabbana-ghfir lana wa li-ikhwanina allaziina sabaquuna bil-iimaan wala taj’al fi- quluubina ghillan lil-laziina a-manu Rabbana innaka Raufu-r- Rahiim".
Previous
Next Post »