Silaturahim

“Yang disebut bersilaturahim itu bukanlah seorang ysng membalas kunjungan atau pemberian, melainkan bersilaturahim itu menyambungkan apa yang terputus”

Kata Silaturahim (atau silaturrahmi) adalah majemuk, terdiri dari dua kata: Shilah dan Ar-Rahim. Shilah artinya sambungan, jalinan atau himpunan, dan padanan katanya yang paling dekat adalah ‘Alaqah (hubungan). Sedangkan ar-Rahim artinya mustawda’ al-Janin (rahim atau peranakan), yang kemudian mengalami perluasan makna menjadi al-Qarabah (kekerabatan), dan lebih umum lagi, “kasih sayang”.

Ar-Raghib al-Ashfahani mengaitkan kata ar-Rahim dengan rahim al-Mar’ah (rahim perempuan), yakni tempat bayi dalam perut ibunya. Bayi punya sifat disayangi sejak dalam kandungan, karena ia dikandung dan selalu mendapatkan curahan kasih sayang hingga ia terlahir.

Kata rahim juga seakar dengan kata ar-Rahmah, dari kata kerja Rahima (menyayangi, mengasihi). Kata silaturahim berarti menghubungkan tali kekerabatan dan kasih sayang. Dengan demikian silaturahim ini dapat dipahami sebagai suatu bentuk sikap atau perilaku yang bisa menjalin dan mempererat rasa kasih sayang di antara kita.

Di dalam Al-Qur’an, kata silaturahim secara eksplisit tertuan dalam QS Ar Ra’du ayat 21. Kata “yashiluna” ditafsirkan As-Suyuthi, Ash-Shawi, dan Al-Maraghi sebagai “yashilunar rahima”, artinya menyambung kasih sayang.

Kata silaturahim disebutkan oleh Rasulullah S.A.W dalam sabda-sabdanya, seperti tertuang dalam hadist Qudsi yang berbunyi: “Aku adalah Ar-Rahman (Maha Pengasih) dan engkau ar-Rahim. Aku ambil Nama-Ku untuk menamaimu (dalam riwayat lain, “Aku ambil namamu dari Nama-Ku”). Siapa yang menghubungkan kepadamu, Aku menghubungkannya. Dan siapa yang memutuskannya denganmu, Aku memutuskannya”.

Dalam hadits lain disebutkan, “Kebaikan yang paling cepat balasannya yaitu berbuat kebaikan dan silaturahim”. Juga dalam hadits yang berbunyi: “Sesungguhnya silaturahim adalah rasa cinta di dalam keluarga, keluasan menambah harta dan memperpanjang umur”. Masih banyak perkataan yang ditunjukan Nabi S.A.W tentang silaturahim.

Silaturahim harus dimulai dari kalangan keluarga, dan terus dikembangkan dalam masyarakat yang lebih luas. Silaturahim dalam praktek yang sesungguhnya adalah menggagas hubungan, merekatkan tali persaudaraan yang terputus dan menjadi pionir dalam hubungan, sebagaimana Rasulullah S.A.W bersabda: “Yang disebut bersilaturahim itu bukanlah seorang ysng membalas kunjungan atau pemberian, melainkan bersilaturahim itu menyambungkan apa yang terputus”. (HR Al-Bukhari).

Kekuatan silaturahim, terutama di kalangan umat islam, bukan sekedar saling bersalaman, menyentuhkan tangan atau saling meminta maaf, tetapi yang lebih hakiki adalah kekuatan mental dan kemampuan hati untuk memperbaiki akhlaq, sebagaimana misi utama yang diemban Rasulullah S.A.W.

Silaturahim termasuk metode dan azas islami utama yang dibawa Islam ke dunia semenjak hari pertama Rasulullah memulai dakwah secara terbuka. Rasulullah telah menerangkan dasar-dasar Islam dan tanda-tandanya. Dan silaturahim termasuk tanda yang sangat jelas dalam syariat Islam.

Sebagai bukti, pembicaraan panjang Abu Sufyan R.A dengan kaisar romawi, Heraclius. Ketika Heraclius bertanya kepadanya. “Apa yang diperintahkan oleh Nabi kalian?”, Abu Sufyan menjawab, “Sembahlah Allah, jangan kalian menyekutukan-Nya dengan sesuatu pun, tinggalkan apa yang dikatakan nenek moyangmu, menyuruh kami untuk melaksanakan shalat, jujur, meniggalkan perbuatan yang buruk dan menyambung silaturahim”. (Muttafaq Alaih).

Silaturahim (atau silaturrahmi) merupakan bagian dari tanda-tanda yang agung dari agama Islam, yaitu mentauhidkan Allah, mendirikan shalat, berpegang teguh pada sifat jujur dan mejauhkan diri dari perbuatan buruk. Karena itu silaturahim semestinyalah menjadi keistimewaan yang nyata yang ditampakkan kepada orang-orang yang pertama kalinya bertanya tentang Islam.

Sekian
Previous
Next Post »