Maulid Al Burdah

"Mawlâya shalli wa sallim dâ-iman abada ‘ala habîbika khayril-khalqi kullihimi Huwal-habîbul-ladzî turja syafâ‘atuhu likulli hawlin minal-ahwâli muqtahami"

"Wahai Tuhanku limpahkanlah shalawat dan salam kepada kekasih-Mu sebaik-baik makhluk semuanya Dialah sang kekasih yang diharapkan syafa’atnya dari setiap huru-hara yang menimpa"

Burdah artinya mantel dan juga dikenal sebagai Burdah yang berarti shifa (kesembuhan). Burdah yang selama ini kita kenal tidak hanya tertuju kepada gubahan-gubahan al-Bushiri. Burdah ternyata juga memiliki akar yang kuat dalam budaya dan kesejarahan sastra di masa Rasulullah S.a.w.

Burdah Masa Nabi Muhammad S.A.W

Barangkali, selama ini kita, kalangan pesantren, hanya mengenal Burdah karya al-Bushiri semata. Padahal, ada kasidah Burdah lain yang muncul jauh sebelum al-Bushiri lahir (7 H / 13 M). Qasidah itu adalah bait-bait syair yang digubah oleh seorang sahabat yang bernama lengkap Ka'ab bin Zuhair bin Abi Salma al-Muzny. Sebagai ungkapan persembahan buat Nabi Muhammad S.a.w. Ka'ab termasuk salah seorang Muhadrom, yakni penyair dua zaman: jahiliyah dan Islam.

Ada kisah menarik dibalik kemunculan Burdah Ka'ab bin Zuhair ini. Mulanya, ia adalah seorang penyair yang suka menjelek-jelekkan Nabi dan para sahabat dengan gubahan syairnya, kemudian ia lari untuk menghindari luapan amarah para sahabat Nabi.

Pada peristiwa Fathu Makkah (penaklukan kota Mekah), saudara Ka'ab yang bernama Bujair bin Zuhair berkirim surat padanya yang berisikan antara lain: anjuran agar Ka'ab pulang dan menghadap Rasulullah S.a.w. Ka'ab-pun kembali dan bertobat. Lalu ia berangkat menuju Madinah dan menyerahkan dirinya kepada Rasul melalui perantaraan sahabat Abu Bakar R.a. Di luar dugaan Ka'ab, ia justru mendapat kehormatan istimewa dari Baginda S.a.w. Begitu besarnya penghormatan itu, sampai-sampai Rasul rela melepaskan Burdah (jubah yang terbuat dari kain wol/sufi)nya dan memberikannya pada Ka'ab.

Dari sini, Ka'ab kemudian menggubah qasidah madahiyah (syair-syair pujian) sebagai persembahan pada baginda Nabi S.a.w, yang terkenal dengan nama kasidah âBanat Suâadâ (Wanita-wanita Bahagia). Qasidah ini terdiri dari 59 bait, dan disebut juga Qasidah Burdah. Di antara prosa berirama gubahan Ka'ab adalah; "Aku tahu bahwa Rasul berjanji untuk memaafkanku dan pengampunannya adalah dambaan setiap insan. Dia adalah pelita yang menerangi mayapada, pengasah pedang-pedang Allah yang terhunus".

Burdah (jubah) pemberian Nabi itu, kemudian dibeli oleh sahabat Muawiyah bin Abi Sufyan dari putra Ka'ab. Dan biasa dipakai oleh khalifah-khalifah setelah Muawiyah pada hari-hari besar.

Burdah Al-Bushiri

Nama lengkap Syaikh Al-Imam Al-Bushiri adalah Syarafuddin Abu Abdillah Muhammad bin Sa’id bin Hammad bin Muhsin bin Abdullah bin Shanhaji bin Hilal Ash-Shanhaji. Beliau lahir pada hari Selasa bulan Syawwal tahun 608 H (1211 M) di daerah Dalash, tapi tumbuh besar dan menjalani kehidupannya di Bushir, sebuah daerah di Mesir, sehingga kemudian lebih dikenal dengan nama Imam Al-Bushiri. Beliau berasal dari keturunan sebuah kelompok suku yang dikenal dengan Bani Habnun di Maghrib (Maroko).

Al-Bushiri berguru kepada banyak tokoh ulama, diantaranya; Syaikh Ibrahim bin Abu Abdillah Al-Bushiri, Abu Hayyan Atsirudin Muhammad bin Yusuf Al-Ghamathi Al-Andalusi, Fathuddin Abul Fath Muhammad bin Muhammad Al-Umari Al-Andalusi Al-Isybili Al-Mushri (terkenal dengan sebutan Ibn Sayyidin Nas) dan ‘Izz bin Jama’ah Al-Kanani Al-Hamawi. Al-Bushiri tekun belajar kepada para gurunya ini.

Beliau memilih cara yang lain dalam mengarang syairnya. Maka jadilah syairnya berisi tasawuf, pujian dan shalawat kepada Rasulullah S.a.w dan beliau pun memurnikan cintanya kepada Allah dan Rasul-Nya.

Di antara karya-karya Al-Bushri adalah Shalawat Mudhariyah. Shalawat ini sangat besar keutamaannya dan banyak disebutkan dalam kitab-kitab dzikir. Dinamakan Mudhariyah, karena penisbatan Nabi S.a.w kepada salah satu datuk Beliau yang bernama Mudhor.

Salah satu keistimewaan shalawat ini disebutkan dalam kitab “Bughyah Ahl Al-‘ibadah wa Al-Aurad” Syarh Ratib Qutb Zamanih Al-Haddad karya Al-Habib Alwi bin Ahmad Al-Haddad. Dikisahkan bahwa Imam Al-Bushiri menyusun shalawat ini dipinggir sebuah pantai, ketika sampai pada syair ke-34 yang berbunyi:

ثٌمَّ الصَّلَاةُ عَلَى الْمٌخْتَارِ مَا طَلَعَتْ
شَمْسُ النَّهَارِ وَمَا قَدْ شَعْشَعَ الْقَمَرْ

Tiba-tiba dari tengah laut datang seorang laki-laki berlari di atas permukaan air dan menghampirinya sambil berdiri di hadapannya serta berkata: “Cukup.., akhirilah shalawatmu sampai bait ini, karena kamu telah membuat lelah para malaikat yang mencatat keutamaan pahala shalawat ini”.

Dan akhirnya Imam Bushiri menutup shalawatnya dengan permohonan ridha Allah untuk Rasulullah S.a.w dan para sahabatnya.

Qasidah Burdah karya Syekh al-Bushiri adalah salah satu karya sastra Islam paling populer. Ia berisikan sajak-sajak pujian kepada Nabi Muhammad S.a.w, yang biasa dibacakan pada setiap Bulan Maulid Rabiul Awal, bahkan di beberapa belahan negeri Islam, Al-Burdah kerapkali dibacakan dalam setiap even.

Sajak-sajak pujian untuk Nabi S.a.w dalam kesusastraan Arab dimasukkan dalam genre (bagian) al-madaih al-Nabawiyah. Sedang dalam kesusastraan Persia dan Urdu, dikenal sebagai kesusastraan naâtiyah (bentuk plural naât yang berarti pujian). Dalam tradisi sastra Arab, al-madaâih atau naâtiyah mula-mula ditulis oleh Hasan ibnu Tsabit, Ka'ab bin Malik dan Abdullah bin Rawahah. Sedang yang paling terkenal ialah Ka'ab bin Zuhair.

Pada abad ke-11 Hijriyah, muncul seorang penyair al-madaih terkemuka, Saâlabi, yang juga seorang kritikus sastra. Namun munculnya al-Bushiri dengan Burdahnya, sebagaimana munculnya karya Majduddin Sanaâi dalam bahasa Persia, al-madaih atau naâtiyah mencapai fase baru, yaitu tahapan sufistik, karena bernuansa nafas tasawuf. Lahirnya karya kedua penyair ini yang membuat puisi al-madaih berkembang pesat dalam kesusastraan Islam. Khusus karya al-Bushiri, selain sangat populer, ia juga sangat besar pengaruhnya terhadap kemunculan berbagai bentuk kesenian umat Islam. Karya al-Bushiri juga memberikan pengaruh yang tidak sedikit dalam mengoptimalkan metode dakwah Islamiyah, pendidikan dan ilmu retorika (ilmu Badiâ).

Nama Burdah muncul setelah pengarangnya mengemukakan latar belakang penciptaan karya monumentalnya ini. Ketika al-Bushiri mendapat serangan jantung, sehingga separuh tubuhnya lumpuh, dia berdoa tak henti-hentinya sembari mencucurkan air mata, mengharapkan kesembuhan dari Tuhan. Kemudian dia membacakan beberapa sajak pujian. Suatu saat dia tidak dapat menahan kantuknya, lantas tertidur dan bermimpi. Dalam mimpinya, ia berjumpa Nabi Muhammad S.a.w. Setelah Nabi menyentuh bagian tubuhnya yang lumpuh, Beliau memberikan jubah sufi (Burdah) kepada al-Bushiri. Kemudian aku terbangun dan kulihat diriku telah mampu berdiri seperti sediakala ujar Syekh al-Bushiri.

Pada hari (sembuh total) itulah permulaan beliau keluar dari rumahnya dan bertemu dengan seorang faqir shufi. Faqir shufi itu berkata: “Wahai Syekh…! Ijazahkanlah kepadaku qashidah yang engkau lantunkan untuk menyanjung Rasulullah S.a.w”, Al-Bushiri balik bertanya: “Qashidah yang mana yang engkau maksudkan..?”, Faqir itu menyebutkan bait pertama qashidah Burdah, yang awalnya berbunyi…

أَمِنْ تَذَكُّرِ جِيْرَانٍ بِذِيْ سَلَامِ

Akhirnya Al-Bushiri memberikan catatan qashidah Burdah kepada faqir itu. Begitulah awalnya hingga Qashidah Burdah menjadi sangat terkenal.

Ketika qashidah ini sampai di tangan salah seorang menteri Raja Al-Malik Adz-Dzahir yang bernama Bahauddin, dia menyalin qashidah tersebut, ia bernadzar untuk tidak mendengarkannya kecuali dia dalam keadaan melepaskan alas kaki dan tutup kepala sebagai bentuk penghormatan kepada Nabi Muhammad S.a.w. Menteri ini dan keluarganya benar-benar mendapat keberkahan dari qashidah Burdah ini.

Awalnya, al-Bushiri memberi nama karyanya ini dengan nama Qasidah Mimiyah, karena bait-bait sajaknya diakhiri dengan huruf Mim, selanjutnya qasidah ini dikenal dengan Qasidah Bara'ah, sebab menjadi cikal bakal sembuhnya sang pujangga dari kelumpuhannya. Hanya saja nama Qasidah Burdah lebih populer di kalangan umat Islam dibanding sebutan yang lain.

Qasidah Burdah terdiri atas 162 sajak dan ditulis setelah al-Bushiri menunaikan ibadah haji di Mekkah. Dari 162 bait tersebut, 10 bait tentang cinta, 16 bait tentang hawa nafsu, 30 tentang pujian terhadap Nabi S.a.w, 19 tentang kelahiran Nabi S.a.w, 10 tentang pujian terhadap al-Quran, 3 tentang Isra' Mi'raj, 22 tentang jihad, 14 tentang istighfar, dan selebihnya (38 bait) tentang tawassul dan munajat.


Pembacaan Qasidah Al Burdah

Qasidah Burdah telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa di dunia, seperti Persia, India, Pakistan, Turki, Urdu, Punjabi, Swahili, Pastun, Indonesia, Sindi dan lain-lain. Di Barat, ia telah diterjemahkan antara lain ke dalam bahasa Inggris, Prancis, Jerman, Spanyol dan Italia.

Qashidah Burdah ini tersebar ke seluruh penjuru bumi dari timur ke barat. Bahkan disyarahkan oleh sekitar 20 ulama, diantaranya yang terkenal adalah Imam Syaburkhiti dan Imam Baijuri.


Download Audio Pembacaan Qasidah Al Burdah (Mp3) melalui mediafire | archive (67 Mb)
Dengarkan Online Streaming di sini

Download Terjemahan Teks Qasidah Burdah (Pdf) melalui mediafire | archive (8 Mb)
Download Teks Arabic Burdah Busairi (Pdf) melalui mediafire | archive (101 Kb)
Download Hadrah Burdah (Mp3) melalui 4shared (9 Mb)

Shalawat Burdah Imam Bushiri:
Wassalam

Download juga:
Maulid Al Barzanji
Maulid Adh Dhiya Ullami
Maulid Ad-Diba'i
- Maulid Simthud Durar
Previous
Next Post »

2 Komentar

Write Komentar
JALIDIN
AUTHOR
09 Maret, 2015 delete

siip,semoa kita di kumpulan bersama nabi SAW

Reply
avatar