Harta Yang Berguna

Allah akan mengganti apa yang dinafkahkan seseorang dengan penggantian yang berlipat ganda, baik di dunia maupun akhirat. Balasan di du­nia berupa keberkahan dan rizqi yang bertambah, sedangkan di akhirat berupa pahala.

Harta bukanlah milik absolut (mutlak) seseorang. Ketika seorang hamba mendapatkannya, hen­dak­nya ia menyadari bahwa harta ha­nyalah amanah dan titipan Allah S.w.t ke­padanya. Allah S.w.t pun menitipkan le­wat diri seseorang bahwa di antara harta itu ada hak buat makhluk lainnya. Berikut ini diketengahkan hadits-hadits yang berkenaan dengan hal tersebut, dengan diawali petikan ayat Al Qur'an di bawah ini.

“Dan apa saja yang kamu nafkahkan, Allah akan menggantinya.”. (QS Saba`: 39).

Makna bahwa Allah akan mengganti­nya yakni Allah akan mengganti apa yang dinafkahkan seseorang dengan penggantian yang berlipat ganda, baik di dunia maupun akhirat. Balasan di du­nia berupa keberkahan dan rizqi yang bertambah, sedangkan di akhirat berupa pahala. Dalam hadits disebutkan, “Allah S.w.t berfirman, ‘Nafkahkanlah hartamu, maka Aku akan menafkahimu’.”

Rasulullah S.a.w pun mengkhabar­kan, menafkahkan harta sebagaimana yang disebutkan dalam ayat di atas ada­lah per­buatan yang baik yang patut bikin iri dan pantas ditiru, sebagaimana sab­da­nya, dari Ibn Mas‘ud R.a, dari Nabi S.a.w, Beliau bersabda, “Tidak boleh ada rasa iri kecuali hanya pada dua hal: sese­orang yang diberi kekayaan oleh Allah lalu kekayaan itu digunakan untuk ke­bajikan dan seseorang yang diberi ilmu oleh Allah kemudian diamalkannya dan diajarkannya bagi orang lain.”. (Muttafaq ‘Alaih). Hadits ini diriwayatkan Al-Bukhari dalam kitab Ilmu bab Iri dalam Ilmu dan Hikmah, kitab Zakat, dan lainnya. Se­dangkan Muslim  meriwayatkannya da­lam kitab Shalat bab Keutamaan Orang yang Mengamalkan Al-Qur’an dan Meng­ajarkannya.

Arti hasud yang sesungguhnya ada­lah mengharapkan hilang atau punahnya nikmat yang diperoleh orang lain, dan ini adalah perbuatan yang haram. Na­mun hasud yang dimaksud dalam hadits ini adalah iri yang positif (ghibthah), yakni berharap dan menginginkan nikmat dan kebaikan yang diperoleh orang lain. Ia bercita-cita seperti orang yang menda­patkan kemuliaan itu. Sikap ini diboleh­kan dalam agama.

Sedangkan ilmu (hikmah) yang di­maksud dalam hadits di atas, menurut Ibn Hajar Al-Asqalani, adalah pengeta­huan Al Qur’an, berdasarkan sebuah ri­wayat hadits Ibn ‘Amr. Pendapat lainnya mengatakan bahwa yang dimaksudkan hadits di atas adalah al-‘Ilm bi ahkamisy syar’i (pengetahuan tentang hukum-hu­kum syari’at).

Perbuatan iri dan dengki merupakan penyakit moral masyarakat yang berba­haya, yang harus dijauhi dan diwaspa­dai. Namun jika perbuatan iri itu adalah per­buatan yang ditujukan untuk mencon­toh kebaikan, iri ingin berbuat baik dan terpuji seperti yang dilakukan orang lain, hal ini diperbolehkan agama. Hadits di atas juga menunjukkan ke­utamaan orang kaya yang tidak bakhil atas nikmat harta yang Allah berikan kepadanya, begitu pula mereka yang Allah luaskan pemahamannya dalam ilmu-ilmu agama lalu mereka meng­ajarkannya kepada orang lain. Sehingga, kedua macam orang ini adalah contoh yang patut kita iri dan kita tiru.


Dari Ibn Mas’ud R.a, ia berkata, “Ra­sulullah S.a.w bertanya, ‘Siapa di antara kalian yang lebih mencintai harta waris­an daripada harta sendiri?’ Para sahabat menjawab, ‘Ya Rasul­ullah, sesungguhnya kami lebih mencin­tai harta sendiri.’ Beliau S.a.w bersabda, ‘Sesungguhnya har­ta sendiri lebih diutamakan dan harta warisan harus dikesampingkan’.” (Diri­wa­yatkan Al-Bukhari). Hadits ini diriwayatkan Al-Bukhari dalam kitab Perangai yang Halus bab Harta bagi Pewaris yang Diutamakan Baginya.

Islam sangat memperhatikan per­baik­an atas pemahaman dan dasar-da­sarnya yang mengarahkan pemeluknya. Bahwasanya seseorang yang mening­gal­kan harta miliknya saat ini lalu ber­pindah kepemilikannya kepada ahli wa­risnya pada saat berikutnya, sesung­guh­nya, adalah suatu hal yang berkaitan de­ngannya, yakni saat si pemilik hidup dan wafat. Saat hidupnya, harta itu menjadi miliknya secara hakiki, sedangkan bagi ahli warisnya bermakna majazi (maksud­nya, harta orangtua kelak juga menjadi harta anak). Ketika si pemilik wafat, harta itu menjadi harta hakiki bagi pewaris si pemilik yang wafat. Hadits ini juga mendorong sese­orang untuk mengutamakan harta hasil usahanya sendiri untuk dinfakkan seba­hagiannya di jalan Allah, agar ia mem­peroleh pahalanya itu kelak di akhirat.


Dari Abu Hurairah R.a, ia berkata, “Rasulullah S.a.w bersabda, ‘Setiap pagi datang dua malaikat kepada setiap ham­ba. Malaikat yang pertama berdoa, ‘Ya Allah, gantilah orang yang menafkahkan hartanya.’ Malaikat yang kedua berdoa, ‘Ya Allah, pupuskanlah harta orang yang kikir’.” (Muttafaq ‘Alaih). Hadits ini diriwayatkan Al-Bukhari dalam kitab Zakat bab Firman Allah, “Dan adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertaqwa...”. (QS Al-Layl: 5). Sedangkan Muslim meriwayatkannya dalam kitab Zakat bab Orang yang Berinfak dan Orang yang Pelit.

Hadits ini mendorong manusia untuk berinfak yang terpuji, yakni sebagai­mana dikatakan An-Nawawi, “Mengin­fakkan harta dalam ketaatan kepada Allah, bagi sanak keluarga, tetamu yang berkunjung, dan membantu dengan su­karela bagi kebaikan yang lain. Hadits ini juga memaklumatkan bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala akan mengganti dengan kebaikan dari apa yang dinfak­kan, dan tentunya janji Allah itu benar dan pasti.”.

Makhul At-Tabi’i berkata, “Hudzaifah R.a telah menyampaikan kepadaku bah­wasanya Rasulullah S.a.w bersabda, ‘Ke­tahuilah, sesungguhnya setelah za­man kalian ini, nanti ada zaman yang menggigit. Yakni ketika orang pelit meng­gigit uang yang ada di tangannya, takut menginfakkannya'.”.

Wal ‘iyadzu billah. Wassalam
Previous
Next Post »