"Umat Islam merayakan Maulid Nabi sebagai salah satu bentuk penghormatan kepada Beliau S.a.w, juga merupakan wujud pengungkapan rasa bahagia dan syukur atas rahmat terbesar dari Allah S.w.t, yaitu Rasulullah S.a.w"
Ketika memasuki bulan Rabiul Awwal, umat Islam merayakan hari kelahiran Nabi Muhammad S.a.w dengan berbagai cara, baik dengan cara yang sederhana maupun dengan cara yang cukup meriah. Pembacaan shalawat, Barzanji dan pengajian pengajian yang mengisahkan sejarah Nabi S.a.w menghiasi hari-hari pada bulan mulia itu.
Ketika memasuki bulan Rabiul Awwal, umat Islam merayakan hari kelahiran Nabi Muhammad S.a.w dengan berbagai cara, baik dengan cara yang sederhana maupun dengan cara yang cukup meriah. Pembacaan shalawat, Barzanji dan pengajian pengajian yang mengisahkan sejarah Nabi S.a.w menghiasi hari-hari pada bulan mulia itu.
Sekitar lima abad yang lalu, pertanyaan seperti itu juga muncul. Dan Imam Jalaluddin as-Suyuthi (849 H – 911 H) menjawab bahwa perayaan Maulid Nabi S.a.w boleh dilakukan. Sebagaimana dituturkan dalam Al-Hawi lil Fatawi: “Ada sebuah pertanyaan tentang perayaan Maulid Nabi S.a.w pada bulan Rabiul Awwal, bagaimana hukumnya menurut syara’. Apakah terpuji ataukah tercela? Dan apakah orang yang melakukannya diberi pahala ataukah tidak?"
Beliau menjawab: "Menurut saya bahwa asal perayaan Maulid Nabi S.a.w, yaitu manusia berkumpul, membaca Al Qur’an dan kisah-kisah teladan Nabi S.a.w sejak kelahirannya sampai perjalanan kehidupannya. Kemudian menghidangkan makanan yang dinikmnti bersama, setelah itu mereka pulang. Hanya itu yang dilakukan, tidak lebih. Semua itu termasuk bid’ah al-hasanah. Orang yang melakukannya diberi pahala karena mengagungkan derajat Nabi S.a.w, menampakkan suka cita dan kegembiraan atas kelahiran Nabi Muhammad S.a.w yang mulia”. (Al-Hawi lil Fatawi, juz I, halaman 251-252).
Jadi, sebetulnya hakikat perayaan Maulid Nabi S.a.w itu merupakan bentuk pengungkapan rasa bahagia dan syukur atas terutusnya Nabi Muhammad S.a.w ke dunia ini. Yang diwujudkan dengan cara mengumpulkan orang banyak. Lalu diisi dengan pengajian keimanan dan keislaman, mengkaji sejarah dan akhlaq Nabi S.a.w untuk diteladani. Pengungkapan rasa gembira itu memang dianjurkan bagi setiap orang yang mendapatkan anugerah dari Tuhan. Sebagaimana Firman Allah S.w.t :
Katakanlah (wahai Nabi Muhammad): "Dengan kurnia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Kurnia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.". (QS Yunus: 58).
Ayat ini, jelas-jelas menyuruh kita umat Islam untuk bergembira dengan adanya rahmat Allah S.w.t. Sementara Nabi Muhammad S.a.w adalah rahmat atau anugerah Tuhan kepada manusia yang terbesar dan teragung, tiada taranya. Sebagaimana firman Allah S.w.t:
"Dan tiadalah Kami mengutus engkau (wahai Nabi Muhammad), melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.". (QS al-Anbiya’:107).
Sesunggunya, Perayaan Maulid itu sudah ada dan telah lama dilakukan oleh umat Islam. Benihnya sudah ditanam sendiri oleh Rasulullah S.a.w. Dalam sebuah hadits diriwayatkan dari Abu Qatadah al-Anshari R.a bahwa Rasulullah S.a.w pernah ditanya tentang puasa Senin. Maka Beliau menjawab:
“Pada hari itulah aku dilahirkan dan wahyu diturunkan kepadaku.”. (HR Muslim)
“Pada hari itulah aku dilahirkan dan wahyu diturunkan kepadaku.”. (HR Muslim)
Betapa Rasulullah S.a.w begitu memuliakan hari kelahirannya. Beliau bersyukur kepada Allah S.w.t pada hari tersebut atas karunia Tuhan yang telah menyebabkan keberadaannya. Rasa syukur itu Beliau ungkapkan dengan bentuk puasa.
Paparan ini menyiratkan bahwa merayakan kelahiran (maulid) Nabi Muhammad S.a.w termasuk sesuatu yang boleh dilakukan. Apalagi perayaan Maulid itu isinya adalah bacaan shalawat, baik Barzanji atau Diba’, sedekah dengan beraneka makanan, pengajian agama dan sebagainya, yang merupakan amalan-amalan yang memang dianjurkan oleh Syari’at Islam. Abuya Sayyid Muhammad Alawi al-Maliki mengatakan:
“Pada pokoknya, berkumpul untuk mengadakan Maulid Nabi merupakan sesuatu yang sudah lumrah terjadi. Tapi hal itu termasuk kebiasaan yang baik yang mengandung banyak kegunaan dan manfaat yang (akhirnya) kembali kepada umat sendiri dengan beberapa keutamaan (di dalamnya). Sebab, kebiasaan seperti itu memang dianjurkan oleh syara’ secara parsial (bagian bagiannya)”
“Sesungguhnya perkumpulan ini merupakan sarana yang baik untuk berdakwah. Sekaligus merupakan kesempatan emas yang seharusnya tidak boleh punah. Bahkan menjadi kewajiban para da’i dan ulama untuk mengingatkan umat kepada akhlaq, sopan santun, keadaan sehari-hari, sejarah, tata cara bergaul dan ibadah Nabi Muhammad S.a.w. Dan hendaknya mereka menasehati dan memberikan petunjuk untuk selalu melakukan kebaikan dan keberuntungan. Dan memperingatkan umat akan datangnya bala’ (ujian), bid’ah, kejahatan dan berbagai fitnah”. (Mafahim Yajib an Tushahhah: 224-226)
Maka sudah sewajarnya kalau umat Islam merayakan Maulid Nabi S.a.w sebagai salah satu bentuk penghormatan kepada Nabi Muhammad S.a.w. Dan juga karena isi perbuatan tersebut secara satu persatu, yakni membaca shalawat, mengkaji sejarah Nabi S.a.w, sedekah, dan lain sebagainya merupakan amalan yang memang dianjurkan dalam Syari’at Islam.
~ www.alkisah web.id ~
EmoticonEmoticon