Keadaan kita, tempat kemudian kita, kebahagiaan dan kesengsaraan kita, ridha ataukah murka yang akan kita dapatkan, kemenangan ataukah kerugian yang akan kita terima, semuanya berkaitan dengan apa yang dikehendaki oleh setiap kita dalam hidup ini.
Segala puji bagi Allah. Pujian yang memadai dengan segala karunia-Nya dan mencukupi segala tambahannya. Wahai Tuhan kami, milik-Mu-lah segala pujian yang patut bagi keagungan wajah-Mu dan keagungan kekuasaan-Mu. Mahasuci Engkau, sungguh kami tiada dapat menghinggakan pujian terhadap-Mu sebagaimana Engkau memuji diri-Mu sendiri. Maka, hanya bagi-Mu-lah segala puji sampai Engkau ridha, dan bagi-Mu segala puji di kala Engkau ridha, dan hanyalah bagi-Mu segala pujian setelah Engkau ridha.
Ya Allah, anugerahkanlah keselamatan dan kesejahteraan atas penghulu kami, Nabi Muhammad SAW, keluarganya, para sahabatnya, para tabi’in, dan semua pengikut mereka, hingga hari Kiamat.
Allah SWT berfirman, “Barang siapa menghendaki kehidupan sekarang (duniawi), Kami segerakan baginya di dunia itu apa yang Kami kehendaki bagi orang yang Kami kehendaki dan Kami tentukan baginya neraka Jahannam, ia akan memasukinya dalam keadaan tercela dan terusir. Dan barang siapa menghendaki kehidupan akhirat dan berusaha ke arah itu dengan sungguh-sungguh sedang ia adalah mukmin, mereka itu adalah orang-orang yang usahanya akan dibalas dengan sebaik-baiknya.” (QS [17] Al-Isra: 18-19).
Renungkanlah firman Allah SWT “Barang siapa menghendaki”. Ungkapan ini berbicara tentang iradah (kehendak). Allah berfirman, “Barang siapa menghendaki dunia… dan barang siapa menghendaki akhirat.” Ini menunjukkan bahwa kejadian kita pada alam nyata ini berkaitan erat dengan “apa yang kita kehendaki”.
Keadaan kita, tempat kemudian kita, kebahagiaan atau kesengsaraan kita, ridha ataukah murka yang akan kita dapatkan, kemenangan ataukah kerugian yang akan kita terima, semuanya berkaitan dengan apa yang dikehendaki oleh setiap kita dalam hidup ini.
Pembagian yang akan Allah berikan kepada hamba-hamba-Nya berupa kebahagiaan atau kesengsaraan, surga atau neraka, ridha atau murka, berkaitan erat dengan apa yang dikehendaki oleh setiap insan dalam hidupnya. Dan Allah menjadikan semata-mata kehendak dan keinginan terhadap dunia sebagai sebab mendapatkan kerugian, adzab, dan murka-Nya, dan menjadikan kehendak dan keinginan terhadap akhirat yang disertai dengan usaha yang terwujud dari keinginan itu sebagai sebab didapatkannya kebahagiaan abadi, rahmat, dan ridha Allah SWT.
Sejak lama kita sudah mendengar pembicaraan tentang dunia, ahli dunia, dan ahli akhirat. Apa sebenarnya makna “dunia”, yang menyebabkan orang-orang yang menginginkannya semata-mata akan mendapatkan dunia? Apa yang dimaksud dengan kata “dunia” yang dicela itu?
Apakah yang dimaksudkan dunia adalah makanan, minuman, kendaraan yang ditunggangi oleh seseorang berupa mobil atau pesawat, misalnya, atau rumah, ataukah harta benda yang diperoleh? Apakah memperoleh semua itu menjadikan seseorang dapat disebut menghendaki dan menginginkan dunia, sehingga ia harus bersiap-siap menghadapi murka Allah SWT?
Kemudian apa pula yang dimaksud dengan akhirat? Apakah yang dimaksud dengan menghendaki akhirat berarti tidak memiliki bagian sedikit pun dari dunia, atau bahkan sama sekali tidak memiliki hubungan dengan dunia?
Ketahuilah, di dalam berbagai makna itu terdapat padanya satu konsep kehidupan yang kita jalani ini. Dalam konsep itu terdapat sesuatu yang dinamakan as-sayr ilallah, perjalanan menuju Allah SWT.
Pembahasan dalam majelis ini akan berbicara tentang perjalanan menuju Allah, tentang keinginan untuk menempuh jalan menuju Allah, keinginan untuk sampai kepada Allah, keinginan untuk menggapai ridha Allah, dan keinginan terhadap akhirat secara hakiki. Karena sesungguhnya setiap insan yang ada di dunia ini adalah seorang murid, seorang yang berkeinginan dan berkehendak, baik sebagai murid ad-dunya, orang yang menginginkan dunia semata-mata, maupun sebagai murid al-akhirah, yang menginginkan akhirat, yang berarti menginginkan Allah, dalam arti menginginkan sampai kepada-Nya untuk menggapai ridha-Nya.
Itulah sebabnya, pada kesempatan majelis-majelis yang akan datang, tidak lain akan dibicarakan ihwal rangkaian seputar memahami makna-makna al-wushul ilallah (sampai kepada Allah). Bagaimana kita dapat sampai kepada Allah, bagaimana kita dapat menggapai ridha-Nya, dan bagaimana pula kita memahami maksud dari kebalikan semua itu, yakni memahami sesuatu yang dilarang oleh Allah SWT, yaitu keinginan terhadap dunia. Apa yang dimaksud dengan keinginan terhadap dunia, di mana Allah menyampaikan peringatan kepada hamba-hamba-Nya terhadap hal itu. Satu peringatan yang sampai kepada batasan bahwa, dengan semata-mata menghendaki dunia, seseorang akan tergolong ke dalam golongan mereka yang menginginkan dunia yang tercela dan akan masuk ke dalam neraka dalam keadaan hina dan jauh dari rahmat Allah SWT.
Para ulama mengatakan, dunia adalah segala sesuatu yang terdapat di bumi dan di alam semesta ini, berupa segala sesuatu yang dapat diperoleh oleh manusia.
Kemudian selama segala sesuatu itu berhubungan dengan keinginan manusia berdasarkan kebutuhan hidupnya di muka bumi ini, di manakah letak tercelanya dari keterkaitan hatimu untuk berpakaian, makan, minum, atau memperoleh kendaraan?
Bukankah para sabahabat pun memperoleh semua itu sesuai dengan kondisi mereka masing-masing. Mereka menaiki hewan tunggangan, mengenakan pakaian, dan menikmati aneka hidangan. Demikian pula para tabi‘in, mereka mengikuti para sahabat. Dan para pengikut tabi‘in pun mengikuti para tokoh shalihin dari kalanangan tabi‘in. Lalu di manakah letak dosa dari dunia?
Yang tercela dan berbahaya dari keinginan terhadap dunia adalah dua hal. Yaitu, pertama, keterkaitan dan ketergantungan hati terhadap dunia (mencintai dunia). Kedua, sibuknya jasad dengan segala apa yang menjadi ketergantungan hati terhadapnya (kesibukan oleh kecintaan terhadap dunia).
Pertama, keterkaitan dan ketergantungan hati (mencintai dunia), maknanya adalah bahwa seseorang hidup di dunia ini tidak ada tujuan atau motivasi baginya selain bersenang-senang dengan kenikmatan dunia dan untuk memperoleh kesenangan dunia.
Kedua, sehingga dengan maksud dan tujuan tersebut, sebagai wujud dari kecintaan dan ketergantungan hatinya terhadap dunia, semua waktu, kesungguhan, pikiran, dan daya upayanya, semata-mata dicurahkan untuk kepentingan itu.
Kebutuhan Pokok Manusia
Lalu apakah yang menjadikan seseorang menyibukkan waktunya, mencurahkan pikiran dan kesungguhannya, dalam hidup ini?
Para ulama mengatakan, hakikat yang dibutuhkan oleh manusia dalam hidupnya adalah makanan untuk memperkuat badannya, pakaian untuk menutup auratnya dan melindunginnya dari panas dan dingin, dan tempat tinggal untuk dirinya dan keluarganya berlindung. Hakikat kebutuhan dasar manusia, baik muslim maupun kafir, tua ataupun muda, laki-laki atau perempuan, tidak lain adalah tiga hal tersebut.
Tiga hal yang menjadi kebutuhan pokok manusia dalam hidupnya memunculkan kemestian bahwa akal dan pikiran manusia, sejak zaman dahulu kala, tercurahkan terhadap segala sesuatu yang berkaitan dengan tiga kebutuhan pokok tersebut.
Makanan menjadikan manusia berpikir tentang bercocok tanam. Pakaian menjadikan manusia berpikir tentang berburu dan bergembala domba-domba yang bulunya dijadikan wol, berpikir tentang tenun, dan seterusnya, hingga berpikir untuk pembuatan pabrik tenun, perusahaan tekstil, hingga belakangan ini menciptakan pasar-pasar modern yang menjual beraneka macam dan rupa-rupa fashion. Dan tempat tinggal menjadikan manusia membutuhkan industri yang mengolah berbagai bahan kebutuhan bangunan hingga para tenaga kerja.
Tuntutan-tuntutan semacam itu terus berlangsung dari waktu ke waktu dan semakin berkembang dari masa ke masa hingga membuat manusia membutuhkan bentuk hubungan antarsesamanya dalam memenuhi berbagai kebutuhan-kebutuhan dalam hidupnya. Hal demikian itu yang menjadikan seseorang berpikir, “Saya harus bekerja sama dengan seorang petani bila saya bukan petani… saya harus bekerja sama dengan penjahit bila saya bukan seorang penjahit… saya harus bekerja sama dengan tukang bangunan, arsitek, kontraktor, perusahaan dan sebagainya.”
Kebutuhan-kebutuhan yang melingkupi kehidupan manusia telah melahirkan hubungan antar-sesama manusia. Hubungan yang terjadi secara naluri kemanusiaan itu telah melahirkan berbagai perbedaan dan juga persamaan dalam berbagai cara pandang.
Perbedaan itu kemudian terkadang berkembang menjadi pertikaian dan permusuhan di antara mereka dan selanjutnya berubah menjadi peperangan. Kelompok yang satu berperang dengan kelompok yang lainnya karena memperebutkan sejengkal tanah yang mereka cocok tanami, atau para pemilik lahan yang satu bertikai dengan lainnya memperebutkan lahan garapan mereka. Pertikaian dan peperangan semacam itu terus-menerus terjadi hingga hari pada masa sekarang ini.
Pertikaian dan peperangan yang terjadi oleh adanya kepentingan-kepentingan dalam memenuhi kebutuhan dasar manusia itu telah melahirkan kemestian baru, yakni kebutuhan terhadap adanya langkah untuk menyelesaikan pertikaian tersebut dan mendudukkan kedua belah pihak dalam kesetaraan. Maka lahirlah atas dasar itu berbagai undang-undang, peradilan, dan juga pemerintahan, yang memiliki legalitas untuk menciptakan aturan hubungan antar-individu dan kelompok di tengah-tengah masyarakat.
Perkembangan kebutuhan manusia dari kebutuhan dasarnya kepada kebutuhan-kebutuhan yang semakin beragam dan kompleks itulah yang kemudian memberikan pengaruh yang besar pada diri setiap manusia. Perkembangan itulah yang menjadikan hati dan pikiran manusia semakin sibuk.
Akal manusia sibuk memikirkan dan melahirkan konsep-konsep untuk mengatur berbagai kebutuhan hidupnya yang semakin kompleks. Seorang pedagang, misalnya, berpikir bagaimana mendapatkan modal, menentukan produk, dan memasarkannya. Bukan hanya itu, ia juga berpikir bagaimana agar tidak tertipu dalam transaksi, bagaimana mengamankan komoditasnya, bagaimana berhadapan dengan birokrasi untuk mendapatkan izin, bagaimana mengatur manajemen keuangan, dan seterusnya.
Dalam kondisi semacam itulah, manusia melewatkan waktu demi waktunya sedangkan hati dan pikirannya berkaitan erat dengan urusan-urusan dan persaingan-persaingan dalam dunia nyata.
Ya, persaingan dalam urusan dunia. Persaingan yang kemudian menimbulkan sesuatu dalam hati manusia yang disebut ketidaksenangan terhadap orang lain yang dianggap sebagai pesaingnya. Dari rasa ketidaksenangan itu muncul yang dinamakan iri atau hasad, karena merasa tersaingi atau menginginkan sesuatu yang ada pada orang lain dan tidak dimilikinya. Dari hasad lalu muncul lagi yang namanya sombong atau kibr, perasaan lebih hebat dari orang lain yang dianggap lebih lemah darinya. Dari sifat ini muncul lagi sifat ujub, yakni membanggakan diri atas “keakuan” karena merasa kesuksesan yang ada adalah hasil pikiran dan usahanya.
Demikianlah seterusnya hingga manusia berpikir tentang status untuk membedakan seseorang dengan lainnya. Manusia mulai membuat ukuran-ukuran berdasarkan standar kesuksesannya dalam menguasai dunia. Besar-kecilnya nilai seseorang kemudian diukur, misalnya, dari gaya dandanan yang dikenakannya. Bahkan merek dagang tertentu dijadikan sebagai ciri yang menandakan seratus sosial seseorang.
Wallahu Warasuluhu A'lam. Wassalam
EmoticonEmoticon