”Jiwa kemanusiaan akan tergerak untuk berbuat dan bersemangat dengan sebab tarhib, targhib, atau tasywiq”
Ketika kita dapat merasakan bahwa Allah Maha Berbelas Kasih dalam memperlakukan hamba-hamba-Nya, pantaskah kita tidak mencintai-Nya, pantaskah kita tidak merindukan-Nya?
Beberapa waktu lalu, kita telah membicarakan makna al-Baits. Selanjutnya kita akan membahas hal-hal yang dapat menumbuhkan al-baits dalam hati seorang hamba.
Sangatlah mungkin bagi seorang muslim, tahun demi tahun berlalu darinya tapi di dalam hatinya tidak sedikit pun tumbuh dorongan, al-baits, untuk datang kepada Allah S.w.t. Ia tidak berusaha dan tidak pula mencarinya. Ia tidak mengetuk pintu dan tidak pula berdiri di depan pintu Allah S.w.t.
Itulah karenanya kita teramat butuh untuk berusaha mencari sebab agar di dalam hati kita Allah tumbuhkan dorongan untuk datang kepada-Nya.
Para ulama mengatakan, jiwa kemanusiaan akan tergerak untuk berbuat dan bersemangat dengan sebab tarhib, targhib, atau tasywiq.
Tarhib (Takut)
Tahrib adalah dorongan yang lahir dari rasa takut. Misalnya, seseorang menyukai manisan padahal ia memiliki penyakit gula – semoga Allah memelihara kita dari terkena penyakit gula. Suatu ketika ia sangat menginginkan makanan manis sedangkan gulanya meningkat. “Kadar gula Anda 400, jika Anda makan makanan ini mungkin Anda akan mengalami kebutaan,” ia diingatkan.
Apa yang akan dilakukannya? Tentu ia akan meninggalkan makanan manis itu meskipun ia sangat menginginkannya.
Apa yang membuatnya meninggalkan makanan manis itu? Ia meninggalkannya karena rasa takut.
Seseorang yang lain terlambat dalam jam kerja. Kali pertama bagian personalia hanya mencatatnya dan demikian pula untuk kedua kalinya. Untuk selanjutnya dikeluarkan kepadanya surat peringatan, ia pun diharuskan menandatangani surat perjanjian. Surat peringatan itu berbunyi, “Jika esok Saudara masih terlambat tanpa alasan menjelang waktu yang bisa diterima, Saudara akan menerima surat PHK (pemutusan hubungan kerja).”
Malam harinya, ia pun tidur dengan segera. Di saat dering alarm menjelang subuh subuh berbunyi, ia segera bangun, mandi, berwudhu, shalat Subuh. Ia lalu sarapan, dan setelah mempersiapkan segalanya ia pun bergegas menuju kantor, agar tidak terlambat, supaya tidak di-PHK. Padahal, di saat yang sama nafsunya berkata, “Istirahatlah!” Namun, ketika teringat olehnya surat pemecatan, dengan segera ia pun bangun dan bangkit.
Mengapa ia bangkit dan bergegas? Karena dari dalam dirinya tumbuh semangat dan kesungguhan.
Lalu apa yang membuat semangat itu tumbuh dalam dirinya? Semangat itu tumbuh karena sebab rasa takut yang ada dalam hatinya.
Itulah sebabnya, di dalam Al-Qur’an terdapat banyak ayat yang menyebutkan ihwal neraka dan adzab di dalamnya, tentang murka Allah. Demikian pula di dalam sunnah terdapat banyak hadits yang menyebutkan ihwal adzab kubur.
Memang, terkadang, bila sebagian dai banyak menyebutkan ihwal neraka dan adzabnya sebagai tarhib (peringatan akan ancaman Allah S.w.t), tumbuh penolakan dan penentangan dari obyek dakwah, bahkan membuat mereka lari. Akan tetapi, pada hakikatnya hati sangat membutuhkan tarhib itu.
Kita membutuhkan adanya rasa takut pada saat menyadari bahwa kita pasti akan mati. Kematian adalah suatu kemestian yang terkadang kita lupakan. Di kala kita mengingatnya, mengingat bahwa kita pasti akan mati, setelah itu kita dimasukkan ke dalam kubur yang gelap, kemudian kita dihadapkan di hadapan Allah SWT untuk dihisab atas setiap langkah demi langkah yang kita lakukan, atas setiap detik demi detik dan hari demi hari yang telah kita lalui dan habiskan dalam hidup kita, Dia, Yang Mahaperkasa, akan menanyai dan menghisab kita, kemudian di saat itu kita pun akan mengingat bahwa kita akan berjalan di atas Shirath, jembatan yang permukaannya lebih tajam daripada ujung silet dan membentang di atas api neraka Jahannam, apakah kita akan melewatinya dan masuk ke dalam surga atau kita akan terjatuh binasa ke dalam neraka, di saat makna-makna itu hadir dalam benak kita dan kita meyakininya bahwa semua itu pasti terjadinya, pastilah akan tumbuh dalam hati kesadaran dan semangat untuk datang kepada Allah S.w.t.
Semangat semacam ini merupakan al-Baits (pendorong) yang tumbuh dan muncul dengan sebab takut.
Targhib (Senang)
Seorang anak kecil, banyak kelemahan yang ada pada dirinya. Ia lemah, misalnya, dalam konsentrasi dan istiqamah menghadapi pelajaran yang sedang diulang atau yang akan diujikan. Kemudian sang ayah berkata, “Kalau kamu rajin belajar dan mendapat nilai yang bagus dalam ulangan, Ayah akan memberikan hadiah sepeda baru.”.
Apa yang akan muncul dalam diri si anak tadi? Ia akan mengusir kejenuhan dan kemalasan yang ada dalam dirinya, menggantinya dengan belajar keras, demi memperoleh nilai yang bagus dan mendapatkan hadiah yang dijanjikan.
Sekarang kita tinggalkan anak kecil tadi dan mari kita lihat anak muda yang duduk di bangku kuliah. Sang ayah berkata kepadanya, “Kalau kamu mendapatkan nilai di atas sembilan, Ayah akan membelikan mobil baru untuk kamu.”
Apa yang akan tumbuh dalam diri anak muda tadi? Setiap kali rasa malas merasuki dirinya dan teringat olehnya hadiah mobil yang akan dimilikinya, ia pun kembali bangkit, mengusir rasa malas dalam dirinya, dan tumbuh kembali semangatnya untuk belajar.
Maka, di saat kita mengetahui segala apa yang Allah janjikan berupa kenikmatan abadi bagi orang-orang yang datang kepada-Nya dengan ketaatan, kemuliaan yang akan Allah berikan bagi para penghuni surga berupa istana-istana yang megah dan indah dan sungai-sungai yang jernih mengalir, singgasana, kenikmatan yang abadi …, “Dan keridhaan Allah itu lebih besar.” – QS At-Tawbah (9): 72, apakah kita tidak mengharapkan semua anugerah yang Allah janjikan itu? Di saat engkau mengetahui bahwa orang yang paling fakir pun dari penghuni surga akan memiliki singgasana seluas sepuluh kali lipat bumi, apakah itu tidak akan menggerakkan harapan yang mendalam di hatimu?
Itulah sebabnya kita membutuhkan targhib, janji akan karunia dan anugerah-anugerah dari Allah S.w.t.
Tasywiq (Rindu)
Pada saat kita merenungkan dan membaca dalam kitab Allah S.w.t, “Dan keridhaan Allah itu lebih besar.” – QS At-Tawbah (9): 72, ketika kita membaca firman-Nya, “Katakanlah, ‘Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kalian berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah menghapuskan dosa-dosa semuanya (selain dosa syirik). Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” – QS Az-Zumar (39): 53.
Perhatikan bagaimana firman yang Allah sampaikan terhadap orang-orang yang melampaui batas. Allah tidak berlepas diri terhadap mereka, bahkan Allah memanggil mereka untuk datang kepada-Nya dan mengharapkan kemurahan-Nya. Allah berfirman, “Wahai hamba-hamba-Ku....” Betapa agung kemurahan-Nya. Perhatikan pula bagaimana Allah memperlakukan kita, “Katakanlah, ‘Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri (hati-hatilah akan datangnya adzab terhadap kalian), janganlah kalian berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah menghapuskan dosa-dosa semuanya.”
Di saat kita membaca hadits Rasulullah S.a.w yang mengabarkan kepada kita bahwa Tuhan berseru pada tiap-tiap malam, pada akhir malam-malam itu, adakah yang memohon ampun, adakah yang bertaubat, adakah yang mempunyai hajat, ketika kita mengetahui bahwa Allah S.w.t membentangkan tangan-Nya pada malam hari agar bertaubat orang yang berbuat durhaka di siang hari, dan membentangkan tangan-Nya pada siang hari agar bertaubat orang-orang yang berbuat durhaka di malam hari, ketika kita merenungkan keadaan diri kita, berapa banyak berbuat dosa, yang, seandainya Allah tampakkan semua itu di hadapan manusia, tentu tidak akan ada seorang pun menyapa kita, sementara Allah senantiasa menutupi semua aib kita dan menyelematkan kita, pastilah makna-makan ini akan menumbuhkan kerinduan kepada Tuhan, Yang Maha Pemurah. Allah memeperlakukan hamba-hamban-Nya dengan begitu mulia dan penuh kasih sayang.
Kemudian kita mengetahui dan membaca dari kitab-kitab terdahulu yang mengkhabarkan bahwa laut meminta izin kepada Allah S.w.t, pada tiap-tiap pagi hari, untuk menenggelamkan manusia yang durhaka, langit meminta izin kepada-Nya untuk menumpahkan airnya di atas mereka sehingga menjadi bah yang akan menenggelamkan mereka, dan bumi pun meminta izin kepada-Nya untuk membelah dirinya agar dapat menelan mereka ke dalam perutnya, kemudian Allah berfirman kepada langit, bumi, laut dan samudera, “Sesungguhnya kalian tidak menciptakan mereka, bila saja kalian menciptakan mereka, niscaya kalian tidak akan mengatakan hal itu.”
Lalu bagaimana pandangan seorang ibu terhadap anaknya ketika mereka berbuat kesalahan atau dosa lalu orang-orang sekitar mencaci maki dan mencelanya, “Anakmu berbuat ini dan itu! Mengapa anakmu tidak engkau ini dan itukan saja!”? Sungguh sang ibu mungkin marah terhadap anaknya itu dan menghardiknya. Namun ketika ia menyaksikan bahwa semua manusia mencela dan memperlakukan anaknya itu dengan perlakuan yang buruk, pastilah di hati sang ibu akan tumbuh rasa iba dan belas kasihan terhadap darah dagingnya itu. Sang ibu itu akan berkata, “Tinggalkan aku dan anakku, biarlah aku yang akan mengurus anakku.”
Sungguh Allah jauh lebih berbelas kasih kepada hamba-hamba-Nya dibanding belas kasih seorang ibu terhadap anak-anaknya.
Dalam suatu hadits diceritakan, dalam suatu peperangan, para sahabat melihat seorang wanita yang kehilangan anaknya. Sang ibu pun dengan sedihnya mencari anak kesayangannya ke sana-kemari, namun tak juga menemukannya.
Setelah beberapa hari berlalu, para sahabat melihat anak yang dicari-cari itu datang. Rupanya ia pun mencari-cari keberadaan ibunya. Anak itu terlihat sangat lusuh karena letihnya berjalan.
Ketika sang anak tadi melihat ibunya, ia pun berlari mengejar sang ibu. Demikian pula sang ibu, ketika melihat anaknya datang dari kejauhan, ia pun berlari menuju anaknya.
Setelah bertemu, keduanya saling berpelukan. Sang ibu pun menangis, dan demikian pula anaknya.
Melihat hal itu, tidak seorang pun dari para sahabat besar itu kecuali turut menangis.
Kemudian Nabi S.a.w memandangi mereka dan bertanya, “Apa yang membuat kalian menangis?”
Mereka menjawab, “Belas kasih sang ibu kepada anaknya itu yang membuat kami menangis, wahai Rasulullah.”
“Apakah kalian berpikir sang ibu itu akan tega melemparkan anaknya itu ke dalam api?”
“Tidak mungkin, wahai Rasulullah.”
“Ketahuilah, Allah lebih berbelas kasih daripada ibu ini terhadap anaknya.”
Ketika kita dapat merasakan bahwa Allah Maha Berbelas kasih dalam memperlakukan hamba-hamba-Nya, apakah kita tidak mencintai-Nya, apakah kita tidak merindukan-Nya?
Rindu kepada Allah akan menjadikan seseorang bertanya-tanya, “Di manakah aku dalam kedekatanku dengan Allah?”
Dikisahkan, Umar bin Abdul Aziz, salah seorang penguasa Dinasti Bani Umayyah, yang berpusat di Damaskus, Khalifah Rasyidin yang kelima, ditanya, “Bagaimana engkau bisa mendapatkan semua apa yang telah engkau dapatkan saat ini?”
Ia berkata, “Aku memiliki nafsu yang penuh dengan keinginan. Nafsuku berkeinginan terhadap dunia, terhadap makanan, minuman, dan pakaian, sampai kemudian aku pun mendapatkannya. Lalu ia berkeinginan terhadap kekuasaan sampai aku pun mendapatkan kekuasaan terhadap kota Madinah dan aku merasa senang dengan kekuasaan itu. Kemudian nafsuku berkeinginan terhadap yang lebih tinggi lagi sampai ia pun mendapatkan khilafah. Setelah menggapai tampuk khilafah, ia pun berkeinginan terhadap yang lebih besar lagi dari khilafah, namun aku tidak menemukan lagi dari perkara dunia yang lebih besar lagi dari apa yang telah aku gapai. Tetapi nafsuku tetap berkeinginan terhadap sesuatu yang lebih tinggi lagi dari itu, maka aku pun tidak mendapatkannya selain akhirat. Akhiratlah yang paling tinggi. Kedekatan di sisi Allah S.w.t.”.
~ Madrasah Hadhramaut ~
اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَاَلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلِّمْ
EmoticonEmoticon